Gelar Pahlawan Soeharto, Pengakuan atas Perannya Menjaga Stabilitas Nasional
Jakarta – Presiden ke-2 RI Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional dalam Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada 10 November 2025. Penganugerahan ini diberikan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 November 2025.
Sejumlah tokoh menilai, jika merujuk pada kontribusi nyata dalam pembangunan dan keberhasilan menekan inflasi serta menjaga keamanan dalam negeri pada masa-masa awal kepemimpinannya, Soeharto memiliki dasar yang kuat untuk dipertimbangkan sebagai Pahlawan Nasional. Menurut mereka, penghargaan tersebut merupakan bentuk apresiasi negara atas jasa yang telah diberikan, terutama dalam membangun fondasi ekonomi dan pemerintahan yang relatif stabil setelah masa transisi politik.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Idrus Marham menekankan pentingnya menghormati Keppres Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Idrus berpendapat, keputusan negara tidak seharusnya ditanggapi dengan emosi alias dendam politik yang dapat memecah belah masyarakat.
“Keputusan Presiden sudah keluar dan menetapkan Pak Soeharto. Mari kita hormati kebijakan ini dan fokus pada bagaimana program-program pembangunan kita laksanakan bersama,” ujar Idrus.
Idrus mengingatkan Indonesia sebagai bangsa besar yang majemuk membutuhkan stabilitas. Karena itu, ia menilai perdebatan yang dipenuhi kebencian hanya akan merusak kohesi sosial.
“Kalau kita merespons kebijakan ini hanya dengan ketidaksukaan, kebencian atau kepentingan politik, tentu masing-masing pihak hanya akan mengedepankan narasi yang menjadi pembenaran terhadap keinginannya,” ujar Idrus.
Idrus menambahkan, jangan larut dalam perdebatan yang tidak membangun, bahkan merusak kesatuan dan persatuan.
“Kita ini sesama anak bangsa, satu keluarga besar yang menjadi penghuni dan pemilik rumah besar Indonesia. Mari kita semua bersama merawat rumah besar ini atas dasar nilai-nilai kekeluargaan, kegotong royongan dan kebersamaan, kekitaan,” tegas Idrus.
Idrus mengatakan, setiap presiden sebagai manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, termasuk Soeharto. Ia mendorong publik untuk belajar dari catatan sejarah dan menatap ke depan.
“Kekurangan Pak Harto jangan kita lanjutkan, kelebihannya mari kita teruskan. Begitu pula Bung Karno, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, dan Jokowi, semua manusia tidak ada yang paripurna,” tutur Idris.
Idris juga menyinggung perlunya ruang maaf dan evaluasi rasional.
“Ada institusi pertobatan dan ada institusi pemaafan. Kita sebagai anak bangsa harus melihat persoalan ini dengan hati jernih,” kata Idrus.
Partai Golkar meminta agar perbedaan pendapat terkait penetapan gelar pahlawan bagi Soeharto disampaikan secara konstruktif. Idrus menegaskan bahwa momentum ini sebaiknya dijadikan kesempatan untuk mengevaluasi perjalanan reformasi dan memperbaiki kekurangan.
“Mari kita evaluasi dengan kepala dingin. Fokus kita adalah masa depan Indonesia, bukan pertentangan yang tak berujung,” pungkas Idrus.****


