PUIC 2025 Sepakati Penguatan Teknologi Pertahanan Hingga Solidaritas Global

-

PUIC 2025 Sepakati Penguatan Teknologi Pertahanan Hingga Solidaritas Global

Oleh : Astrid Widia

Konferensi ke-19 Persatuan Parlemen Negara-Negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam (Parliamentary Union of the OIC Member States/PUIC) yang digelar di Gedung Nusantara, Jakarta, bukan sekadar agenda diplomatik tahunan. Lebih dari itu, forum ini mencerminkan bagaimana diplomasi antarparlemen dapat menjadi kekuatan kolektif dunia Islam untuk membangun solidaritas, teknologi, dan kemanusiaan secara bersamaan.

Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, Mardani Ali Sera menegaskan pentingnya kerja sama yang lebih substansial antara kedua negara, terutama di sektor teknologi pertahanan. Ia menyebut bahwa potensi kolaborasi pengembangan drone menjadi fokus utama dalam pertemuan bilateral dengan anggota Parlemen Turki, Profesor Abdurrahman Dusak.

Saat ini Turki dikenal sebagai negara produsen drone berteknologi tinggi, dan Indonesia telah menjadi salah satu negara pengimpor produk tersebut. Namun, Mardani menyoroti peluang kerja sama yang lebih progresif, yaitu melalui skema joint venture untuk mengembangkan drone generasi baru. Ia menyebut bahwa langkah Kementerian Pertahanan membentuk divisi khusus drone adalah sinyal kuat bahwa Indonesia serius membangun kemandirian teknologi pertahanan.

Langkah ini bukan hanya menunjukkan kesiapan Indonesia sebagai pengguna teknologi, tetapi juga sebagai mitra inovatif yang mampu memproduksi solusi teknologi bersama. Dalam konteks geopolitik dunia Islam yang rentan, kerja sama pertahanan semacam ini dapat menjadi bentuk perlindungan strategis yang tak hanya berbasis kekuatan militer, tapi juga penguatan kapasitas kolektif.

Selain pertahanan, sektor ekonomi menjadi perhatian penting. Mardani berharap agar perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) antara Indonesia dan Turki dapat segera ditandatangani. Menurutnya, penyelesaian FTA akan membuka jalan bagi integrasi ekonomi yang lebih mulus, termasuk penghapusan hambatan tarif dan rezim bebas visa.

Harapan ini bukan tanpa alasan. Indonesia dan Turki merupakan dua negara Muslim terbesar dengan potensi ekonomi yang besar dan saling melengkapi. Saat hambatan bea masuk dan prosedur kepabeanan disederhanakan, arus perdagangan akan menjadi lebih efisien, mempercepat pertumbuhan sektor strategis dan memperkuat peran dunia Islam dalam ekonomi global.

PUIC ke-19 juga tidak semata-mata membicarakan isu ekonomi dan pertahanan. Agenda yang tak kalah penting adalah kemanusiaan, terutama terkait konflik yang menimpa rakyat Palestina dan Kashmir. Dalam 12th Conference of Muslim Women Parliamentarians, anggota BKSAP DPR RI Melly Goeslaw menyuarakan keprihatinan mendalam atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di kedua wilayah tersebut.

Melly mengingatkan bahwa perempuan dan anak-anak selalu menjadi kelompok paling rentan dalam setiap konflik bersenjata. Dalam pidatonya, ia mengutip data Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyatakan lebih dari 15 ribu anak-anak dan lebih dari 8 ribu perempuan menjadi korban jiwa sejak eskalasi terakhir di Gaza. Suara Melly mewakili hati nurani bangsa Indonesia yang selalu berada di sisi korban sipil dan kemanusiaan.

Pernyataannya tentang kondisi Rumah Sakit Indonesia di Gaza yang rusak berat karena serangan menjadi simbol betapa rapuhnya infrastruktur kemanusiaan di wilayah konflik. Dalam kondisi seperti itu, Indonesia memilih untuk tidak tinggal diam. Melly menegaskan komitmen Indonesia dalam mengadvokasi gencatan senjata, pembukaan akses bantuan kemanusiaan tanpa hambatan, hingga pengiriman kapal medis ke wilayah konflik.

Sikap Indonesia ini tidak hanya memperkuat posisi diplomatiknya dalam dunia Islam, tetapi juga menjadi cerminan dari watak politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan berorientasi pada perdamaian. Komitmen ini juga menegaskan bahwa diplomasi parlemen tidak bersifat simbolik belaka, tetapi dapat menghasilkan langkah konkret untuk mendorong keadilan dan solidaritas internasional.

Di saat banyak negara Muslim terjebak dalam konflik internal atau saling curiga, PUIC ke-19 justru menjadi panggung yang membuktikan bahwa dialog antarparlemen mampu menjembatani perbedaan dan melahirkan solusi kolektif. Forum ini menjadi ruang strategis untuk membangun komunikasi politik, merumuskan kesepahaman, dan mengonsolidasikan kekuatan bersama, baik di bidang pertahanan, ekonomi, maupun kemanusiaan.

Keberhasilan Indonesia dalam memfasilitasi pertemuan ini juga mencerminkan kapasitas diplomasi parlementer yang matang. Delegasi Indonesia tidak hanya bersuara, tetapi juga menawarkan solusi nyata, penyelesaian FTA, hingga advokasi kemanusiaan. Ini membuktikan bahwa kekuatan diplomasi tidak melulu berada di tangan eksekutif, tetapi juga dapat tumbuh kuat di ranah legislatif.

Oleh karena itu, penting untuk menjaga semangat dan hasil dari PUIC ke-19 ini agar tidak berhenti pada dokumen akhir dan pidato forum semata. Tindak lanjut terhadap kerja sama konkret, seperti penguatan industri pertahanan bersama Turki dan penyelesaian FTA, harus menjadi agenda prioritas. Begitu pula dengan komitmen dalam isu kemanusiaan, perlu ada tindak lanjut dari negara-negara anggota OKI agar aksi nyata benar-benar terjadi di lapangan.

Ke depan, mari kita jaga semangat dialog dan kolaborasi yang telah terbangun dalam PUIC ke-19. Jangan biarkan keberagaman pandangan memecah semangat kebersamaan. Justru di tengah kompleksitas dunia saat ini, menjaga situasi tetap kondusif adalah fondasi penting untuk melanjutkan perjuangan kita bersama, baik dalam menjaga perdamaian, memperkuat kerja sama, maupun menegakkan keadilan bagi sesama manusia.

)* Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia

Related Stories