Kenaikan Pajak Daerah Murni Keputusan Pemerintah Daerah
Oleh: Ramdhani Hidayat
Pemerintah daerah belakangan ini mengambil langkah strategis dengan menaikkan pajak daerah untuk memperkuat kemandirian fiskal. Kebijakan ini merupakan hasil analisis kebutuhan riil anggaran daerah, bukan tekanan dari pemerintah pusat. Dalam situasi pasca-pandemi, permintaan publik terhadap peningkatan pelayanan di sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur semakin tinggi. Langkah ini menjadi instrumen penting untuk menjamin keberlanjutan pembangunan daerah. Kenaikan pajak daerah merupakan manifestasi nyata dari pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Direktur Eksekutif KPPOD, Dr. Herman N. Suparman, menegaskan bahwa kebijakan kenaikan tarif PBB-P2 di daerah sah dilakukan selama berlandaskan kajian fiskal yang matang dan melibatkan partisipasi publik secara bermakna. Menurutnya, dinamika yang terjadi di Kabupaten Pati mencerminkan masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan fiskal di tingkat daerah. Oleh karena itu, ia menilai keterbukaan dalam menyampaikan simulasi tarif beserta dampaknya menjadi faktor penting agar kebijakan pajak dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat, sejalan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang diharapkan dari pemerintah daerah.
Bupati Pati, Sudewo, menjelaskan bahwa rencana kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen merupakan hasil evaluasi fiskal daerah, mengingat nilai Pajak Bumi dan Bangunan belum mengalami penyesuaian selama 14 tahun terakhir. Ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut merupakan inisiatif pemerintah daerah, bukan instruksi dari pemerintah pusat. Menyikapi aspirasi masyarakat, Sudewo membatalkan kebijakan tersebut dan menyampaikan permohonan maaf atas pernyataan yang sempat menimbulkan dinamika aspirasi masyarakat. Langkah ini menunjukkan sikap pemerintah daerah yang responsif, terbuka terhadap masukan, dan berkomitmen menjaga hubungan harmonis dengan warganya.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Negeri Surabaya, Dr. Hananto Widodo, MH, menjelaskan bahwa keputusan Bupati Pati terkait penyesuaian tarif PBB berada dalam kewenangan kepala daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Ia menilai kebijakan tersebut sah secara hukum dan dapat dibahas secara konstruktif. Namun, ia juga mengingatkan pentingnya memperhatikan dampak terhadap masyarakat agar tidak menimbulkan keresahan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa penerapan kebijakan pajak daerah sebaiknya disertai dialog terbuka dan penjelasan yang memadai, sehingga mampu memperkuat kepercayaan publik kepada pemerintah.
Secara umum, penyesuaian tarif pajak daerah merupakan instrumen strategis untuk memperkuat capaian Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa terlalu bergantung pada transfer dari pemerintah pusat. Pasca pandemi, pemerintah daerah menghadapi kebutuhan mendesak dalam pendanaan sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Dengan mengoptimalkan PAD secara mandiri, efektivitas belanja daerah dapat ditingkatkan karena alokasi dana menuju program prioritas lokal menjadi lebih cepat. Kemandirian fiskal ini sekaligus menunjukkan kemampuan daerah dalam merancang strategi pembangunan yang sesuai karakter dan kebutuhan wilayahnya.
Meskipun kebijakan kenaikan pajak kerap memunculkan resistensi, langkah tersebut mencerminkan keberanian pemerintah daerah menjalankan otonomi sesuai koridor hukum. Agar pelaksanaan kebijakan lebih berhasil, terdapat tiga strategi utama yang dapat diterapkan. Pertama, sosialisasi publik secara menyeluruh, termasuk pemaparan alasan kenaikan dan simulasi dampaknya bagi masyarakat. Kedua, penyelenggaraan musyawarah publik seperti musrenbang untuk memperkuat kepercayaan warga. Ketiga, digitalisasi proses pembayaran guna meningkatkan kemudahan dan kepatuhan wajib pajak. Ketiga pilar ini akan memastikan kebijakan pajak daerah tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga efektif dan inklusif.
Keterbukaan dialog antara pemerintah dan masyarakat tergambar jelas dalam langkah cepat Pemkab Pati membatalkan kenaikan tarif saat terjadi protes massal. Tindakan ini mencerminkan praktik demokrasi partisipatif, di mana pengambilan keputusan tidak hanya tepat secara prosedur fiskal, tetapi juga dapat diterima secara sosial. Pemanfaatan mekanisme hukum, seperti hak interpelasi DPRD dan evaluasi publik, menjadi instrumen penting untuk menyempurnakan kebijakan. Hal ini menegaskan pemahaman bahwa kebijakan fiskal daerah idealnya lahir dari proses interaksi sehat antara pemerintah dan warganya.
Perlu dipahami bahwa kebijakan pajak daerah merupakan kewenangan pemerintah daerah, berbeda dengan kebijakan PPN atau PPnBM yang menjadi ranah pemerintah pusat. Otonomi fiskal memberi ruang bagi daerah untuk mengelola sumber pendapatan secara optimal sesuai dengan kebutuhan lokal dan mandat pembangunan. Pendekatan ini menempatkan pemerintah daerah sebagai aktor utama dalam menentukan arah pembangunan, sekaligus mendorong pemanfaatan potensi wilayah secara maksimal.
Dari perspektif yang lebih luas, penyesuaian tarif pajak daerah harus dilihat sebagai bagian dari strategi nasional untuk memperkuat basis fiskal daerah secara berkelanjutan. Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri berperan membina dan memfasilitasi proses tersebut, sebagaimana disampaikan Dirjen Otonomi Daerah, Akmal Malik. Fungsi pembinaan dan pengawasan ini menjadi bentuk sinergi antara pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan akuntabilitas serta kesesuaian teknis kebijakan.
Dengan mengedepankan transparansi, digitalisasi, dan partisipasi publik, kebijakan pajak daerah tidak hanya berdampak pada peningkatan penerimaan fiskal, tetapi juga pada kualitas pelayanan publik. Dana pajak yang terhimpun dapat dialokasikan langsung ke program yang bermanfaat nyata bagi masyarakat, seperti perbaikan infrastruktur jalan, peningkatan fasilitas kesehatan, dan penyediaan layanan pendidikan yang lebih baik. Langkah ini menjadi motor penggerak untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.
Pada akhirnya, kebijakan kenaikan pajak daerah merupakan bukti bahwa pemerintah daerah mampu berinovasi dan bersikap proaktif dalam mengelola keuangan daerah. Dengan dasar hukum yang kuat, kajian fiskal yang komprehensif, dan keterlibatan publik yang luas, kebijakan ini relevan untuk didukung. Respons cepat dalam mengoreksi kebijakan ketika mendapat masukan masyarakat adalah manifestasi nyata dari semangat otonomi dan demokrasi yang berkeadaban.
)*Penulis merupakan pengamat kebijakan publik