Jelang Pilkada Serentak, Kabid Kepemiluan MN Kahmi Optimistis Politik Uang Bisa Dicegah

-

Jelang pelaksanaan Pilkada serentak yang tinggal beberapa hari lagi, pembahasan tentang pencegahan money politik kembali mengemuka. Lantas apakah money politik bisa dicegah saat pesta demokrasi?

“Apakah bisa menghilangkan money politik Jawabannya bisa. Kita harus jujur dan bisa obyektif. Kemudian jadilah kita penerang untuk mencegah money politik,” ujar Pengamat Pemilu Ramdansyah di Acara Bincang Pilkada: Pilkada Tanpa Politik Uang Mungkinkah? Dimana Peran KPU-Bawaslu yang digelar Pangkep Undercover, Live di TikTok, Kamis malam (21/11/2024).

“Kita juga harus sama-sama mengawasi. Dalam teori kriminologi ‘jendela pecah’, maka kita semua mengawasi jendela tersebut, sehingga tidak akan ada maling yang masuk. Jadi ketika Pilkada diawasi oleh kita semua, kita mengontrol, menjaga dengan baik, maka jendela pecah itu tidak akan kemudian dimasuki maling. Namun kalau tidak diawasi, jangankan jendelanya. Rumahnya pun akan hilang,”imbuhnya.

Ramdansyah yang pernah menjabat Ketua Panwaslu DKI Jakarta 2008/2009 dan 2011/2012 membeberkan bagaimana potensi money politik bisa terjadi. Serta bagaimana mencegahnya.

Ia kemudian membeberkan tentang budaya korupsi. Menurut Ramdansyah, hasil survei atau evidence base yang dibuat lembaga penelitian seperti CSIS, BPS, LSI, Jaringan Indonesia, Lembaga Survei Pemilu seperti Indikator sudah mengangkat soal persepsi publik akan korupsi.

“Yang menyatakan bahwa responden kita masyarakat 75 persen, itu percaya bahwa korupsi itu terjadi di ruang publik. Pertama, Ini menjadi pintu masuk untuk menyatakan bahwa potensi terjadinya money politik itu di Pilkada 2024 bisa bersumber dari pasangan calon. Yang kedua, main mata dengan penyelenggara atau ASN atau Pemda,” ujar Ramdansyah yang juga Kabid Kepemiluan Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN Kahmi)

“Statemen ini harus saya sampaikan karena sudah menjadi evidence base nya, seperti sudah dirilis oleh beberapa nama lembaga survei CSIS, LSI dan seterusnya,” tegasnya.

Ramdansyah juga menyampaikan setelah hasil survei para calon ini, Pilkada itu hampir sama nafasnya dengan Pemilu legislatif. Dimana menurut asumsinya, bahwa Pemilu dan Pilkada di Indonesia bagaikan pasar bebas atau free capital market.

“Kebetulan saya penguji materi ke MK terkait coblos tiga suara dianggap sah. Itu kebetulan kami kalah dan dinyatakan ditolak oleh MK. Kenapa kami mengajukan uji materi ke MK terkait dengan namanya the unreal clean candidat. Karena, tidak ada angin tidak ada hujan kok ada orang itu tiba-tiba mendapat B1 KWK atau form dukungan sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada,” jelas Ramdansyah.

“Nah ini menurut saya tidak terjadi merit sistem oleh partai politik. Partai tidak terbuka pada publik. Terutama, sebelum putusan MK nomor 60 dan 70 di bulan Agustus 2024. Dimana waktu itu partai dengan 20 persen kursi atau 25 persen suara dapat mencalonkan kadernya. Tetapi, partai politik menyerahkan mandat kepada orang yang tidak memiliki track record kepemimpinan. Tentu saja ketika sudah mendapatkan dukungan berdasarkan Putusan MK pada bulan Agustus 2024 lalu, ternyata partai politik tidak melakukan perubahan dukungan. Mereka masih melakukan rekruitmen yang tidak transparan,” imbuhnya.

Keputusan MK itu, tidak dimanfaatkan untuk menjadikan kadernya sebagai kandidat atau tokoh tokoh yang mendapatkan kepercayaan publik di daerahnya berdasarkan hasil survei.

