Hindari Provokasi Demo, Pemerintah Pastikan UMP 2026 Dibahas Transparan dan Adil
Oleh: Ahmad Fadhil
Rencana demonstrasi buruh kembali menyedot perhatian publik. Serikat pekerja berencana mengerahkan massa besar di berbagai kota untuk menuntut penyesuaian Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026. Namun di tengah dinamika tersebut, penting untuk melihat bahwa perjuangan buruh justru dapat lebih efektif jika ditempuh melalui dialog yang terstruktur dan mekanisme formal yang kini sedang diperkuat pemerintah.
Mendorong massa turun ke jalan dalam jumlah besar tidak selalu menjadi jalan paling aman maupun paling strategis, terutama ketika potensi provokasi dan penyusupan aktor-aktor tak bertanggung jawab selalu menghantui kerumunan besar. Dalam beberapa pekan terakhir, pemerintah memperluas ruang komunikasi intensif dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan buruh dari sejumlah provinsi.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menekankan bahwa penyusunan konsep baru UMP 2026 sedang dipertajam mengikuti amanat Putusan Mahkamah Konstitusi, khususnya terkait dimasukkannya kebutuhan hidup layak sebagai variabel inti. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah serius merespons aspirasi buruh dengan pendekatan berbasis data dan formula yang lebih adil, bukan dengan kebijakan seragam yang mengabaikan kondisi demografis dan ekonomi tiap wilayah.
Ketika proses ini berlangsung, penggunaan jalur dialog menjadi pilihan rasional karena memberi ruang lebih luas bagi pekerja untuk memengaruhi proses perumusan kebijakan tanpa menempatkan mereka pada risiko fisik maupun ekonomi. Peningkatan intensitas dialog ini juga sejalan dengan analisis sejumlah pengamat ketenagakerjaan yang melihat bahwa aksi unjuk rasa besar berpotensi menimbulkan kerugian yang justru berbalik kepada buruh sendiri.
Sejarah beberapa aksi massa sebelumnya menunjukkan bahwa kericuhan sering kali bukan dipicu oleh buruh, melainkan aktor tak dikenal yang memanfaatkan momentum keramaian. Aparat keamanan bahkan telah mengingatkan adanya potensi provokator yang dapat menyusup untuk mengeskalasi ketegangan. Jika hal ini terjadi, produktivitas industri terganggu, pekerja bisa kehilangan pendapatan harian, dan hubungan industrial yang selama ini relatif stabil dapat kembali retak. Oleh sebab itu, himbauan agar buruh yang bukan delegasi resmi negosiasi tetap bekerja seperti biasa menjadi langkah strategis untuk menjaga keseimbangan antara memperjuangkan hak dan mempertahankan stabilitas ekonomi. Pemerintah dan pelaku industri juga semakin memahami bahwa formula UMP yang adaptif merupakan kebutuhan mendesak.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial, Indah Anggoro Putri, menyampaikan bahwa variabel alfa dalam formula penetapan upah akan disesuaikan agar lebih mencerminkan realitas biaya hidup. Pesan ini memperkuat bahwa pemerintah tidak menutup diri terhadap dinamika kebutuhan buruh, tetapi justru meresponnya melalui kebijakan yang lebih presisi. Dengan konsep UMP yang tidak lagi satu angka untuk seluruh Indonesia, pekerja dari wilayah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dapat memperoleh kenaikan upah yang lebih proporsional. Pendekatan ini lebih adil dan berorientasi jangka panjang dibandingkan tekanan jalanan yang sering kali tidak menghasilkan formulasi kebijakan yang sistematis.
Di sisi lain, aktor industri juga mulai menyiapkan kebijakan internal untuk menjaga kelancaran operasional pada hari-hari yang diprediksi terjadi aksi. Pelaku usaha mengingatkan bahwa ketidakstabilan kegiatan produksi dapat memperlemah posisi buruh dalam jangka panjang. Ketika operasional terganggu, perusahaan memiliki alasan untuk menunda penyesuaian upah atau bahkan melakukan efisiensi tenaga kerja. Dalam konteks ini, menjaga ritme produksi menjadi strategi yang lebih realistis bagi buruh untuk mempertahankan daya tawar mereka. Semakin stabil industri berjalan, semakin kuat pula argumentasi pekerja untuk mendapatkan peningkatan kesejahteraan.
Banyak kalangan menilai bahwa ekosistem hubungan industrial saat ini telah memiliki mekanisme formal yang lebih matang dibandingkan beberapa tahun lalu. Forum tripartit, jalur advokasi terstruktur, hingga penghitungan upah berbasis data telah tersedia sebagai kanal legal yang bisa dimanfaatkan pekerja secara maksimal. Ketika jalur formal ini diperkuat, pengerahan massa besar-besaran justru menjadi opsi yang semakin kurang relevan. Buruh tetap dapat memperjuangkan tuntutan mereka dengan tetap produktif dan terhindar dari ancaman provokasi. Pembentukan tim khusus untuk menghitung kebutuhan hidup layak yang diumumkan pemerintah juga menjadi bukti bahwa proses penyusunan UMP tidak dilakukan secara sepihak, melainkan melalui riset mendalam yang mempertimbangkan disparitas regional dan daya beli masyarakat.
Di tengah upaya menahan ajakan provokatif untuk turun ke jalan, pemerintah terus memperkuat komunikasi publik untuk menjelaskan alasan, dasar hukum, dan arah kebijakan yang sedang dirumuskan. Penjelasan terbuka mengenai draft kebijakan dan kepastian bahwa dokumen yang beredar belum menjadi keputusan final menunjukkan komitmen pemerintah terhadap akuntabilitas. Langkah ini penting untuk menenangkan kekhawatiran buruh sekaligus mencegah penyebaran informasi menyesatkan yang kerap memicu ketegangan di lapangan.
Perjuangan pekerja tidak harus identik dengan demonstrasi besar. Ketika saluran dialog dibuka lebar, perangkat hukum diperkuat, dan formula pengupahan dirancang lebih responsif terhadap kebutuhan hidup, maka mekanisme formal justru menjadi jalur yang paling rasional. Buruh tetap dapat menyuarakan aspirasinya melalui perwakilan resmi tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi dan keamanan publik. Pemerintah kini menempatkan kesejahteraan buruh sebagai prioritas dengan pendekatan yang lebih adaptif dan berbasis data. Di tengah situasi yang mudah ditunggangi provokator, memilih jalur negosiasi dapat menjadi bentuk kecerdasan kolektif yang tidak hanya menjaga produktivitas, tetapi juga mempercepat terciptanya kebijakan pengupahan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi seluruh pekerja Indonesia.
*) Pemerhati Isu Ketenagakerjaan dan Kebijakan Publik


