Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah mengajak seluruh masyarakat untuk berpartisipasi mengawasi jalannya Pilkada serentak pada 27 November 2024. Ramdansyah juga mengapresiasi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang meminta seluruh jajaran Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menjaga netralitas dalam menjalankan fungsi pengawasan pada pemilihan kepala daerah (Pilkada).
“Pilkada tahun ini kan serentak seluruh kabupaten kota dan provinsi menjalankan kegiatan yang sama. Sementara pemilihnya itu sangat besar ratusan juta orang. Karena tersebar di beberapa kabupaten kota dan provinsi bersamaan, tentu saja keberadaan aparat penegak hukum termasuk juga penyelenggara pemilu Bawaslu, KPU, dengan jajaran sampai ke pengawas TPS dan KPPS itu tidak dapat dikatakan cukup. Apabila ada pelanggaran serentak di mana-mana, maka aparat penegakan hukum seperti Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) akan kesulitan apabila tidak ada partisipasi publik, seperti masyarakat sekitar untuk turut mengawasi dan menjaga keberadaan TPS di Pilkada 27 November 2024,” ujar Ramdansyah, saat dialog interaktif di Radio Elshinta, Rabu siang (20/11/2024).
“Partisipasi publik Itu menjadi penting. Sebab meskipun banyak polisi, minus keterlibatan masyarakat, pasti pengawasan akan lemahkurang,” imbuh Ramdansyah yang juga Mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta 2008/2009 dan 2011/2012.
Sebelumnya, pada apel siaga Bawaslu di kawasan Monas, Jakarta, Rabu (20/11/2024), Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka meminta Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) tidak tebang pilih mengawasi Pilkada 2024. Wapres juga meminta Bawaslu dapat meningkatkan sinergitas dengan seluruh instansi dan elemen masyarakat dalam melakukan pengawasan. Tujuannya agar pelaksanaan Pilkada 2024 dapat berjalan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber jurdil).
Lebih lanjut Ramdansyah juga mengatakan, pentingnya mengawasi potensi terjadinya pidana umum di pilkada serentak. Hari ini kata dia, semua katakanlah dikerahkan di TPS. Karena semua bergerak ke TPS dan semua aparat penegak hukum ada disana semua, maka kemudian kejadian pidana umum juga harus diawasi, artinya potensi tindak pidana umum yang mengarah pada aktivitas Pemilu juga harus diperhatikan.
“Misalkan di salah satu daerah seperti di Sampang Madura di pekan ini. Pembacokan yang terjadi karena adanya bentrok terhadap pendukung pasangan calon. Terjadi penghadangan. Itukan sebenarnya beririsan kategori pidana Pemilu dan juga pidana umum.
Pidana pemilu itu adalah ketika pemilih menuju TPS dihalang-halangi menggunakan hak pilihnya dengan kekerasan. Tetapi, kalau jauh hari sebelum pemungutan suara bisa masuk ranah pidana umum. Ini semua harus dicermati ketika di hari h pemungutan suara, karena apa? Semua petugas itu berada nyaris di lapangan semua,” ujar Ramdansyah yang juga Kabid Kepemiluan Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN Kahmi).
“Nah untuk itu harus kegiatan di lapangan harus didukung oleh administrasi. Secara administrasi juga sudah ada yang namanya penjagaan terhadap netralitas. Ini penting karena tadi Wapres Gibran sudah menyatakan bahwa perbedaan adalah hal yang lumrah dan itu disampaikan di acara Bawaslu,” jelas Ramdansyah.
Maksudnya kata dia, kalau secara administrasi pejabat negara dan TNI Polri yang cawe-cawe dalam Pilkada tentunya secara adminstrasi sudah diberikan sanksi oleh atasan langsung. Bahkan, Ramdansyah yang turut menghadiri pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi pekan lalu mengatakan:
“Adanya ancaman pidana dan denda untuk pejabat negara dan TNI/Polri yang cawe-cawe merupakan sebuah kekuatan sendiri. Apalagi, kalau secara administratif sudah memberhentikan mereka yang tidak netral dan dinyatakan melakukan pelanggaran, maka beban petugas di hari h agak lebih ringan,” ujar Ramdansyah.
Misalkan jelas Ramdansyah, yang dilarang itu untuk kampanye, di tempat ibadah, pendidikan dan sarana pemerintahan. disana tentu diharapkan untuk netral.