“Saya mengutip yang namanya politiks als belruf kata Max Weber selaku Sosiolog Jerman, yang menyatakan politik itu profesionalitas. Ketika seorang kader partai tidak diusung, bahkan kemudian tidak ada angin tidak ada hujan maka orang lain yang diusung, maka yang terjadi adalah potensi korupsi. Potensi money politik terjadi ketika yang namanya kandidat dicalonkan tanpa transparansi oleh partai politik. Itu jadi pintu masuknya politik uang. Dari awal kebutuhan akan form B1 KWK atau rekomendasi partai politik itu memunculkan money politik,” beber Ramdansyah.

“Kemudian ketika di lapangan walaupun ada batasan Rp100 ribu untuk souvenir sesuai Peraturan KPU, tapi yang terjadi itikadnya untuk money politik atau vote buyer. Pemberian kaos, makanan dan suvenir lainnya, tanpa menyampaikan misi visi program dari pasangan calon berpotensi pelanggaran. Karena, suvenir sebagai pengganti transport bagi para calon pemilih ketika menuju lokasi kampanye,” imbuhnya.

Pemberian itu menurut catatan Ramdansyah memancing orang untuk datang, tapi pada akhirnya kehadiran masyarakat tidak untuk mendengarkan misi visi program dari kandidat. Tetapi lebih kepada tujuan untuk mendapatkan minyak sayur, makanan dan seterusnya. Sehingga pendidikan politik tidak terjadi.

“Dan disini kecenderungannya yang terjadi potensi money politik atau yang namanya pembagian uang tunai itu mengarah kepada money politik tapi karena batasan jumlah maksimal dalam Peraturan KPU, maka tidak masuk ranah pidana Pemilu politik uang. Meskipun demikian ini menyuburkan perspsi publik bahwa Pemilu atau Pilkada berarti pembagian uang, makanan, dan suvenir,” ujarnya.

“Yang repotnya lagi adalah ada tim bayangan yang kemudian (bilang) kalau mau masuk RT/ RW harus bayar Rp5 juta dan asumsinya buat beli mengecat tembok Pos RW atau buat beli bangku dan seterusnya. Padahal itu sebenarrnya kebutuhan perangkat itu sudah ada anggarannya. Ini berpotensi money politik atau pintu masuk untuk politik uang,” imbuhnya.

Ternyata jelas Ramdansyah, asumsi untuk money politik itu tadi atau sekedar membeli suara dengan cara memberikan uang ini sebenarnya asumsi yang dibangun oleh si kandidat itu sendiri. Jadi kandidat merasa kalau dia tidak memberikannya uang mereka merasa akan kalah.

“Jadi yang dilakukan adalah, tadi saya katakan free market, Pemilu, Pilkada adalah pasar bebas. Sehingga, yang dilakukan adalah mencari donor untuk membiayai kandidat untuk bisa menang. Dan akhirnya ketika menjadi kepala daerah, dia harus membagikan proyek-proyek kepada penyumbang tersebut. Jadi dari kalangan kandidat di Pilkada mereka sendiri ternyata sudah berpikir ke arah sana,” ujar Ramdansyah.

Kemudian penyelenggara dan Bawaslu dalam mengawasi money politik, jangan hanya dengan pendekatan konvensional, meskipun demikian Petugas Pengawas TPS jangan dibebankan untuk menangkap pelaku kejahatan money politik.

“Saya memberi materi pengawasan di Kota Makassar dalam rapat kerja Bawaslu se kawasan Timur, seperti dari Papua dan Sulawesi. Saya tegaskan bahwa KPU memiliki sejumlah perangkat sistem informasi manajemen di setiap tahapan. Bawaslu sudah seyogyanya melakukan hal yang sama seperti menggunakan Sistem Informasi Pemilihan atau Siswalih. Tetapi tidak untuk Panwascam, Pengawas kelurahan Desa dan Pengawas TPS. Mereka tidak perlu dibebankan untuk mengawasi kejahatan money politik,” ujarnya.

