Dengarkan Aspirasi Pekerja, Pemerintah Segera Hapus Outsourcing
Oleh : Wiji Adrianto
Pemerintah bersiap menghapus sistem outsourcing. Komitmen ini disampaikan langsung Presiden Prabowo Subianto dalam peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025.
Pemerintah berencana untuk segera menghapus sistem outsourcing. Langkah ini merupakan angin segar bagi dunia ketenagakerjaan Indonesia, terutama bagi jutaan buruh yang selama ini terjebak dalam sistem alih daya yang tidak memberikan kepastian kerja dan kesejahteraan yang layak.
Presiden Prabowo secara tegas menginstruksikan pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional, yang akan menjadi motor utama dalam merancang mekanisme penghapusan sistem outsourcing secara bertahap dan terukur. Dewan ini rencananya akan diisi oleh pimpinan-pimpinan serikat buruh dari berbagai sektor, memastikan bahwa suara pekerja menjadi landasan dalam pengambilan kebijakan.
Selama lebih dari dua dekade, sistem outsourcing digunakan untuk memberikan fleksibilitas kepada dunia usaha. Namun, kenyataan di lapangan jauh dari harapan awal. Banyak pekerja yang telah mengabdi belasan tahun tetap berstatus alih daya, digaji setara upah minimum, tanpa jenjang karier, dan tanpa jaminan sosial yang memadai. Fenomena ini menjadi bukti nyata bahwa kebijakan outsourcing telah menyimpang dari prinsip keadilan sosial yang dijamin konstitusi.
Presiden Prabowo menegaskan bahwa kebijakan penghapusan outsourcing bukan semata-mata janji politik, tetapi bentuk nyata dari kehadiran negara dalam menjamin hak-hak dasar pekerja. Ia menekankan pentingnya perencanaan yang matang agar transisi menuju sistem kerja yang lebih adil tidak mengguncang dunia usaha. Dalam pernyataannya, Presiden mengatakan bahwa keputusan ini harus diiringi dengan kebijakan yang hati-hati agar iklim investasi tetap terjaga namun tidak mengorbankan hak pekerja.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menegaskan bahwa pemerintah tengah menyiapkan kajian mendalam sebagai dasar kebijakan penghapusan sistem alih daya. Dalam keterangannya usai melepas peserta magang ke Jepang di Semarang, Yassierli menjelaskan bahwa arahan Presiden sangat jelas, yakni menghapus outsourcing dengan tetap memperhatikan dampak terhadap investasi. Menurutnya, masalah outsourcing selama ini tidak hanya menyangkut fleksibilitas kerja, tetapi juga menyimpan persoalan serius seperti ketidakjelasan upah, status kerja, hingga hilangnya akses terhadap jaminan sosial. Ia menambahkan bahwa Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional akan menjadi garda depan dalam menyusun langkah-langkah konkret untuk mengatasi persoalan ini secara komprehensif.
Pandangan serupa disampaikan oleh Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirat. Ia menilai bahwa sistem outsourcing saat ini telah melenceng jauh dari semangat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut Mirah, UU tersebut pada awalnya hanya memperbolehkan outsourcing pada lima jenis pekerjaan, yakni satuan pengamanan, pertambangan, kebersihan, pengemudi, dan katering. Namun, setelah munculnya UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang kini menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023, aturan tersebut berubah drastis. Istilah outsourcing diganti menjadi alih daya dan cakupan jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan pun menjadi tanpa batas.
Mirah menambahkan bahwa praktik outsourcing di lapangan semakin kompleks dengan munculnya struktur berlapis di sejumlah perusahaan. Pekerjaan utama dialihkan ke anak perusahaan, kemudian ke perusahaan cucu, dan seterusnya, yang pada akhirnya memperburuk kondisi pekerja. Upah dipotong, jaminan sosial tidak terpenuhi, dan status pekerja menjadi rentan. Karena itu, menurutnya, kebijakan penghapusan outsourcing harus diiringi dengan revisi regulasi dan penguatan penegakan hukum agar perlindungan terhadap hak buruh benar-benar terlaksana.
Pemerintah, melalui langkah ini, juga menunjukkan keberpihakan terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya dalam menciptakan pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Dengan menghapus sistem outsourcing yang selama ini menimbulkan ketimpangan, Indonesia bergerak menuju arah yang lebih adil dan manusiawi dalam dunia kerja.
Kebijakan ini tidak serta-merta menutup peluang fleksibilitas kerja. Justru sebaliknya, menjadi momentum untuk membangun sistem ketenagakerjaan yang lebih transparan dan akuntabel. Menteri Yassierli menyatakan bahwa fleksibilitas tetap bisa dijaga melalui sistem kerja yang adil dan berbasis kontrak langsung antara perusahaan dan pekerja, tanpa perantara yang kerap merugikan buruh. Hal ini akan meningkatkan produktivitas kerja karena para pekerja akan merasa lebih dihargai dan terlindungi.
Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional yang akan segera dibentuk diharapkan menjadi forum dialog antara pekerja dan dunia usaha. Keberadaan dewan ini penting agar semua kebijakan ketenagakerjaan memiliki dasar musyawarah dan representasi yang seimbang. Jika dirancang dan diimplementasikan dengan baik, kebijakan ini dapat menjadi tonggak sejarah baru dalam perlindungan tenaga kerja di Indonesia.
Kebijakan penghapusan outsourcing adalah langkah reformasi besar yang memerlukan keberanian politik, komitmen, dan kerja sama lintas sektor. Pemerintah telah menunjukkan keseriusannya dengan memulai proses pengkajian dan merancang lembaga khusus untuk menanganinya. Di tengah tantangan ekonomi global dan tekanan terhadap daya saing industri, kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah tetap menjadikan keadilan sosial sebagai prioritas utama dalam pembangunan.
Oleh karena itu, langkah Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus sistem outsourcing patut diapresiasi sebagai kebijakan progresif yang berpihak pada rakyat. Ini adalah wujud nyata negara hadir untuk melindungi buruh, memperbaiki sistem ketenagakerjaan, dan menegakkan prinsip keadilan dalam dunia kerja. Pemerintah telah memilih jalur yang tidak mudah, namun benar—dan dukungan publik selayaknya terus mengalir agar reformasi ketenagakerjaan ini benar-benar terwujud.
)* Penulis adalah pengamat kebijakan publik