Kolaborasi Nasional Tangkal Bahaya Judi Online Bagi Anak Bangsa

-

Kolaborasi Nasional Tangkal Bahaya Judi Online Bagi Anak Bangsa

Oleh: Bening Cahaya Salsabila

Dalam era digital di mana kenyamanan dan kecepatan menjadi norma, praktik judi daring telah menjelma menjadi ancaman tersembunyi yang merangsek ke ruang muda dan ruang keluarga. Pemerintah pusat bersama pemerintah daerah telah mengokohkan sinergi untuk menumpas fenomena ini sebagai bagian dari upaya menjaga generasi muda — bukan sekadar dari sisi hukum, tetapi dari sisi pendidikan, moral dan sosial. Kolaborasi ini menegaskan bahwa edukasi bahaya judi daring tidak boleh sekadar wacana, melainkan gerakan sistemik.

Penanganan bersama ini muncul sebagai respons terhadap fakta mengkhawatirkan. Data dari Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, Asep Nana Mulyana, mengungkap bahwa pelaku judi daring tidak hanya berasal dari kalangan mahasiswa atau pekerja dewasa, melainkan bahkan dari anak sekolah dasar hingga tunawisma. Dari survei per 12 September 2025, terlihat bahwa segmen usia di bawah 18 tahun pun telah tercatat sebagai pelaku. Angka dan gambaran ini menjadi alarm bahwa edukasi tanpa batas harus segera dijalankan. Analisis ini menunjukkan bahwa modus dan medium judi daring telah menyentuh semua lapisan masyarakat — pelajar, mahasiswa, petani, tunawisma — yang menunjukkan bahwa dampaknya bersifat lintas-sosial dan tidak mengenal garis pemisah.

Mengapa edukasi menjadi titik fokus dalam perang melawan judi daring? Karena secara fundamental, praktik judi online bukan hanya soal pelanggaran aturan, melainkan sebuah jebakan psikologis dan sosial yang sulit dilacak dan dikendalikan. Sebagaimana ditegaskan oleh Dedi Irwansa, Ketua Komisi A DPRD di tingkat provinsi, riset sederhana yang digelarnya menunjukkan dominasi pengguna judi daring berasal dari pelajar dan mahasiswa — kelompok usia yang seharusnya berada dalam fase pembelajaran dan pembangunan karakter. Dedi mengingatkan bahwa praktik ini “merusak ketahanan keluarga, menciptakan kemiskinan baru, bahkan menggerus moralitas anak muda.” Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa risiko permainan daring bukan hanya kerugian finansial, melainkan kerusakan fondasi sosial yang jauh lebih luas.

Edukasi yang efektif harus menyasar dua arena utama: medianya yang digital dan ruang sosial-nyata (sekolah, kampus, keluarga). Di arena digital, platform-platform judi daring memanfaatkan unsur kemudahan, anonimitas, serta iming-iming keuntungan instan untuk menarik pengguna muda. Di ruang nyata, tantangannya adalah bagaimana menyadarkan generasi muda bahwa tawaran “untung cepat” itu sebenarnya adalah perangkap yang menguras bahkan menghancurkan. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menekankan peran teknologi sebagai “ruang tanpa pagar”, yang memerlukan aksi bersama—pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan media. Dalam hal ini, ia menegaskan bahwa pencegahan hanya akan berhasil bila semua pihak bergerak bersama.

Tidak kalah penting adalah edukasi dalam keluarga. Ketika anak-anak dan remaja mulai mengenal gawai lebih awal, pengawasan orang tua dan pembicaraan terbuka mengenai risiko digital menjadi kunci. Tanpa pembekalan literasi digital yang memadai, mereka dapat mudah terjebak. Pemerintah daerah telah merencanakan literasi digital ke sekolah, kampus, dan masyarakat umum agar warga lebih cerdas dan mampu menolak ajakan menyesatkan. Di sini, regulasi hanya akan memunculkan efek maksimal kalau dibarengi dengan pemahaman: mengapa judi daring berbahaya, bagaimana mekanismenya, dan apa konsekuensi jangka panjangnya.

Fenomena di wilayah ibu kota menjadi contoh nyata skala seriusnya persoalan ini. Pemerintah provinsi di ibu kota melaporkan bahwa ratusan ribu warga terindikasi terlibat judi daring, dengan nilai transaksi triliunan rupiah melalui sistem keuangan formal yang terpantau. Data ini memperlihatkan bagaimana judi daring telah menjelma menjadi ekosistem operasional yang besar dan sistemik.

Efek sosial edukasi yang buruk terlihat ketika anak muda tergoda lalu akhirnya mengalami kerugian finansial, konflik keluarga, hingga putusnya jalur pendidikan. Mereka yang terjerumus mungkin tidak hanya kehilangan uang, tetapi kehilangan waktu, harapan, dan kepercayaan diri. Lunturnya moralitas — kata Dedi — bukan mitos, melainkan realitas yang harus dihadapi bersama. Jika generasi muda tumbuh dengan kompas nilai yang goyah karena godaan instan, maka konsekuensinya akan melampaui kerugian pribadi menjadi masalah nasional dalam jangka panjang: meningkatnya kemiskinan, menurunnya kualitas Sumber Daya Manusia, dan melemahnya struktur sosial.

Edukasi yang baik bukan hanya menyampaikan larangan, tetapi juga membekali: mengenali modus, mengenali risiko, melatih spirit kritis terhadap propaganda untung cepat, dan membangun alternatif positif seperti pengembangan kreativitas digital, kewirausahaan anak muda, serta penguatan komunitas pendukung yang sehat. Pemerintah, melalui sinergi pusat-daerah, telah menjadikan deklarasi anti judi daring sebagai momentum untuk memperkuat regulasi, pemblokiran situs ilegal, serta perluasan literasi digital. Langkah-langkah ini tidak boleh berhenti di deklarasi; harus terus bermuara ke program nyata dan evaluasi hasil.

Sebagai warga masyarakat — terutama orang tua, guru, pembimbing, dan semua yang memiliki peran dalam pengasuhan generasi muda — tanggung jawabnya tak kecil. Edukasi bahaya judi daring harus dikembangkan dalam setiap rumah tangga, sekolah maupun kampus. Kesadaran bahwa tawaran cepat kaya adalah jebakan harus menjadi dialog rutin. Dan ketika pemerintah pusat dan daerah bergerak bersama, masyarakat juga harus ikut serta sebagai bagian dari kekuatan pentahelix yang disebut oleh Menteri Meutya: kolaborasi antarsektor yang saling menguatkan.

Akhirnya, edukasi bahaya judi daring bukanlah semata pekerjaan pemerintah saja. Ia adalah misi kolektif kita semua — warga negara, institusi pendidikan, sektor swasta, organisasi kemasyarakatan. Ketika kita bersama meneguhkan bahwa “ini bukan peluang, tetapi jebakan”, maka kita telah mengubah narasi dari kekalahan menjadi perlawanan aktif, dari korban menjadi pejuang masa depan. Generasi muda layak mendapatkan ruang digital yang aman dan produktif — bukan ruang yang menjebak.

Pengamat Kebijakan Sosial

Related Stories