Tokoh NU dan Muhammadiyah: Presiden Soeharto Layak Mendapatkan Gelar Pahlawan Nasional

-

Tokoh NU dan Muhammadiyah: Presiden Soeharto Layak Mendapatkan Gelar Pahlawan Nasional

Jakarta – Kementerian Sosial (Kemensos) memastikan, Presiden ke-2 RI Soeharto memenuhi syarat untuk menerima gelar sebagai Pahlawan Nasional. Selain Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga memenuhi syarat untuk menerima gelar Pahlawan Nasional. Terkait dengan banyaknya penolakan gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto, hal tersebut merupakan bagian dari sebuah proses.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pimpinan Majelis Pustaka & Informasi PP Muhammadiyah, Dr. Makroen Sanjaya mengatakan Muhammadiyah sudah mengkaji dari ketokohan beliau sebagai Presiden ke-2, kita menilai sosok secara komprehensif, tidak bisa sepotong-sepotong. Sejak jaman revolusi kemerdekaan beliau-beliau ini sudah memberikan kontribusi terbesar bagi bangsa.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Kalau kita menyinggung sosok Bapak Soeharto, sejak tahun 1946 sudah berkontribusi, waktu itu sejarah mencatat ada semacam kudeta yang dilakukan oleh kelompok kiri, Pak Harto sebagai militer bisa menanggulangi hal tersebut,” kata Makroen saat menjadi nara sumber bertema “Bangsa Besar Menghormati Jasa Para Pemimpin dan Pahlawan”, di Kompas TV, Minggu (09/11) malam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Menurutnya, jika membaca kategorisasi pahlawan, di dalam undang-undang yang digunakan, minimal ada dua bentuk yang bisa dilihat, dibuktikan, dirasakan, dilanjutkan yaitu kesediaan berkorban untuk bangsa, negara, masyarakat, kehidupan dan kemanusiaan. Kedua adalah mencapai sebuah prestasi atau capaian tertentu yang kemudian bisa menjadi role model, kemudian ada jejaknya, dan dapat rekognisi, baik dari regional maupun internasional.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Apabila kita dalam memperlakukan pimpinan negara, ada filosofi Jawa yang menurut saya sangat elegan kita coba kaji, yaitu _‘mikul ndhuwur, mendem njero’,_ tidak ada manusia yang sempurna,” jelasnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Makroen juga mengingatkan bahwa di era kini, generasi muda tidak boleh melupakan sejarah, dan jika kita belajar sejarah juga membentuk sejarah baru, bahwa yang namanya pengorbanan, pencapaian, prestasi itu harus terus digaungkan, dilanjutkan dengan bentuk yang berbeda.

 

 

 

 

“Kalau jaman 1945 sampai 1965 kan penuh dengan pergolakan politik dan militer, tapi kalau sekarang untuk mencapai pembangunan bangsa, meningkatkan SDM sehingga kita bisa bersaing secara global. Tentunya anak-anak muda saat ini juga harus memiliki semangat berkorban untuk tujuan baik,” pintanya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Memang di era informasional sekarang ini, komunikasi dan informasi itu banjir. Tentu kadang bisa mengikis, dan ini membuat nilai-nilai yang kita anut dan diajarkan oleh para sesepuh kita, juga mengalami pergeseran. Hal ini mungkin masalah transisi dari segi budaya dan pemikiran, faktor yang paling penting adalah tetap mengikat anak-anak kita, generasi muda dan menyadarkan, negara ini ada karena perjuangan para pendahulu kita.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Tidak mungkin kita ada tanpa perjuangan para pendahulu kita, jadi ini harus ditanamkan terus dan tugas kita membangun ke depan menjadi lebih baik lagi seperti yang diwariskan oleh para pimpinan kita,” tuturnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sementara itu, di tempat yang sama, Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga Wakil Sekjen MUI, KH Arif Fahrudin menyatakan bahwa pahlawan itu pada umumnya, mereka yang berjasa kepada bangsa dan negara. Kedua adalah mereka yang rela mengorbankan segala apa yang dia miliki demi satu tujuan bersama, yaitu mendirikan bangsa ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Dalam konteks Indonesia sebagai negara bangsa, memang relatif baru ketika sudah diproklamasikan oleh pendiri negara ini. Namun sebelum berdirinya negara bangsa itu, tentu sudah banyak peristiwa yang menggugah emosi dan membuat _engagement_ bersama untuk kita menciptakan suatu bangsa,” ujar Arif.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Menurutnya, Sosok Soeharto dan Gus Dur menggambarkan dua situasi yang cukup berbeda, tapi dalam satu _frame_ yang sama. Perbedaannya, pak Harto berkontribusi pada era sebelum kemerdekaan, kemerdekaan dan menjadi Presiden. Kalau Gus Dur adalah tokoh penggerak NU yang luar biasa kontribusinya untuk negara ini pada aspek pendidikan agama, pesantren, kemudian pemberdayaan masyarakat sipil dan pluralitas.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Saya khawatir kalau tidak pandai menghargai jasa para pahlawan dan pendiri bangsa atau siapapun yang telah berkontribusi kepada negara ini, maka dia tidak akan pandai bersyukur dengan adanya negara ini,” ucapnya. [*]

Related Stories