Mengecam Serangan Brutal OPM Terhadap Warga Sipil
Oleh : Maria Suhiap
Serangan brutal yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, pada akhir Juli 2024, tidak hanya menciptakan duka mendalam bagi keluarga korban tetapi juga menyisakan luka kolektif bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Kekejaman yang menewaskan seorang warga sipil bernama Abdul Muzakir ini menunjukkan betapa pentingnya upaya serius untuk menghentikan kekerasan yang terus berlangsung di tanah Papua.
Komisaris Besar Bayu Suseno, Kepala Humas Satgas Damai Cartenz-2024, mengonfirmasi bahwa insiden ini terjadi ketika Abdul Muzakir sedang mengemudikan truknya melewati Kampung Masi, Yahukimo.
Di belakang truknya, 13 warga sipil turut menumpang. Mereka dihadang oleh sekelompok anggota OPM yang tidak hanya bersenjata api tetapi juga membawa senjata tajam.
Upaya Abdul untuk menghindari serangan dengan memutar balik truknya berakhir tragis ketika kendaraan itu terperosok, memaksa Abdul dan penumpangnya melarikan diri. Namun, naas, Abdul tertembak dan tewas di tempat.
Kondisi jenazah Abdul yang ditemukan penuh dengan luka-luka mengerikan menambah keperihan hati. Luka sayatan yang dalam di leher, jari tangan yang putus, dan luka lainnya menunjukkan betapa kejamnya serangan ini.
Truk yang dikemudikan Abdul pun tak luput dari kehancuran, hangus terbakar. Sementara itu, 13 penumpang yang berada di truk tersebut hingga kini belum ditemukan, menambah ketidakpastian dan kekhawatiran keluarga mereka.
Serangan ini hanyalah satu dari sekian banyak kekerasan yang terjadi di Papua, di mana wilayah seperti Yahukimo telah lama menjadi area konflik yang dinyatakan sebagai zona perang oleh OPM. Konflik berkepanjangan ini telah menelan banyak korban jiwa, baik dari warga sipil, anggota OPM, maupun aparat keamanan Indonesia.
OPM terus berupaya untuk memisahkan Papua dari Indonesia, dengan menggunakan berbagai metode kekerasan yang kerap kali menargetkan warga sipil tak bersalah. Hal ini bukan hanya sebuah tindakan yang tidak manusiawi, tetapi juga menciptakan atmosfer ketakutan yang berkepanjangan di kalangan masyarakat lokal yang hanya ingin hidup damai di tanah mereka sendiri.
Selain Yahukimo, ada beberapa wilayah lain yang juga dinyatakan sebagai zona perang oleh OPM, termasuk Sinak, Ilaga, Puncak, Puncak Jaya, Nduga, Pegunungan Bintang, dan Sorong. Situasi ini memperlihatkan betapa kompleksnya masalah yang dihadapi di Papua, yang tak bisa diselesaikan hanya dengan kekuatan militer, tetapi membutuhkan pendekatan yang lebih holistik dan berkesinambungan.
Tidak lama setelah insiden di Yahukimo, OPM juga mengklaim bertanggung jawab atas serangan terhadap pos militer Indonesia di Kampung Titigi, Kabupaten Intan Jaya. Serangan ini menewaskan seorang prajurit TNI dan melukai seorang lainnya. Dalam serangan yang dilakukan oleh Batalyon Angin Bula, kelompok tersebut bahkan mengaku telah merusak kendaraan militer berlapis baja yang digunakan oleh pasukan TNI.
Juru bicara OPM, Sebby Sambom, dengan tegas menyatakan bahwa tindakan ini merupakan bagian dari perjuangan mereka untuk mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan Papua Barat. Mereka bahkan menantang Presiden Indonesia untuk segera melakukan perundingan internasional guna menyelesaikan konflik ini sebelum masa jabatannya berakhir.
Serangkaian serangan brutal ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang masa depan Papua. Apakah kekerasan akan terus menjadi satu-satunya bahasa yang digunakan dalam konflik ini, atau ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk mencapai perdamaian? Masyarakat Papua, seperti halnya masyarakat di bagian lain Indonesia, berhak atas kehidupan yang damai dan sejahtera, jauh dari bayang-bayang kekerasan dan ketakutan.
Pemerintah telah berulang kali menegaskan bahwa Papua adalah bagian sah dari NKRI, dan berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Namun, kekerasan yang terus berlangsung menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Dialog yang inklusif, pembangunan yang merata, dan penegakan hukum yang adil harus menjadi prioritas utama untuk membawa perubahan positif di Papua.
Masyarakat internasional juga memiliki peran penting dalam mendorong penyelesaian damai dari konflik ini. Namun, solusi yang diinginkan harus datang dari kehendak rakyat Papua sendiri, bukan dari intervensi eksternal yang mungkin hanya memperburuk situasi. Semua pihak harus duduk bersama, mendengarkan satu sama lain, dan mencari jalan keluar yang dapat diterima oleh semua.
Serangan brutal yang dilakukan oleh OPM ini tidak boleh dibiarkan menjadi normalitas baru di Papua. Setiap nyawa yang hilang, setiap luka yang tercipta, adalah tragedi yang harus dihentikan. Seluruh elemen masyarakat, baik di Papua maupun di seluruh Indonesia, harus bersatu dalam mengecam kekerasan dan mendukung upaya-upaya damai untuk menyelesaikan konflik ini.
Masyarakat Indonesia harus berdiri teguh dalam solidaritas, tidak hanya untuk mereka yang menjadi korban langsung dari kekerasan ini, tetapi juga untuk semua warga Papua yang mendambakan kedamaian. Saatnya bagi kita semua untuk mendorong terciptanya dialog yang damai dan menghentikan siklus kekerasan yang hanya akan membawa kehancuran lebih lanjut.
Papua adalah bagian integral dari Indonesia, dan kesejahteraan masyarakatnya adalah tanggung jawab kita bersama. Kita harus bekerja keras untuk memastikan bahwa mereka dapat hidup dalam damai, tanpa rasa takut, dan dengan harapan akan masa depan yang lebih baik. Mari kita bersama-sama mengecam kekerasan dan mendukung setiap upaya yang membawa Papua menuju perdamaian yang abadi.
)* Mahasiswa Papua tinggal di Bali