BSU Jadi Stimulus Ekonomi untuk Jaga Daya Beli dan Stabilitas Nasional
Oleh: Septia Indi
Pemerintah kembali menunjukkan peran aktifnya dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional melalui program Bantuan Subsidi Upah (BSU) tahun 2025. Kebijakan ini menjadi satu dari enam paket stimulus ekonomi yang dirancang untuk memperkuat daya beli masyarakat di tengah tekanan global dan menjaga momentum pertumbuhan domestik. Program BSU bukan hanya bersifat simbolik, tetapi merupakan upaya strategis untuk menopang konsumsi rumah tangga sebagai salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen pemerintah dalam menghadirkan perlindungan sosial yang menyasar kelompok pekerja berpenghasilan rendah. BSU diberikan kepada pekerja dengan gaji di bawah Rp3,5 juta per bulan sebagai bentuk perhatian terhadap kelompok rentan yang sangat terdampak oleh dinamika harga pangan dan biaya hidup. Program ini bukan hal baru. Pada masa pandemi, BSU telah terbukti mampu menjadi bantalan ekonomi yang signifikan. Kini, dengan pendekatan yang lebih adaptif, pemerintah kembali menghidupkan kebijakan ini, menyesuaikan dengan situasi ekonomi pasca-pandemi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, memastikan bahwa alokasi anggaran untuk BSU telah tersedia dalam APBN. Guna menyesuaikan dengan kebutuhan fiskal terkini, besaran bantuan tahun ini disesuaikan namun tetap memberikan dampak positif terhadap daya beli masyarakat. Menurutnya, stimulus yang digulirkan pada pertengahan tahun sangat penting mengingat fase konsumsi besar seperti Lebaran dan Natal telah berlalu. Dengan begitu, diperlukan langkah korektif untuk menjaga siklus konsumsi tetap stabil pada kuartal kedua tahun ini.
Kebijakan BSU mendapat dukungan luas dari berbagai pihak. Anggota Komisi IX DPR RI, Muh Haris, menilai bahwa kebijakan ini merupakan wujud konkret kehadiran negara dalam mendampingi masyarakat pekerja. Ia mengapresiasi langkah cepat pemerintah, terutama Kementerian Ketenagakerjaan dalam memastikan BSU tersalurkan secara tepat sasaran. Program ini diyakini sangat berarti jika dikelola dengan validasi data yang akurat dan pengawasan yang ketat, sehingga tidak menimbulkan ketimpangan atau penyalahgunaan.
Dalam pelaksanaannya, BSU disalurkan kepada jutaan pekerja formal di seluruh Indonesia. Setiap penerima akan memperoleh bantuan sebesar Rp600.000 yang disalurkan secara langsung ke rekening masing-masing, tanpa potongan biaya administrasi. Mekanisme ini dirancang agar dana bisa segera dimanfaatkan dan efek stimulatifnya terasa dalam waktu singkat. Tidak hanya itu, kebijakan ini juga memberikan sinyal positif kepada pelaku usaha untuk mempertahankan tenaga kerja di tengah tekanan biaya operasional yang terus meningkat.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Moh. Faisal, memandang bahwa BSU memiliki potensi besar dalam mendorong pengeluaran rumah tangga, terutama pada kelompok rentan miskin. Ia mencatat bahwa pekerja dengan pendapatan di bawah Rp3,5 juta per bulan umumnya memiliki tanggungan keluarga, sehingga jika dihitung secara per kapita, kelompok ini masuk dalam kategori rentan miskin. Tambahan pendapatan dari BSU yang setara dengan sekitar 10 persen dari penghasilan mereka dinilai sangat signifikan dalam menjaga stabilitas konsumsi keluarga.
Faisal juga menyoroti bahwa bantuan langsung tunai seperti BSU efektif untuk menekan beban pengeluaran yang melonjak akibat kenaikan harga pangan. Dalam kondisi di mana inflasi bahan pokok sering kali lebih tinggi dari tingkat inflasi umum, keberadaan BSU menjadi penyelamat bagi jutaan rumah tangga yang berjuang mempertahankan daya beli mereka. Ia menilai, walaupun jumlah bantuannya bersifat insentif, efeknya terhadap konsumsi terbukti kuat dan berdampak nyata bagi jutaan rumah tangga.
Dalam rangka memperkuat efektivitas, diperlukan inovasi kebijakan lanjutan agar manfaat BSU berkesinambungan dan mendukung peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat. Salah satunya adalah durasi dan keberlanjutan program. BSU saat ini bersifat sementara dan hanya diberikan dalam dua bulan, yaitu Juni dan Juli 2025. Agar dampaknya lebih luas dan berjangka panjang, dibutuhkan skema lanjutan yang memungkinkan masyarakat berpenghasilan rendah mendapatkan akses terhadap peningkatan kapasitas ekonomi. Di sinilah pentingnya sinergi dengan program pelatihan vokasi, penempatan kerja, hingga pemberdayaan sektor informal.
Selain itu, cakupan penerima BSU saat ini masih terbatas pada pekerja formal yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, data menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja di Indonesia berada di sektor informal, yang justru lebih rentan terhadap fluktuasi ekonomi. Pemerintah perlu mempertimbangkan perluasan cakupan bantuan agar mencakup sektor informal melalui pendekatan berbasis komunitas dan pelibatan koperasi atau lembaga lokal.
Di tengah dinamika global yang belum stabil, BSU menjadi instrumen fiskal yang sangat dibutuhkan untuk menjaga pondasi ekonomi domestik. Dalam jangka pendek, BSU memperkuat daya beli dan menjaga konsumsi, sedangkan dalam jangka menengah, BSU menjadi representasi keberpihakan pemerintah terhadap kelompok masyarakat yang selama ini berada di batas ketahanan ekonomi. Melalui kebijakan ini, pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam membangun sistem perlindungan sosial yang tangguh dan responsif terhadap kondisi ekonomi aktual.
BSU bukan sekadar bantuan tunai, melainkan bentuk kepedulian negara yang nyata. Dengan tata kelola yang akuntabel dan sasaran yang tepat, program ini diharapkan dapat terus menjadi salah satu alat vital dalam memperkuat ketahanan sosial dan ekonomi bangsa.
)* Penulis merupakan seorang Pengamat Isu-Isu Strategis