Oleh : Arka Dwi Francesco
Kabar baik datang dari Bank Indonesia yang telah memutuskan menurunkan suku bunga acuan (BI-7 Day Reverse Repo Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 5,00%, level terendah dalam dua tahun terakhir. Keputusan ini disambut hangat oleh pelaku usaha, perbankan, hingga masyarakat luas karena memberi sinyal bahwa arah kebijakan moneter kini semakin berpihak pada rakyat. Di tengah tantangan global yang masih bergejolak, langkah berani ini menjadi titik terang yang memperkuat optimisme bahwa ekonomi kerakyatan akan tumbuh lebih kokoh dan inklusif.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menilai bahwa keputusan penurunan BI-rate ini membuka ruang bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai di atas 5% di tahun 2025. Dorongan tersebut datang dari meredanya tekanan moneter, diikuti oleh meningkatnya konsumsi rumah tangga, mobilitas masyarakat, dan aliran investasi, termasuk di sektor ekspor sebelum berlakunya tarif resiprokal dari AS. Ia menegaskan bahwa penurunan ini juga menjadi sinyal kuat bagi pelaku pasar bahwa Indonesia tetap konsisten menjaga stabilitas di tengah dinamika global.
Kebijakan ini sejalan dengan semangat ekonomi kerakyatan yang digagas oleh pemerintahan saat ini, yaitu meringankan beban bunga pinjaman usaha kecil, memperkuat daya beli masyarakat, serta meningkatkan akses kredit produktif untuk UMKM, petani, dan pedagang tradisional. Penurunan suku bunga kredit secara bertahap akan sangat membantu pertumbuhan usaha mikro dan memperluas lapangan kerja. Dengan begitu, manfaat kebijakan moneter ini dapat langsung dirasakan hingga ke lapisan masyarakat paling bawah, bukan hanya kelompok ekonomi menengah ke atas.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan bahwa perbankan di Tanah Air diimbau untuk menyesuaikan suku bunga kredit secara bertahap sesuai BI-rate terbaru. Penyesuaian ini diharapkan menjaga kesehatan bank, mencegah persaingan bunga tidak sehat, serta tetap mengutamakan transparansi dan perlindungan konsumen. Ia menambahkan, koordinasi erat antara OJK dan BI akan memastikan transmisi kebijakan moneter berjalan lebih cepat dan tepat sasaran.
Melalui kebijakan ini, perbankan secara efektif akan menurunkan biaya kredit, membuka peluang investasi, dan meringankan beban biaya modal bagi pelaku ekonomi. Surat-surat utang pun menjadi lebih terjangkau, sehingga sektor riil dapat tumbuh lebih inklusif dan merata. Hal ini sekaligus memperkuat fondasi sistem keuangan nasional agar lebih tangguh menghadapi gejolak ekonomi global.
Pada sisi legislatif, Ketua Komite IV DPD RI, Ahmad Nawardi, menyambut baik keputusan penurunan BI-rate sebagai momentum penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi serta memperkuat pasar modal. Menurutnya, kondisi inflasi yang terkendali menjadi landasan kuat bagi BI untuk mengambil langkah moneter yang accommodative. Respons kolektif antara BI, OJK, dan lembaga negara ini dapat memperkuat sinergi kebijakan demi kesejahteraan rakyat.
Penurunan BI-rate ke level 5% mencerminkan komitmen pemerintah bersama lembaga keuangan untuk menciptakan iklim usaha inklusif, meningkatkan konsumsi sekaligus investasi, dan menjaga daya beli masyarakat, secara khusus pada sektor UMKM merupakan penerima manfaat terbesar dari penurunan suku bunga ini. Akses modal yang lebih terjangkau akan memperkuat modal kerja dan mendorong inovasi serta ekspansi usaha. Begitu pula sektor pertanian dan perdagangan tradisional yang sering kesulitan akses kredit juga akan mendapat dorongan nyata melalui penurunan suku bunga kredit input dan investasi.
Paralel dengan itu, lonjakan mobilitas dan konsumsi rumah tangga akan memperkuat permintaan domestik, sekaligus mendorong investasi swasta dalam sektor produk dan jasa. Di sisi lain, peningkatan ekspor didukung oleh biaya logistik dan pembiayaan yang lebih rendah, memperkuat neraca perdagangan. Kondisi ini menciptakan siklus positif yang memperbesar peluang pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.
Selain itu, kebijakan penurunan suku bunga juga akan memperkuat sinergi dengan agenda reformasi struktural pemerintah. Akses pembiayaan yang lebih murah akan memberi ruang bagi sektor-sektor produktif untuk berkembang lebih cepat sehingga menciptakan nilai tambah di dalam negeri, sekaligus memperluas basis penerimaan negara. Dengan fondasi makroekonomi yang terjaga dan dorongan kebijakan yang berpihak pada pertumbuhan inklusif, Indonesia memiliki peluang besar untuk melangkah menuju ekonomi berdaya saing tinggi dan berketahanan di tengah dinamika global.
Satu aspek penting lainnya adalah sinyal positif bagi kepercayaan pelaku ekonomi. Penurunan BI-rate dipandang sebagai tanda stabilitas dan respons cepat pemerintah terhadap kondisi global dan domestik. Hal ini mendorong pelaku usaha untuk melakukan investasi, ekspansi, hingga rekrutmen pekerja baru mendorong multiplier effect ke masyarakat luas. Dengan demikian, kebijakan moneter ini tidak hanya retorika, melainkan manifestasi nyata keberpihakan terhadap rakyat, terutama kelompok rentan dan pelaku ekonomi mikro sesuai visi pembangunan inklusif.
Penurunan BI-rate ke 5% oleh Bank Indonesia merupakan langkah strategis yang sangat mendukung program ekonomi kerakyatan. Disertai imbauan penyesuaian suku bunga dari OJK dan pengelolaan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, kebijakan ini memperlihatkan sinergi kelembagaan yang kuat antara moneter, perbankan, dan jaminan sosial. Penurunan BI-rate yang begitu signifikan merupakan berita baik sekaligus pemicu semangat baru di tengah tantangan ekonomi global. Semoga momentum ini terus dijaga, agar pemerataan pembangunan dan kesejahteraan ekonomi rakyat benar-benar tercapai.
)* Penulis Merupakan Pengamat Ekonomi