UU ASN atau UU lainnya itu memberikan tekanan untuk netral UU pemilu, UU Pilkada. Tetapi kalau secara administratif itu tidak diterapkan atau tidak ada dukungan kuat maka ketidaknetralan akan muncul.
“Misalkan di sebuah tempat ibadah di Jakarta Islamic. Itukan sarana ibadah dan juga milik Pemprov DKI wajib mengikuti Pergub DKI No. 140 tahun 2015 yang menyatakan seluruh pengurus harus netral, tidak masuk partai politik atau ormas yang berafiliasi ke partai politik. Karena Pergubnya ada, maka harus dijalankan. Tidak boleh ada pengurusnya yang menjadi anggota partai politik, terlebih lagi menjadi calon legislatif (Caleg). Ketika tempat seperti ini tidak netral, ada pengurusnya menjadi Caleg, maka dukungan administrasi pemberhentian terhadap pengurus tersebut harus dilakukan. Pengelola tempat ibadah itu yang kemudian harus menertibkan dan memangkasnya,” beber Ramdansyah.
Contoh lagi misalkan jelas Ramdansyah, penguatan terkait dengan netral pejabat negara misalkan. Disebutkan dalam putusan MK.
“Kita juga harus memperkuat apabila kepala daerah itu tidak mengajukan cuti saat kampanye. Dia harus diperiksa oleh Bawaslu. Kepala daerah yang tidak ikut menjadi peserta di Pilkada serentak boleh melakukan kampanye, tapi dia harus cuti. Tidak bisa sewenang-wenang, serta merta melakukan kampanye dan kemudian mengajak orang untuk memilih.
Ini catatan penting penegakan hukum Pemilu yang harus didukung oleh sisi administrasi,” tegas Ramdansyah.
Terkait netralitas, Ramdansyah mengutip tanggapan filsuf Perancis yang sosiolog Pierre Bourdieu yang dikenal dengan pandangannya tentang kekerasan simbolik.
“Orang umumnya kan melihat kekerasan itu fisik seperti yang terjadi di sampang kemarin. Orang dihadang oleh simpatisan pasangan calon lainnya atau tim kampanye lainnya. Itukan kekerasan fisik sangat kelihatan. Tetapi kekerasan simbolik itu sesuatu yang tidak dalam bentuk fisik tapi statement saja sudah dikatakan kekerasan simbolik. Pejabat negara atau TNI/Polri yang selalu hadir di kegiatan pasangan calon tertentu tentunya sudah melakukan kekerasan simbolik.,” ujar Ramdansyah.
Ramdansyah juga meminta pengawas pemilu untuk tegas dan jangan tebang pilih.
“Tadi pak Wapres Gibran bilang Bawaslu harus tegas. Bawaslu harus adil,” ujarnya.
Ramdansyah juga meminta Bawaslu berkolaborasi dengan instansi terkait. Untuk mencegah kejahatan kerah putih.
“Saya yakin kejahatan kerah putih sulit untuk dilumpuhkan. Sumbangan melebihi ketentuan itu bisa dicegah kalau ada kolaborasi dengan instansi terkait. PPATK, lembaga siber, atau Satgas Anti Politik Uang,” ujarnya.
“Pengawasan Jangan hanya pengawasan fisik di TPS hanya kemudian kampanye. Alat peraga saat masa tenang itu masih dipasang, dicopot itu klasik, konvensional. Karena sekarang, perangkat teknologi informasi itu menjadi yang melekat dari pengawasan,” jelasnya.
Ramdansyah juga berpesan kepada para pengawas TPS yang sudah mulai bekerja untuk bekerja dengan baik.
“Saya kebetulan selama 2 Minggu ini saya menjadi narasumber untuk pengawas TPS untuk Bawaslu DKI Jakarta. Saya menekankan pada mereka para pengawas TPS, 14 an ribu di Jakarta dan jutaan di Indonesia. Saya apresiasi mereka dan menyampaikan bahwa hari ini banyak yang menganggap politik itu kotor. Politik itu kotor atau Pilkada tidak bersih sama halnya dengan jendela rusak, jendela retak. Saya bilang kalau politik itu kotor, maka kita yang harus membersihkan. Apabila jendela itu pecah maka kita yang membetulkan. Apabila kita ikut berpartisipasi membersihkan yang kotor, maka saya yakin Indonesia akan lebih baik di Pilkada sekarang ini dan Pilkada-Pilkada berikutnya,” pungkas Ramdansyah.