“Mereka itu pengawas di TPS yah akan sulit lah mereka menangkap yang namanya money politik melalui transfer. Saya berharap awalnya ketika Bareskrim membuat Satgas terkait dengan money politik atau PPATK bekerja sama dengan Bawaslu, dengan KPU dan sejumlah pemangku kepentingan. Dengan pendekatan kerjasama antar pemangku kepentingan, maka akan mudah menangkap atau menegakan hukum terkait dengan kejahatan tindak pidana pemilu yang berjenis atau kejahatan kerah putih. Kejahatan ini bagaikan kentut, tetapi tidak ada mau melapor dan dilanjutkan menangkap para pelaku,” imbuh Ramdansyah.

Tapi menurutnya, ciri dari white collar crime adalah memang sangat sulit karena cara dan tekniknya sangat tinggi. Tetapi polanya akan kita temukan terstruktur, sistematis dan masif. Dan itu tidak dibebankan kepada Pengawas TPS, Pengawas Kelurahan Desa dan juga Panwascam.

“Tadi saya bilang penyelenggara berpotensinya ikut terlibat. Tapi saya perlu bilang tidak semua penyelenggara melakukan terlibat dalam money politik. Tapi saya mau bilang, kejahatan terstruktur, sistematis dan masif tidak akan terjadi kalau dilakukan tunggal, dilakukan oleh pasangan calon saja. Tetapi disitu ada juga keterlibatan KPU dan Bawaslu
Kalau itu terjadi tidak hanya etik. Tapi juga pidana,” tegas Ramdansyah.

Kemudian Ramdansyah juga menegaskan pentingnya pejabat negara, TNI Polri untuk tetap netral. Saat ini kata dia sudah ada aturan semakin tegas tidak boleh cawe-cawe.

“Saya juga hadir ketika pembacaan putusan MK, terkait dengan cawe-cawe pejabat negara, TNI Polri, maka tidak hanya pelanggaran administrasi saja, demosi, tetapi juga dapat pemidanaan dan juga denda. Jadi menurut saya ini sebuah progres, saya berharap ini bisa menyebabkan aktivitas money politik di rem dengan adanya ancaman pidana terhadap para pejabat negara, TNI Polri,” ujar Ramdansyah.

Tidak ketinggalan, Ramdansyah juga mengingatkan pentingnya Partisipasi Publik.

“Background saya kriminologi dan Sarjana Hukum Dalam kriminologi itu ada yang namanya pendekatan polisi komunitas, atau di pihak kepolisian Jepang namanya Koban. Dasarnya rasio polisi itu selalu kurang dimana Saja. Tetapi rasio polisi yang kurang itu bisa ditutupi dengan namanya partisipasi publik. Jadi anggaran polisi ditambah, perangkat ditambah tetapi kalau tidak ada partisipasi publik, masyarakat tidak ikut mengawasi maka potensi kejahatan akan semakin besar. Karena kejahatan itu bersifat omnipresent, ada dimana saja, kapan saja pelakunya siapa saja,” ujarnya.

Karena itu, Ramdansyah mengapresiasi semua pihak, yang berkomitmen untuk mewujudkan Pilkada berjalan jurdil dan luber seperti yang dilakukan oleh Pangkep Undercover.

“Nah tentu saja Apresiasi semuanya Bawaslu, KPU, peneliti, masyarakat, kita ini adalah para penjaga jendela pecah. Dalam teori the broken windows teori Ketika suatu jendela pecah kita semua mengawasi jendela tersebut maka tidak akan ada maling yang masuk.

“Karenanya di beberapa kali kesempatan. Berjumpa dengan anak anak muda, mereka bilang politik adalah kotor. Maka kita dorong agar mereka yang akan membersihkan nanti 5-10 tahun kedepan. Kita perlu mengkader orang-orang idealis yang masih muda untuk menjadi penyelenggara pemilu. Beri dukungan agar mereka menjadi peserta Pemilu atau Pilkada. Ini sebenarnya cara mengurangi money politik berasal dari diri kita sendiri. Kita menjadi pengawas, penyelenggara, pemantau, tetapi dengan tujuan agar tercapainya keadilan Pemilu. Penyelenggara itu harus jadi cahaya. Kalau kita cahaya, maka pemilu menjadi terang,” pungkasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Related Stories