KUHP Jaga Kebebasan Berekspresi
Oleh : David Falih Hansa
Kekhawatiran tentang Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) yang mengancam kebebasan pers untuk berekspresi dan berpendapat dinilai kurang tepat. Pasalnya, Pers memiliki aturannya sendiri yakni UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Wartawan menjalankan tugasnya untuk menulis berita dan menyiarkannya pada masyarakat. Seorang wartawan atau jurnalis meliput acara lalu menuliskannya di surat kabar atau media online. Posisi mereka sangat dihormati masyarakat karena menjadi corong dari informasi terkini di Indonesia maupun di dunia. Mereka meliput banyak berita, termasuk peresmian KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Masyarakat juga menyimak baik-baik beberapa Pasal dalam KUHP. Apalagi ada banyak Pasal yang merombak UU yang telah berusia lebih dari 100 tahun tersebut. Sementara para jurnalis ada yang merasa khawatir karena ada Pasal-Pasal yang dianggap melarang kebebasan pers.
Padahal tidak ada yang dilarang, hanya saja diatur agar lebih baik lagi dan sesuai dengan norma-norma di Indonesia.
Pakar Hukum Pers dan Kode Etik Jurnalistik, Wina Armada menyatakan KUHP tidak berlaku dalam ruang lingkup mekanisme dan pelaksanaan kemerdekaan pers. Khusus untuk pelaksanaan dan kebebasan pers, acuannya adalah UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Sepanjang berkaitan dengan pers, UU Pers menjadi Undang-Undang yang diutamakan. Semua persoalan pers diatur dengan UU ini.
Dalam artian, UU Pers melindungi dan mengatur para wartawan. Di sini KUHP tidak berlaku bagi insan pers dan kebebasan mereka tidak dirampas. Mereka tetap bisa liputan seperti biasa dan tidak takut akan kena pasal KUHP.
Sampai sekarang dan seluruhnya pers dilindungi oleh UU Pers. Tidak mungkin KUHP melarang kebebasan pers dan bertentangan dengan UU lain. Diharapkan para wartawan bisa bersabar dan tidak menolak KUHP mentah-mentah.
Pasal-pasal lain dalam KUHP yang dianggap melarang kebebasan pers adalah Pasal 218 yang berisi larangan untuk menghina presiden dan wakil presiden. Isi dalam Pasal ini jangan dijadikan serangan terhadap pemerintah, yang dianggap melarang kerja wartawan yang suka mengkritik. Mereka perlu membedakan antara kritikan dengan hinaan.
Dalam negara demokrasi, kritikan terhadap pemerintah memang diperbolehkan. Namun lama-lama pemberitaan terhadap pemerintah berubah drastis, dari kritik yang membangun menjadi kritik yang menghancurkan dan berujung hinaan. Hinaan inilah yang dilarang, dan selain melanggar hukum negara juga melanggar norma masyarakat dan hukum agama.
Kritikan keras yang berujung hinaan terjadi pasca gerbang reformasi dibuka. Sejak tahun 1998, masyarakat merasakan kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan pers. Jika dulu para jurnalis takut untuk mengkritik pemerintah karena bisa dibreidel medianya (ditutup secara paksa), maka saat ini mereka boleh mengkritik. Mereka tak lagi takut akan ancaman dan serangan petrus.
Namun sayang sekali kritik yang ada di media massa dan elektronik rata-rata justru menghujat. Padahal zaman telah berbeda jauh dan keadaan Indonesia jauh lebih baik di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Jangan semua wartawan mengkritik keras dan menyamakan pemerintah yang sekarang dengan di era Orde Baru yang serba kaku.
Bahkan ucapan Presiden Jokowi atau Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin juga bisa ‘digoreng’ alias dibelokkan maksudnya, sehingga bisa membuat kehebohan di masyarakat. Ada juga media elektronik yang memotong video berisi ucapan presiden tetapi karena hanya berupa potongan, tidak bisa menampilkan maksud pidato yang sebenarnya.
Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyatakan bahwa pemerintah tidak melarang kebebasan pers di tanah air. Namun kebebasan yang diberikan bukan berarti tidak terbatas, karena jika terlalu liberal akan menjadi anarkis. Misalnya di KUHP bagian Pasal contempt of court, yang melarang publikasi dari hasil pengadilan secara tertutup, karena bisa mempengaruhi independensi pengadilan.
Yasonna melanjutkan, jika ada publikasi padahal sudah jelas sidangnya tertutup, maka sama saja dengan menuliskan berita dari narasumber. Padahal sudah jelas bahwa wawancaranya off the record. Jika jurnalis nekat menuliskanya maka sama saja tidak menjaga kredibilitasnya sendiri.
Dalam artian, hal ini sama saja dengan melanggar kode etik jurnalistik, karena tidak menghargai narasumber dan pengadilan. Ulah oknum wartawan yang seperti ini yang akan diatur oleh KUHP, guna menjaga kualitas berita dan mencegah praktik-praktik yang melanggar aturan dan norma. Oleh karena itu, diharap semua pihak dapat mengkaji terlebih pasal dalam KUHP.
Pemerintah membuat KUHP agar hukum pidana di Indonesia diatur dan disesuaikan dengan zaman, karena akar hukum KUHP versi lama adalah hukum warisan Belanda. KUHP dibuat untuk mengatur masyarakat. UU ini tidak pernah melarang kebebasan pers, malah membuat pemberitaan-pemberitaan makin jernih dan tidak hanya menjual click bait semata.
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara