Pemerintah Bentuk Satgas PHK untuk Lindungi Pekerja di Tengah Tekanan Ekonomi
Oleh: Farhan Farisan
Dalam menghadapi dinamika ekonomi global yang semakin tidak menentu, pemerintah mengambil langkah konkret dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Satgas ini dirancang sebagai respons cepat terhadap ancaman PHK massal yang mulai menghantui sejumlah sektor industri dalam negeri.
Presiden Prabowo Subianto secara langsung memerintahkan pembentukan satgas ini sebagai bentuk antisipasi terhadap potensi lonjakan PHK akibat kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Amerika Serikat terhadap beberapa produk ekspor Indonesia, seperti tekstil dan garmen. Langkah ini diambil setelah muncul kekhawatiran bahwa puluhan ribu pekerja dapat kehilangan pekerjaan dalam waktu dekat.
Presiden Prabowo menegaskan pentingnya keterlibatan berbagai pihak dalam satgas ini. Ia meminta agar pemerintah pusat, serikat buruh, akademisi, rektor perguruan tinggi, dan lembaga seperti BPJS Ketenagakerjaan duduk bersama dalam satu wadah koordinasi untuk menangani krisis tenaga kerja ini.
Pembentukan Satgas PHK pertama kali diusulkan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, dalam sarasehan ekonomi bertajuk “Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Indonesia di Tengah Gelombang Tarif Perdagangan”. Menurutnya, kebijakan dagang Amerika Serikat berpotensi mengakibatkan PHK massal hingga 50.000 buruh dalam kurun waktu tiga bulan.
Said Iqbal menyampaikan bahwa sejumlah serikat pekerja yang tergabung dalam KSPI telah mulai menerima informasi dari pengusaha mengenai potensi pengurangan tenaga kerja. Kondisi ini memperlihatkan bahwa ancaman tersebut bukan lagi spekulasi, melainkan realitas yang harus segera dihadapi.
Wakil Ketua Dewan Energi Nasional (DEN), Mari Elka Pangestu, mengatakan bahwa urgensi pembentukan Satgas PHK sebagai langkah antisipatif pemerintah dalam menjaga stabilitas sektor ketenagakerjaan. Pihaknya menambahkan bahwa langkah ini diambil sebelum dampak kebijakan perang tarif benar-benar terasa di lapangan.
Mari menyebut bahwa meskipun negosiasi dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat masih berlangsung, ketidakpastian mengenai hasil akhirnya tetap menjadi kekhawatiran utama. Menurutnya, jendela waktu 30 hingga 60 hari ke depan akan menjadi krusial dalam menentukan arah kebijakan nasional.
Selagi menunggu hasil negosiasi tersebut, pemerintah telah mulai menyusun sejumlah skema kebijakan sebagai mitigasi terhadap kemungkinan terburuk, termasuk skenario lonjakan PHK di berbagai sektor industri strategis yang sangat bergantung pada ekspor.
Menurut Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI JSK), Indah Anggoro Putri, mengatakan bahwa Satgas PHK akan terdiri dari personel lintas kementerian, lembaga negara, dan pihak swasta. Pemerintah juga tengah mempersiapkan Instruksi Presiden (Inpres) untuk memperkuat dasar hukum operasional satgas ini.
Indah menekankan bahwa salah satu fokus utama satgas adalah mengkoordinasikan upaya pencegahan PHK, termasuk dialog sosial antara pengusaha dan buruh, penyusunan peta risiko sektor industri, serta perlindungan hak-hak pekerja terdampak.
Pembentukan Satgas PHK menunjukkan bahwa pemerintah tidak tinggal diam dalam menghadapi tekanan eksternal. Dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan, diharapkan kebijakan yang diambil dapat lebih komprehensif dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat pekerja.
Langkah ini juga merupakan bentuk komitmen Presiden Prabowo dalam memperkuat ketahanan ekonomi nasional, terutama dari sisi ketenagakerjaan yang kerap menjadi sektor paling rentan saat terjadi gejolak ekonomi global.
Sektor tekstil dan garmen yang menjadi salah satu tumpuan ekspor Indonesia kini menghadapi ketidakpastian yang tinggi. PHK massal di sektor ini tidak hanya akan berdampak pada buruh, tetapi juga pada perekonomian daerah yang menggantungkan hidup pada industri tersebut.
Selain itu, efek domino dari PHK dapat mempengaruhi daya beli masyarakat dan memperlebar jurang ketimpangan ekonomi. Oleh karena itu, pendekatan preventif seperti pembentukan Satgas PHK dinilai tepat dan strategis dalam menjaga stabilitas sosial.
Di sisi lain, akademisi dan ekonom juga turut diminta untuk memberikan pandangan berbasis riset terkait penyebab dan dampak lanjutan dari kebijakan perang tarif global terhadap ekonomi Indonesia. Pendekatan ini bertujuan memastikan bahwa kebijakan pemerintah tidak hanya reaktif tetapi juga adaptif.
Melalui koordinasi lintas sektor yang erat, Satgas PHK diharapkan mampu menjadi garda depan dalam mendeteksi potensi ancaman PHK dan meresponnya secara tepat waktu, baik melalui mediasi industrial maupun kebijakan intervensi pemerintah.
Pemerintah juga menekankan pentingnya dukungan program jaminan sosial ketenagakerjaan, pelatihan ulang (reskilling), dan penempatan kembali tenaga kerja terdampak sebagai bagian dari strategi jangka menengah dan panjang.
Sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan serikat buruh menjadi kunci dalam memastikan efektivitas kerja Satgas PHK. Dalam situasi global yang serba tidak pasti ini, solidaritas nasional menjadi modal sosial yang tak ternilai harganya.
Dengan pembentukan Satgas PHK, pemerintah menunjukkan keberpihakan terhadap pekerja Indonesia dan komitmen untuk menjaga kestabilan ekonomi dari sisi sosial. Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa negara hadir melindungi warganya di tengah guncangan global.
Selain itu, pemerintah juga tengah menyiapkan sistem pelaporan digital terintegrasi yang memungkinkan perusahaan, serikat buruh, dan instansi terkait untuk melaporkan secara real-time potensi PHK di wilayahnya masing-masing.
Dengan adanya sistem ini, Satgas PHK dapat merespons lebih cepat terhadap ancaman yang muncul dan mengoordinasikan langkah-langkah pencegahan secara lebih efisien, sekaligus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan isu ketenagakerjaan.
)* Penulis adalah mahasiswa asal Bandung tinggal di Jakarta