Kehadiran MBG Membantu Menurunkan Risiko Gangguan Pertumbuhan Anak

-

Kehadiran MBG Membantu Menurunkan Risiko Gangguan Pertumbuhan Anak

Oleh: Hana Widya Saraswati

Upaya menghadirkan MBG sebagai program pemenuhan gizi terbukti memberi kontribusi besar dalam menurunkan risiko gangguan pertumbuhan anak, dan pembaca diajak melihat bagaimana berbagai pihak meyakini bahwa inisiatif ini bukan sekadar penyediaan makanan, tetapi fondasi jangka panjang bagi kualitas generasi muda. Pandangan dari para ahli gizi menunjukkan bahwa program ini layak mendapat dukungan lebih kuat agar hasilnya semakin optimal.

 

Ketua Umum DPP Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) Doddy Izwardy menilai bahwa standar yang diterapkan dalam penyelenggaraan MBG berdiri di atas pondasi ilmiah serta mekanisme pengawasan yang serius. Ia mengangkat kembali bahwa sebelum program ini dijalankan, para pakar gizi di Persagi telah menyampaikan sejumlah rekomendasi penting, terutama mengenai tata laksana MBG di lapangan.

 

Keterlibatan ahli gizi dalam proses SPPG juga memastikan bahwa menu yang disusun bukan sekadar layak konsumsi, tetapi sesuai kebutuhan anak-anak di berbagai jenjang usia. Doddy mengingatkan bahwa Persagi memiliki lebih dari 53 ribu anggota yang tersebar di 35 DPD dan sekitar 500 kabupaten dan kota, serta komunikasi internal dilakukan secara berkala agar semua ahli gizi memahami standar pelaksanaan MBG.

 

Penyesuaian menu MBG, menurut penegasan Persagi, telah dibuat berdasarkan angka kecukupan gizi sesuai usia anak. Pedoman tersebut juga sejalan dengan aturan angka kecukupan gizi harian yang tercantum dalam Permenkes. Doddy menggarisbawahi bahwa menu yang disajikan tidak boleh keluar dari unsur dasar pemenuhan gizi yang mencakup karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral. Selain itu, proses quality control dianggap sebagai aspek mutlak. Pengawasan mencakup pemilihan bahan mentah, penyimpanan, pengolahan, pengemasan, hingga distribusi ke sekolah.

 

Lebih jauh, Doddy menyoroti bahwa manfaat MBG tidak berhenti pada persoalan rasa kenyang. Ia mengamati perubahan perilaku konsumsi makanan sehat pada anak-anak sekolah sejak program ini berjalan. Menurutnya, anak-anak kini mendapat referensi baru tentang makanan sehat, sesuatu yang mungkin tidak mereka temui di rumah.

 

Situasi makan bersama di sekolah membuat anak yang sebelumnya tidak menyukai sayuran menjadi lebih berani mencoba karena terpengaruh teman-temannya. Ia membandingkan fenomena itu dengan kondisi di Posyandu, di mana anak lebih bersemangat makan ketika melihat anak lain makan lahap. Bagi Doddy, aspek sosial semacam ini justru menjadi kunci penguatan pola makan sehat di lingkungan anak-anak.

 

Doddy juga menegaskan bahwa MBG adalah kombinasi dari data empiris, penguatan SDM, serta pengawasan yang dilakukan para ahli. Ia memandang program ini bukan hanya sebagai solusi jangka pendek bagi masalah gizi, tetapi sebagai investasi jangka panjang yang akan menentukan kualitas generasi Indonesia di masa depan. Dengan dasar tersebut, ia mengajak publik melihat MBG sebagai bagian dari pembangunan kesehatan nasional, bukan sekadar proyek pemberian makanan sesaat.

 

Sementara itu, ahli gizi Ni Ketut Sutiari memberikan pandangan mengenai pentingnya peran sekolah dalam penyelenggaraan MBG. Menurutnya, sekolah tidak boleh hanya menjadi penerima menu, tetapi harus terlibat sejak tahap paling awal, yaitu perencanaan menu dan pemilihan penyedia bahan makanan.

 

Ia menekankan bahwa pemantauan kualitas makanan tidak cukup hanya pada proses pembagian kepada murid. Sekolah harus terlibat sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Mekanisme partisipatif semacam itu diyakininya dapat menjaga kualitas gizi tetap stabil dan sesuai standar. Pendapat ini ia sampaikan ketika menjelaskan bagaimana sekolah perlu memperkuat perannya dalam keseluruhan rantai penyelenggaraan program.

 

Program MBG di sekolah dinilai menjadi salah satu solusi strategis dalam mendorong upaya penurunan angka stunting. Dengan memberikan akses makanan bergizi secara teratur, anak-anak memiliki kesempatan tumbuh lebih optimal dan produktif. Upaya ini sejalan dengan arah kebijakan pemerintah dalam mengatasi stunting, terutama di daerah yang masih mencatat angka permasalahan gizi cukup tinggi.

 

Di Bali, pemerintah provinsi terus mempercepat penanganan stunting pada bayi dan balita. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, prevalensi stunting di Bali berada pada angka 8,7 persen. Angka tersebut menempatkan Bali sebagai provinsi dengan tingkat stunting terendah di Indonesia. Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr. Putu Astri Dewi Miranti menyatakan bahwa lebih dari 75 persen target intervensi spesifik pencegahan stunting berhasil dicapai.

 

Capaian ini menunjukkan bahwa proses penanganan berjalan efektif, meskipun ia menekankan bahwa intervensi spesifik hanya berkontribusi sekitar 30 persen dalam penanganan stunting. Sisanya, yaitu 70 persen, merupakan intervensi sensitif yang melibatkan berbagai perangkat daerah. Mulai dari penyediaan sanitasi, air bersih, jaminan kesehatan, hingga peningkatan pemahaman masyarakat mengenai stunting, semuanya menjadi faktor penentu.

 

Dr. Astri menambahkan bahwa Pemerintah Provinsi Bali membentuk tim percepatan penanganan stunting dengan melibatkan seluruh perangkat daerah. Tim ini bertugas melaksanakan intervensi terpadu, baik pada aspek kesehatan maupun faktor pendukung lain yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. Menurutnya, keberhasilan menurunkan angka stunting hanya dapat dicapai jika penanganan dilakukan secara menyeluruh dan terkoordinasi.

 

Dengan rangkaian pandangan para ahli dan bukti keberhasilan yang sudah terlihat, program MBG layak diperluas dengan penguatan sistem dan pengawasan berkelanjutan. Jika masyarakat, sekolah, dan pemerintah bergerak dalam arah yang sama, maka upaya menciptakan generasi yang sehat dan berkualitas akan semakin nyata. Dukungan dan partisipasi aktif dari semua pihak menjadi kunci agar manfaat MBG tidak hanya dirasakan saat ini, tetapi juga menjadi investasi jangka panjang bagi masa depan anak-anak Indonesia.

 

*)Konsultan Pemberdayaan Sosial – Sentra Kesejahteraan Nasional

Related Stories