Kebijakan Deregulasi Impor Jaga Daya Saing Industri Nasional

-

Kebijakan Deregulasi Impor Jaga Daya Saing Industri Nasional

Oleh : Iksan Akbari

Dalam menghadapi dinamika global yang sarat ketidakpastian, pemerintah Indonesia mengambil langkah strategis melalui kebijakan deregulasi impor sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas ekonomi nasional. Kebijakan ini tidak hanya dimaksudkan untuk memperkuat neraca perdagangan, tetapi juga untuk memastikan industri nasional tetap mampu bersaing di tengah derasnya arus globalisasi. Ketika tekanan geopolitik dan geoekonomi menjadi tantangan nyata, respons cepat dan tepat melalui penyesuaian regulasi menjadi sangat krusial. Langkah deregulasi ini diimplementasikan dalam bentuk penyederhanaan aturan melalui Permendag Nomor 16 Tahun 2025 dan delapan Permendag turunan lainnya, yang mengatur lebih spesifik terkait komoditas impor tertentu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Langkah deregulasi tersebut mencerminkan keseriusan pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Di tengah berbagai kritik terhadap kebijakan pembatasan impor sebelumnya, deregulasi ini menjadi angin segar bagi pelaku industri yang sempat kesulitan mendapatkan bahan baku vital. Misalnya, industri tekstil dan kimia yang selama ini terganjal oleh persyaratan Persetujuan Impor (PI), kini lebih mudah bergerak berkat dihapuskannya kewajiban tersebut untuk beberapa kategori barang. Relaksasi ini diharapkan mampu meningkatkan efisiensi produksi serta menurunkan biaya logistik yang selama ini menjadi kendala utama industri nasional.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kebijakan ini secara spesifik memberikan relaksasi pada sepuluh kelompok komoditas yang diklasifikasikan dalam empat kategori utama. Pertama, bahan baku dan penolong industri, seperti plastik, pupuk, dan bahan kimia, yang kini cukup dilengkapi Laporan Surveyor (LS) sebagai instrumen pembatasan. Kedua, produk pendukung program nasional, termasuk nampan makanan untuk mendukung pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ketiga, produk industri berdaya saing, seperti alas kaki dan sepeda, yang memiliki potensi ekspor tinggi. Dan keempat, produk kehutanan yang sebelumnya terhambat karena keharusan PI, kini cukup dilengkapi dengan deklarasi impor dari Kementerian Kehutanan guna menjaga legalitas dan ketelusuran kayu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Namun, perlu disadari bahwa relaksasi ini tidak boleh disalahartikan sebagai pembukaan pintu lebar-lebar bagi produk luar negeri tanpa kendali. Pemerintah tetap menegaskan bahwa perlindungan terhadap industri dalam negeri merupakan prioritas utama. Menteri Perdagangan Budi Santoso menyatakan bahwa kebijakan ini bersifat sementara dan akan terus dievaluasi secara berkala. Hal ini menunjukkan adanya kehati-hatian pemerintah dalam menyeimbangkan kebutuhan mendesak akan bahan baku dengan perlindungan terhadap kelangsungan industri lokal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Meskipun kebijakan ini mendapat sambutan positif dari banyak pelaku usaha, pengamat ekonomi tetap mengingatkan akan adanya potensi risiko. Produk-produk jadi dari luar negeri yang masuk secara masif dapat menjadi ancaman serius jika tidak diimbangi dengan pengawasan yang ketat. Apalagi, banyak industri dalam negeri yang saat ini tengah berada di titik krusial karena tekanan dari produk impor murah. Contoh paling nyata dapat dilihat dari merosotnya sektor tekstil dan alas kaki yang mengalami gelombang PHK akibat ketidakmampuan bersaing.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ekonom dari Prasasti Center for Policy Studies, Piter Abdullah, menyampaikan bahwa keberhasilan deregulasi ini sangat bergantung pada penguatan sistem pengawasan. Ia menekankan pentingnya penegakan hukum terhadap penyelundupan dan masuknya barang ilegal. Tanpa pengawasan yang kuat, deregulasi berpotensi menjadi bumerang yang justru memperlemah daya saing industri lokal. Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi lintas sektor, mulai dari aparat bea cukai, kementerian teknis, hingga pemerintah daerah, dalam mengawasi jalur distribusi barang impor.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Selain itu, kebijakan deregulasi ini harus didukung dengan strategi jangka panjang untuk memperkuat struktur industri nasional. Ketergantungan terhadap bahan baku impor harus dikurangi secara bertahap melalui hilirisasi dan industrialisasi domestik. Investasi dalam riset dan pengembangan bahan baku alternatif di dalam negeri juga menjadi agenda penting yang tak boleh diabaikan. Dengan cara ini, Indonesia tidak hanya menjadi pasar bagi produk luar negeri, tetapi juga menjadi produsen yang kompetitif secara global.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Yang tidak kalah penting adalah pelibatan pemangku kepentingan dalam perumusan dan evaluasi kebijakan. Suara pelaku industri, akademisi, asosiasi, dan masyarakat sipil perlu didengar agar kebijakan tidak hanya berpihak pada satu kepentingan semata. Pemerintah perlu menciptakan ruang dialog yang terbuka dan dinamis agar kebijakan dapat disesuaikan dengan realitas di lapangan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa deregulasi benar-benar menjadi solusi, bukan sekadar kompromi jangka pendek.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Secara keseluruhan, deregulasi impor merupakan bagian dari transformasi ekonomi yang lebih besar, yakni menjadikan Indonesia sebagai negara industri maju yang mampu bersaing di tingkat global. Untuk itu, kebijakan ini perlu dikawal dan diperkuat melalui reformasi struktural lainnya, seperti pembenahan birokrasi, peningkatan kualitas tenaga kerja, dan penguatan infrastruktur logistik. Dengan ekosistem yang mendukung, industri nasional tidak hanya bertahan, tetapi juga tumbuh dan menjadi pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Langkah pemerintah dalam mendorong deregulasi impor patut diapresiasi sebagai bentuk keberanian dalam merespons tantangan global. Namun demikian, keberanian ini harus diiringi dengan kebijaksanaan dan pengawasan ketat agar tidak menjadi bumerang bagi industri nasional. Daya saing industri Indonesia bukan hanya ditentukan oleh kebebasan mengakses bahan baku, tetapi juga oleh kemampuan negara dalam menciptakan sistem yang adil, kompetitif, dan berkelanjutan. Jika dijalankan dengan tepat, kebijakan ini bisa menjadi pijakan kuat menuju transformasi industri yang lebih inklusif dan tahan terhadap guncangan eksternal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

)* Penulis adalah Pengamat Ekonomi

Related Stories