1 Juli Ditolak Sebagai HUT OPM, Tokoh Papua Pilih Jalan Persatuan dan Pembangunan
Jayapura – Penetapan 1 Juli sebagai Hari Ulang Tahun TPNPB-OPM yang merupakan gerakan separatis dan kekerasan, kembali menuai penolakan luas dari tokoh masyarakat Papua. Tokoh adat Papua, Yanto Eluay, menegaskan bahwa langkah tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai luhur masyarakat adat Papua yang menjunjung tinggi kedamaian dan persatuan.
“Sebagai tokoh adat Papua, saya menyampaikan sikap tegas bahwa kami menolak 1 Juli dijadikan sebagai HUT TPNPB-OPM. Tanggal tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai luhur masyarakat adat yang mencintai damai dan persaudaraan,” tegas Yanto Eluay.
Yanto menekankan bahwa kekerasan dan gerakan separatis tidak selaras dengan adat dan budaya orang Papua yang menghormati kehidupan dan harmoni. Ia menegaskan bahwa masyarakat adat mendukung penuh kebijakan pemerintah dalam membangun Papua yang damai dan sejahtera, serta menolak setiap bentuk provokasi yang memperpanjang konflik.
“Kami tidak ingin anak cucu kami terus hidup dalam bayang-bayang konflik. Kami ingin membangun Tanah Papua melalui pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan, bukan dengan senjata dan kekerasan,” ujarnya.
Ia juga mengajak generasi muda Papua untuk tidak terprovokasi oleh narasi yang memecah belah dan percaya pada komitmen pemerintah dalam membangun Tanah Papua melalui berbagai program strategis yang menyentuh pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Baginya, keamanan adalah prasyarat utama agar pembangunan bisa berlangsung secara berkelanjutan di Papua.
“Tanah Papua adalah tanah damai, bukan tanah konflik. Mari kita jaga negeri ini dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih. Kami tolak 1 Juli sebagai HUT TPNPB-OPM. Kami pilih damai. Papua adalah Indonesia,” tandas Yanto.
Suara serupa juga disampaikan oleh Pendeta Yones Wenda, tokoh agama yang menyuarakan keprihatinannya atas kekerasan yang masih terjadi di beberapa wilayah pegunungan Papua, seperti Intan Jaya, Puncak, Jayawijaya, hingga Nduga. Dalam seruannya, Ia juga menekankan bahwa negara hadir untuk melindungi seluruh masyarakat sipil Papua dari teror dan intimidasi bersenjata.
“Selaku Tokoh Agama di tanah Papua, saya memohon kepada Kelompok Kriminal Bersenjata yang selalu menciptakan konflik untuk menghentikan aksi kekerasan yang dilakukan,” ujar Yones.
Pendeta Yones juga mengingatkan bahwa tindakan kekerasan bertentangan dengan ajaran agama. Ia menukil salah satu perintah dalam Alkitab, ‘Jangan Membunuh’, sebagai pengingat moral bahwa kehidupan harus dihargai.
“Karena membunuh, merusak salah satu ciptaan Allah, Tuhan tidak senang dan ini juga melanggar sepuluh perintah Allah dalam Alkitab. Tindakan tersebut tidak hanya melawan ajaran agama, tetapi juga menghambat misi pemerintah dalam menciptakan Papua yang aman dan Sejahtera. Oleh karena itu saya mohon kepada OPM agar menghentikan aksi kekerasan,” tambahnya. –