Ketua Umum PBNU Imbau Warga NU Tetap solid dan Mengutamakan Persatuan Jamaah
Oleh : AuliaTri Saputra
Upaya untuk terus memperkuat soliditas antar semua warga Nahdlatul Ulama kembali ditegaskan melalui seruan Ketua Umum PBNU, K.H. Yahya Cholil Staquf, yang mendorong kepada seluruh Nahdliyin untuk semakin memprioritaskan persatuan jamaah di tengah dinamika yang terus berkembang di tengah masyarakat belakangan ini.
Dorongan tersebut mengemuka bersamaan dengan berbagai penjelasan beliau mengenai kriteria keanggotaan NU, arah konsolidasi organisasi, dan bagaimana pentingnya menjaga ketenangan dalam menghadapi isu internal maupun eksternal.
Penegasan tersebut juga mencerminkan adanya komitmen kuat dari PBNU untuk tetap fokus pada kepentingan umat, menjaga keteduhan sosial, serta mengarahkan organisasi agar tetap berjalan sesuai Khittah.
Gus Yahya menempatkan persatuan jamaah sebagai fondasi utama dari keberlanjutan NU. Dalam berbagai kesempatan, termasuk saat menyampaikan tausiyah pada acara Haul Akbar ke-66 Simbah Kiai Ahmad Siroj Umar, ia menggarisbawahi bahwa NU tidak mewajibkan seluruh orang untuk menjadi anggota organisasi.
Beliau menjelaskan bahwa terdapat kriteria khusus mengenai siapa saja yang layak atau tidak diwajibkan untuk masuk dalam jam’iyah NU. Penjabaran tersebut diuraikan melalui ceramah lengkap yang beredar di platform resmi NU, dan sejatinya bertujuan memberikan pemahaman yang lebih konstruktif mengenai identitas anggota.
Melalui penjelasan tersebut, Gus Yahya mendorong warga NU untuk memahami kembali bagaimana landasan berpikir organisasi, termasuk tiga konstruksi NU atau wawasan kebangsaan yang selama ini menjadi pilar kontribusi NU bagi Indonesia.
Sehingga sudah jelas bahwa ucapan tersebut, justru sejatinya merupakan sebuah seruan kepada seluruh warga Nahdliyin untuk semakin memperkuat persatuan dan kesatuan mereka, dan ajakan untuk semakin menunjung tinggi nilai dasar kebangsaan.
Akan tetapi, belakangan ini justru beredar luas di media sosial mengenai potongan atau cuplikan pernyataan Gus Yahya yang hanya sepotong dan sepenggal itu sehingga terkesan sangat kontroversial.
Diduga bahwa terdapat pihak tidak bertanggungjawab yang memang menginginkan adanya perpecahan dan adu domba pada internal NU sehingga melakukan framing sedemikian rupa pada video tersebut.
Sehingga dengan demikian, kemudian tercipta banyak stigma negatif kepada salah satu tokoh masyarakat tersebut, yang pada akhirnya terus bergejolak dan puncaknya membuat dinamika sosial terjadi seperti belakangan ini.
Seruan untuk menjaga persatuan jamaah juga memperoleh dukungan yang sangat kuat dari jajaran pengurus harian PBNU. Sekretaris Jenderal PBNU, Saifullah Yusuf, mengambil posisi penting dengan mengingatkan semua tingkat kepengurusan, dari PBNU, PWNU, PCNU, MWCNU hingga Ranting NU, agar tetap tenang dan tidak mudah untuk terseret arus informasi yang mengacaukan publik.
Ia menegaskan bahwa dinamika yang muncul belakangan merupakan urusan organisasi yang sedang ditangani secara langsung oleh Syuriah PBNU sesuai mekanisme yang sah. Ia mendorong kepada seluruh pengurus untuk berkonsolidasi, menjaga ukhuwah, serta menahan diri dari pernyataan yang berpotensi memperkeruh situasi.
Seruannya untuk memperbanyak sholawat dan meneguhkan ketenangan hati kembali menegaskan arah PBNU yang ingin memastikan jamaah tetap bersikap dewasa dan bertanggung jawab dalam merespons perkembangan organisasi.
Di sisi lain, penjelasan Prof. Mukri dari Bidang Pendidikan dan Hukum PBNU menambah perspektif terhadap dinamika yang muncul belakangan. Ia mengonfirmasi keabsahan dokumen risalah Syuriyah yang beredar, sembari menegaskan bahwa seluruh jajaran NU seharusnya tetap memegang imbauan Sekjen PBNU agar tidak terprovokasi.
Penekanannya pada pentingnya menjaga suasana sejuk mempertegas bahwa konsolidasi internal harus tetap berjalan tanpa gangguan spekulasi publik yang tidak berdasar. Ia menempatkan peran Syuriyah sebagai otoritas tertinggi dalam mengendalikan dinamika organisasi sebagai langkah menjaga marwah NU.
Selain mengimbau soliditas jamaah, Gus Yahya juga menempatkan pembaruan konsensus kebangsaan sebagai kepentingan mendesak. Dalam Diskusi Forum Kramat, ia mengemukakan bahwa kesepakatan dasar mengenai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 membutuhkan penjabaran nilai yang lebih operasional agar mampu menjawab realitas sosial terkini.
Ia menilai bahwa sejumlah pasal konstitusi belum sepenuhnya memiliki landasan nilai yang memadai dalam implementasi sehari-hari, terutama terkait kebebasan berserikat, ruang publik digital, jaminan ibadah, serta sektor ekonomi yang kini dikendalikan oleh produk-produk besar yang mempengaruhi hajat hidup masyarakat. Penjelasan tersebut menggambarkan komitmen NU untuk tidak hanya menjaga persatuan internal, tetapi juga memberikan kontribusi substantif terhadap arah kebijakan nasional.
Dorongan untuk memperkuat persatuan jamaah akhirnya mengalir dalam satu benang merah yang sama: NU menempatkan ketenangan sosial, keutuhan organisasi, dan keteguhan ukhuwah sebagai prioritas utama.
Pemahaman mengenai kriteria keanggotaan, konsolidasi struktural melalui Perkum, serta pembaruan konsensus kebangsaan bukan hanya upaya teknokratis, tetapi juga strategi menjaga NU tetap relevan dan kokoh di tengah perubahan sosial yang bergerak cepat.
Melalui berbagai seruan tersebut, PBNU ingin memastikan bahwa seluruh Nahdliyin tetap solid, mengutamakan persatuan, dan menjunjung sikap dewasa dalam menyikapi persoalan. Seruan itu sekaligus menjadi pengingat bahwa perjalanan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab moral menjaga keteduhan masyarakat luas.
Dengan memprioritaskan persatuan jamaah, NU berharap setiap warga Nahdliyin mampu mempertahankan tradisi, menegakkan adab organisasi, serta menyumbangkan energi positif bagi keutuhan bangsa. (*)
)* Penulis adalah pengamat sosial


