Jaga Kondusivitas di Momen Kemerdekaan, Stop Gunakan Simbol Bajak Laut
Oleh: Jovan Alfarizi
Peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia menjadi ajang refleksi nasional. Namun, tahun ini muncul polemik yang memancing perhatian publik. Sejumlah pemuda mengibarkan bendera bajak laut dari serial animasi populer sebagai pengganti Merah Putih. Peristiwa tersebut menimbulkan kecaman karena dianggap melecehkan simbol negara. Tindakan itu juga membuka perdebatan lebih luas tentang bagaimana masyarakat memandang hiburan dan simbol kehormatan nasional.
Tokoh hukum dan aktivis antikorupsi nasional, Mohammad Trijanto, menilai tindakan mengganti bendera negara dengan simbol fiksi tidak bisa dianggap remeh. Ia memandang peristiwa ini bukan sekadar bentuk kreativitas, tetapi pelanggaran serius yang dapat dijerat hukum. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dengan jelas mengatur penghormatan terhadap bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Dalam aturan tersebut terdapat sanksi pidana hingga denda besar bagi siapapun yang melecehkan bendera negara. Trijanto menekankan bahwa ketentuan itu dibuat untuk menjaga kehormatan bangsa.
Menurut Trijanto, Merah Putih bukan sekadar kain berwarna, tetapi lambang yang menyimpan nilai historis dan identitas bangsa. Karena itu, memperlakukannya secara sembarangan sama saja dengan menodai martabat nasional. Ia juga menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh bersikap lunak terhadap tindakan yang melecehkan simbol negara. Baginya, sikap tegas adalah bentuk penghormatan terhadap pengorbanan para pahlawan yang telah merebut kemerdekaan.
Ketua Gerakan Pembaharuan Indonesia, Jaka Prasetya, juga menyoroti insiden ini dengan nada keras. Ia menilai bahwa mengganti Merah Putih dengan bendera bajak laut adalah penghinaan terhadap perjuangan bangsa. Menurutnya, peristiwa tersebut bukan sekadar masalah hiburan, melainkan serangan terhadap nilai kebangsaan. Jaka menilai ada gejala berbahaya ketika generasi muda lebih mengagungkan budaya pop asing ketimbang simbol nasional.
Sebagai putra seorang prajurit, Jaka merasa luka pribadi ketika melihat Merah Putih digantikan oleh simbol hiburan. Ia menegaskan bahwa nasionalisme tidak boleh luntur hanya karena euforia budaya luar. Baginya, hari kemerdekaan adalah ruang untuk mengenang perjuangan, bukan panggung untuk karakter fiksi. Karena itu, GPI berkomitmen membentuk tim pemantau simbol negara di berbagai wilayah. Langkah ini bertujuan memastikan perayaan kemerdekaan tetap berjalan sesuai nilai nasionalisme.
Di sisi lain, Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, memberikan pandangan yang menekankan keseimbangan. Ia memandang bahwa penggunaan simbol hiburan sebagai bagian dari kreativitas sebenarnya tidak menjadi masalah selama ditempatkan pada ruang yang tepat. Namun, persoalan muncul ketika simbol itu didorong untuk menandingi posisi Merah Putih. Menurutnya, di situlah letak pergeseran makna yang berbahaya. Bendera negara memiliki sifat sakral, sehingga tidak bisa dipertukarkan dengan simbol apapun.
Prasetyo menegaskan bahwa masyarakat Indonesia harus menunjukkan rasa kebersamaan dan semangat gotong royong dalam peringatan hari kemerdekaan. Ia juga mengingatkan bahwa Merah Putih adalah identitas bersama yang harus dikibarkan di seluruh pelosok negeri. Pemerintah, kata dia, membuka ruang dialog agar setiap persoalan bangsa bisa diselesaikan secara kolektif. Namun dalam hal simbol negara, sikap tegas diperlukan agar martabat bangsa tetap terjaga.
Fenomena pengibaran bendera bajak laut juga mencerminkan derasnya arus budaya global yang sering hadir tanpa penyaringan. Budaya populer seperti anime dan cosplay memang bisa dinikmati, tetapi tidak boleh mencampuri ruang sakral kenegaraan. Trijanto menilai, membawa bendera bajak laut dalam upacara kemerdekaan adalah bentuk degradasi nilai yang menyesatkan generasi muda. Budaya pop memang sarat hiburan, tetapi tetap membawa narasi pemberontakan dan antiotoritas.
Dalam kajian simbolik, gambar atau lambang bukan elemen pasif. Pandangan Susan Sontag tentang simbol sebagai pembawa narasi ideologis memperlihatkan bahwa pengibaran bendera bajak laut memiliki makna tersembunyi. Ketika ditempatkan menggantikan Merah Putih, pesan yang tersampaikan justru perlawanan terhadap identitas nasional. Karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu berhati-hati dalam menempatkan simbol-simbol budaya pop di ruang publik.
GPI bersama elemen masyarakat berencana melibatkan tokoh agama, akademisi, dan pemuda dalam pemantauan simbol negara. Langkah ini menunjukkan bahwa partisipasi sipil penting untuk menjaga kehormatan Merah Putih. Aparat penegak hukum memang memiliki kewajiban menindak pelanggaran, tetapi kesadaran masyarakat adalah kunci agar penghormatan terhadap bendera semakin kuat.
Pemerintah menegaskan bahwa hiburan tidak pernah dilarang. Anak muda boleh menikmati budaya pop asing, tetapi harus mampu membedakan antara ruang hiburan dan ruang kenegaraan. Hari kemerdekaan bukanlah arena festival budaya fiksi, melainkan peringatan sakral atas perjuangan bangsa. Dengan demikian, sikap tegas pemerintah justru merupakan upaya mendidik generasi muda agar tidak salah menempatkan identitas bangsa.
Momentum HUT ke-80 RI harus dipahami sebagai pengingat. Merah Putih adalah simbol yang memuat sejarah, darah, dan pengorbanan. Menempatkannya sejajar dengan bendera fiksi sama saja dengan mengaburkan nilai perjuangan. Bajak laut hanyalah hiburan, tidak pernah pantas menggantikan lambang negara. Memisahkan hiburan dari kehormatan nasional adalah cara terbaik menjaga jati diri bangsa.
Indonesia adalah negara besar yang dihormati karena identitasnya yang kokoh. Selama masyarakat mampu menjaga batas antara hiburan dan simbol kehormatan, kedaulatan bangsa akan tetap terpelihara. Polemik bendera bajak laut seharusnya menjadi pelajaran penting bahwa nasionalisme harus dipelihara dengan kesadaran. Merah Putih akan selalu berdiri tegak sebagai lambang yang tak tergantikan oleh apapun.
)* Pemerhati sosial kemasyarakatan
[edRW]