KUHP Nasional Jamin Kesamaan Kedudukan Pejabat di Mata Hukum
Oleh : David Falih Hansa
Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional oleh DPR RI beberapa waktu lalu telah mampu menjamin adanya kesamaan kedudukan dari seluruh pejabat negara di mata hukum. Karena KUHP Nasional tersebut terus menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi di Indonesia.
Termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa pada Pasal 27 ayat (1) telah dengan tegas menyatakan semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum, hal tersebut juga banyak disebut dengan konsep equality before the law, yang mana merupakan sebuah norma yang mampu melindungi hak asasi warga negara.
Bukan tanpa alasan, dikarenakan adanya kesamaan di hadapan hukum, yang mana berarti setiap warga negara memang harus diperlakukan dengan sangat adil oleh semua aparat penegak hukum dan juga pemerintah, bahkan tidak terkecuali apabila dirinya adalah seorang pejabat.
Secara universal, memang Equality Before The Law ini sudah menjadi sebuah prinsip hukum dan kenegaraan yang sangat mensyaratkan adanya hukum mampu diberlakukan bagi setiap orang tanpa terkecuali. Kemudian secara tekstual, aturan tersebut menegaskan bahwa aturan hukum berlaku bagi semua orang di tempat hukum tersebut berlaku.
Sehingga tatkala ada seseorang, tanpa memandang apa statusnya, namun dirinya telah melanggar suatu ketentuan hukum di suatu wilayah tertentu, maka dirinya bisa diadili dan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di wilayah yang ia langgar tersebut.
Maka sudah jelas bahwa akses untuk memperoleh keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia di mata hukum memang menjadi sesuatu yang sangat hakiki.
Selain itu, dalam rangka mewujudkan adanya keadilan negara, maka seluruh aparat penegak hukum memang wajib memberikan pelayanan yang sama kepada semua warga negara Indonesia, termasuk untuk mendapatkan bantuan hukum karena itu merupakan sebuah hal konstitusional setiap warga negara bahkan termasuk rakyat miskin sekalipun.
Untuk pelaksanaan bantuan hukum yang efektif bagi semua pihak, Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang bertugas untuk menjalankan pendampingan dalam Pelaksanaan Bantuan Hukum kepada orang miskin/kelompok orang miskin juga harus dilakukan pengawasan pemantauan dan juga evaluasi atas pelaksanaan bantuan hukum yang mereka lakukan agar benar-benar dapat memastikan seluruh berjalan dengan maksimal dan tepat sasaran.
Sementara itu, belakangan publik juga sempat sangat menyorot adanya pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tentang pasal penghinaan pejabat, organisasi atau lembaga negara hingga Presiden dan Wakil Presiden RI.
Mengenai hal tersebut, Komunikolog dari Universitas Mercu Buana, Emrus Sihombing menegaskan bahwa pandangan tersebut sangatlah kental dengan sebuah ‘framing politik’, utamanya dari mereka selaku para oposisi dari KUHP yang baru saja disahkan. Padahal, menurutnya di dalam KUHP Nasional sama sekali tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan secara eksplisit adanya hal tersebut.
Justru, KUHP Nasional merupakan sebuah produk hukum buatan anak bangsa yang sangatlah produktif sifatnya jika dibandingkan dengan KUHP lama yang merupakan produk dari jaman kolonial Belanda beberapa ratus tahun yang lalu.
Lebih lanjut, Prof. Emrus menambahkan bahwa tidak mungkin di Indonesia terdapat pemerintah yang berkuasa secara turun-temurun atau dengan sistem demokrasi. Pasalnya, dengan jelas bahwa Indonesia sendiri merupakan sebuah negara yang menganut sistem demokrasi di dalamnya, sehingga akan terus terjadi pemilihan Presiden yang dipilih melalui Pemilihan Umum setiap lima tahun sekali.
Maka dari itu, jelas bahwa adanya tudingan-tudingan mengenai seolah-olah produk hukum KUHP Nasional ini hanyalah sebuah ‘alat’ untuk terus mempertahankan kekuasaan adalah sebuah framing yang bahkan sangat kontralogika. Sebab, di Indonesia sendiri sudah jelas bahwa posisi sebagai Presiden paling lama hanyalah bisa menjabat sebanyak dua peiode atau 10 tahun saja.
Bukan hanya itu, namun masa kewenangan yang dimiliki oleh seluruh pejabat publik di Indonesia pun memiliki keterbatasan waktu dan bukanlah merupakan sebuah hal abadi. Ketika seorang pejabat sudah tidak lagi menjabat, maka posisi mereka sudah sama menjadi rakyat biasa yang tentunya dapat pula terkena pidana dari Undang-Undang karena tindakan yang mereka lakukan.
Jelas sekali bahwa KUHP Nasional bukanlah merupakan sebuah ‘alat’ untuk melanggengkan kekuasaan dan juga membuat seluruh pejabat atau organisasi dan lembaga negara sontak langsung ‘kebal hukum’ begitu saja. Justru di sini, ada kesamaan atas kedudukan di mata hukum karena sudah termaktub dalam UUD 1945.
Salah satu contoh konkret adalah tatkala terdapat seorang pejabat yang memang melakukan pelanggaran hukum seperti pada seorang menteri yang melakukan korupsi, maka dirinya juga langsung mendapatkan status tetap sebagai seorang terpidana lantaran melakukan tindak pidana korupsi tersebut.
Kesamaan kedudukan setiap warga negara Indonesia, bahkan termasuk pejabat tinggi negara sekalipun memang seluruhnya sama di mata hukum. Sebab hal tersebut telah termuat dalam UUD 1945, ditambah lagi dengan adanya pengesahan KUHP Nasional yang semakin menjamin akan terjadinya demokratisasi di Indonesia.
)* Penulis adalah kontributor Persada Institut