Guru Besar Hukum dan Mahupiki Jelaskan Keunggulan KUHP Nasional di Manokwari
Oleh : Reenee Winda
Dalam rangka mewujudkan hukum pidana nasional asli milik Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah RI telah menetapkan Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai sebuah wujud penyesuaian terhadap banyak hal.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional merupakan perwujudan reformasi sistem Hukum Pidana Nasional secara menyeluruh, yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, budaya bangsa Indonesia dan HAM secara universal.
Hal tersebut dipaparkan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., saat menjadi narasumber dalam sebuah sosialisasi KUHP Nasional yang digelar Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) bekerjasama dengan Universitas Papua (UNIPA), di Swiss Bell Hotel Manokwari, Papua Barat pada Rabu (8/2/2023).
Untuk diketahui, UU Nomor 1 Tahun 2023 tersebut akan benar-benar berlaku secara menyeluruh setelah masa transisi, yakni selama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada 6 Desember 2022 lalu, yakni akan benar-benar berlaku pada tahun 2025 mendatang.
KUHP Nasional ini sendiri merupakan seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiel di Tanah Air. Beberapa penyesuaian yang terdapat dalam KUHP Nasional adalah mengenai politik hukum, keadaan dan juga bagaimana perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia yang telah disesuaikan pula dan menjadi sebuah produk hukum yang sangat menjunjung adanya hak asasi manusia (HAM) secara universal.
Dengan adanya pengesahan KUHP Nasional melalui UU Nomor 1 Tahun 2023 tersebut, maka juga secara sekaligus langsung akan menggantikan keberadaan dan keberlakuan KUHP buatan Belanda saat menjajah Indonesia atau Wetboek van Strafrecht (WvS).
Masih dalam kesempatan sosialisasi di Manokwari, bahan paparan dari Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember (Unej), Prof. Dr. Arief Amrullah mengunkap bahwa lebih dari 100 tahun KUHP turunan dari Belanda itu berlaku di Indonesia.
Dan patut disyukuri, saat ini, Indonesia telah mempunyai UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Disahkan tanggal 2 Januari 2023, terdiri dari Buku I dan Buku II, dengan jumlah Pasal sebanyak 624 pasal.
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional mengandung 4 (empat) misi perubahan mendasar, yakni pertama dekolonisasi atau upaya menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi KUHP WvS dengan mewujudkan keadilan korektif-rehabilitative-restorative (Pasal 70 KUHP). Kedua demokratisasi, yakni pendemokrasian rumusan pasal tindak pidana dalam UU KUHP sesuai Konstitusi (Pasal 28 J UUD 1945) & pertimbangan hukum dari Putusan MK atas pengujian pasal-pasal KUHP yang terkait. Ketiga, Konsolidasi yaitu penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan rekodifikasi (terbuka-terbatas). Selanjutnya ada harmonisasi sebagai bentuk adaftasi & keselarasan dalam merespon perkembangan hukum terkini, tanpa mengesampingkan hukum hidup (living law). Dan terakhir Modernisasi dengan filosofi pembalasan klasik (daad-strafrecht) yang berorientasi pada perbuatan semata begeser ke filosofi yang integrative (daad-dader-slachoffer-strafrecht) yang memperhatikan aspek perbuatan, pelaku dan korban kejahatan (pemberatan dan peringanan pidana).
Dalam KUHP baru buatan anak bangs aini, terdapat sejumlah isu aktual. Khusus terkait hukum adat, Pakar Hukum lainnya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Prof Dr Pujiono SH, M.Hum, menjelaskan bahwa Living Law, sebagai bentuk pengakuan & penghormatan terhadap hukum adat (delik adat) yang masih hidup, akan tetapi dibatasi oleh nilai-nilai Pancasila, UUD NRI 1945, HAM, dan asas-asas hukum umum yang berlaku dalam masyarakat bangsa2. Selain itu, hukum pidana adat (delik adat) yang berlaku didasarkan pada penelitian empiris dan akan menjadi dasar bagi pembentukan Peraturan Daerah.
Sedangkan terkait penyerangan harkat dan martabat Presiden (pasal 218) & penghinaan pemerintah atau lembaga negara (pasal 240), Prof Pujiono memaparkan bahwa pasal-pasal tersebut tidak membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat, karena dalam penjelasan pasalnya sudah diberikan bahwa kritik, unjuk rasa dan pendapat yang berbeda tidak dapat dipidana.
Sosialisasi KUHP Baru merupakan bentuk penyampaian informasi mengenai isi dari KUHP Baru yang berrtujuan untuk memberikan pemahaman dan edukasi terkait pedoman pemidanaan. Hal tersebut juga agar tidak timbul disinformasi tentang isi dan esensi dari KUHP.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa memang KUHP Nasional, yang telah disahkan oleh Pemerintah RI sebagai UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan sebuah produk hukum yang sangatlah demokratis. Hal tersebut dikarenakan di dalamnya telah menampung seluruh aspirasi publik termasuk juga masyarakat adat.
KUHP nasional disusun melalui proses konsultasi publik yang panjang guna mendapatkan masukan dan aspirasi dari masyarakat melalui partisipasi yang bermakna. Substansi KUHP yang baru juga telah berorientasi pada paradigma hukum pidana modern yang tidak lagi menekankan pada pembalasan, melainkan pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.
Selama tiga tahun ini dinilai sangat memadai bagi diskusi dan sosialisasi publik terhadap KUHP, sehingga dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh semua pihak agar dapat lebih memahami makna sesungguhnya dari KUHP.[]
)* Penulis / Kontributor Media Senior