Bentuk Komitmen pada Rakyat: DPR RI Cabut Tunjangan, Hoaks Hanya Ganggu Persatuan

-

Bentuk Komitmen pada Rakyat: DPR RI Cabut Tunjangan, Hoaks Hanya Ganggu Persatuan

Oleh : Faradiba Quena

DPR RI telah menunjukkan bagaimana langkah nyata dari keberpihakan parlemen tersebut terhadap suara rakyat dengan bergerak cepat dalam mengambil langkah mencabut tunjangan perumahan anggota dewan per 31 Agustus 2025. Keputusan itu bukan hanya sekadar melakukan pemangkasan fasilitas saja, melainkan juga sekaligus sebagai bentuk komitmen politik kuat yang langsung menjawab tuntutan rakyat.

Aksi unjuk rasa beberapa pekan terakhir yang mengusung agenda 17+8 terbukti mendapat respons cepat dan konkret. Parlemen tidak menunggu waktu lama untuk merespons keresahan publik, justru bergerak cepat agar kepercayaan rakyat terhadap lembaga perwakilan tetap terjaga.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa pencabutan tunjangan perumahan merupakan keseriusan parlemen dalam mendengarkan suara masyarakat. Langkah itu diikuti kebijakan moratorium kunjungan kerja luar negeri sejak 1 September 2025, kecuali undangan resmi kenegaraan yang tidak bisa dihindari.

DPR bahkan memperluas evaluasi terhadap fasilitas anggota, mulai dari biaya langganan, listrik, jasa telepon, transportasi, hingga komunikasi intensif. Keseluruhan kebijakan tersebut menandai kesungguhan DPR dalam memperbaiki citra kelembagaan sekaligus mempertegas akuntabilitas publik.

Komitmen Dewan Perwakilan Rakyat ini sama sekali tidak berhenti hanya pada soal tunjangan perumahan saja. Pemangkasan fasilitas tersebut juga diikuti dengan kebijakan yang lebih ketat terhadap anggota yang dinonaktifkan partai politiknya. Mereka tidak lagi menerima hak keuangan yang sebelumnya diberikan.

Dasco menyampaikan bahwa penegasan itu bagian dari upaya menghentikan privilese yang tidak sesuai dengan semangat reformasi. Kebijakan menyeluruh ini memperlihatkan arah baru DPR dalam memperkuat keberpihakan terhadap rakyat dan meneguhkan komitmen reformasi birokrasi di tubuh parlemen.

Dalam pertemuan dengan sejumlah tokoh agama, akademisi, dan pakar komunikasi, Ketua DPR RI Puan Maharani menekankan bahwa pencabutan tunjangan senilai Rp 50 juta per bulan sudah resmi diberlakukan sejak akhir Agustus.

Ia menegaskan tidak ada kenaikan gaji sebagaimana isu yang berkembang, justru sebaliknya, DPR memilih mengurangi fasilitas sebagai bentuk transformasi kelembagaan. Puan menambahkan bahwa moratorium kunjungan luar negeri juga berlaku bagi seluruh anggota dan pimpinan komisi, kecuali pertemuan diplomasi strategis.

Puan menilai langkah tersebut menandai babak baru DPR untuk lebih terbuka, aspiratif, dan akuntabel. Laporan rapat maupun kegiatan DPR kini dapat diakses publik melalui situs resmi, sebuah mekanisme transparansi yang diperkuat untuk menjawab harapan rakyat.

Menurutnya, kualitas legislasi akan diprioritaskan ketimbang kuantitas, dengan mendorong partisipasi publik dalam pembahasan undang-undang. Sikap itu memperlihatkan kesungguhan DPR menjadikan momentum pasca-aksi unjuk rasa sebagai titik balik menuju lembaga legislatif yang lebih terpercaya.

Langkah DPR yang tegas tentu harus disambut positif. Namun, tantangan besar justru hadir dari arus informasi yang menyesatkan di ruang digital. Penyebaran hoaks terkait DPR maupun pemerintah terus beredar di berbagai platform media sosial.

Narasi bohong itu bukan sekadar menyudutkan lembaga negara, tetapi berpotensi merusak persatuan. Hoaks kerap dibungkus dengan judul provokatif, menyasar isu SARA dan politik, lalu dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk menciptakan konflik di tengah masyarakat.

Pandangan anggota Komisi I DPR RI Farah Puteri Nahlia menegaskan bahwa masyarakat harus lebih teliti dalam menerima maupun menyebarkan informasi. Ia menyoroti masih adanya potensi upaya terorganisir untuk memproduksi narasi provokatif di media sosial.

Menurutnya, pola penyebaran hoaks semacam itu merupakan ancaman serius yang dapat memecah belah kebinekaan. Farah mengingatkan bahwa penyebar hoaks juga berhadapan dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU ITE, sehingga publik perlu memahami konsekuensi hukum dari tindakan tersebut.

Dampak hoaks tidak bisa diremehkan. Informasi palsu mampu memicu konflik antar kelompok, menciptakan prasangka sosial, serta merusak tatanan moral bangsa. Hoaks merupakan ancaman terhadap keutuhan NKRI karena mampu mengoyak sendi-sendi persatuan.

Penyalahgunaan teknologi digital untuk menyebarkan informasi palsu pada akhirnya merusak nilai kebinekaan dan Pancasila sebagai perekat bangsa. Jika narasi palsu dibiarkan berkembang, maka stabilitas nasional bisa terganggu, bahkan memperlemah kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Literasi digital menjadi benteng utama menghadapi serbuan hoaks. Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk mengenali ciri informasi palsu, melakukan verifikasi sumber, dan memanfaatkan alat pengecek fakta.

Nilai-nilai Pancasila dapat dijadikan filter untuk menyaring informasi sehingga publik tidak mudah terprovokasi. Langkah sederhana seperti menahan diri sebelum membagikan konten, memeriksa keaslian foto, dan melaporkan unggahan provokatif di media sosial dapat memperkuat ketahanan digital bangsa.

DPR sudah menunjukkan komitmen nyata dengan memenuhi tuntutan rakyat, mencabut tunjangan, memangkas fasilitas, dan menghentikan kunjungan luar negeri. Semua langkah tersebut jelas mencerminkan keberpihakan kepada rakyat. Oleh karena itu, publik perlu mendukung langkah positif tersebut dengan tidak memberi ruang bagi hoaks yang sengaja diproduksi untuk mengganggu persatuan.

Hoaks hanya menguntungkan pihak yang ingin melihat bangsa terpecah. Sebaliknya, menolak hoaks berarti memperkuat komitmen kebangsaan. Momentum pencabutan tunjangan oleh DPR seharusnya menjadi simbol kebersamaan rakyat dan wakilnya dalam memperbaiki arah demokrasi.

Ketika lembaga negara menunjukkan kesungguhan, maka masyarakat pun perlu berkontribusi menjaga kondusivitas, menolak provokasi, serta memastikan persatuan tetap kokoh di atas segala perbedaan. (*)

)* Penulis adalah pengamat kebijakan publik

Related Stories