Menolak Demonstrasi Indonesia Gelap, Saatnya Bersatu Demi Keberlanjutan Pembangunan
Oleh : Kurniawan Binangkit
Peringatan Hari Reformasi pada 20 Mei seharusnya menjadi momentum refleksi dan penguatan nilai-nilai demokrasi yang sehat. Namun, apabila dijadikan panggung demonstrasi yang berpotensi ditunggangi oleh kepentingan asing, maka aksi ini justru mengancam stabilitas nasional dan menggerus kepercayaan terhadap masa depan bangsa.
Sejumlah pihak mulai menyuarakan penolakan terhadap ajakan demonstrasi 20 Mei 2025. Salah satunya adalah Haris Rusly Moti, mantan Komandan Relawan Tim Nasional Pemenangan Prabowo-Gibran, yang menyampaikan kekhawatirannya terhadap potensi besar ditungganginya aksi demonstrasi mahasiswa oleh kepentingan luar. Menurutnya, ada kemungkinan kekuatan geopolitik tertentu mencoba memanfaatkan keresahan sosial untuk menciptakan instabilitas politik di Indonesia. Haris menyoroti bahwa kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang berpihak pada kedaulatan ekonomi nasional telah memicu kegelisahan dari pihak-pihak asing yang selama ini diuntungkan oleh kebijakan masa lalu.
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto memang tengah mengusung strategi nasionalistik yang kuat. Langkah strategis seperti bergabungnya Indonesia dalam BRICS, pembentukan lembaga keuangan nasional seperti Danantara dan Bank Emas, serta kebijakan pengelolaan devisa hasil ekspor (DHE) yang wajib ditempatkan di dalam negeri adalah bagian dari agenda besar memperkuat kemandirian ekonomi. Kebijakan-kebijakan tersebut jelas mengurangi ketergantungan Indonesia pada kekuatan ekonomi luar dan membuka jalan bagi penguatan fondasi pembangunan dalam negeri.
Namun, perubahan paradigma ini tidak selalu diterima dengan tangan terbuka oleh semua pihak. Kepentingan asing yang merasa dirugikan tentu tidak akan tinggal diam. Provokasi dan pembentukan narasi negatif di ruang publik menjadi senjata utama untuk membelokkan persepsi masyarakat. Dalam konteks inilah, ajakan demonstrasi 20 Mei bisa menjadi alat yang disusupi agenda tersembunyi. Narasi “Indonesia gelap”, misalnya, adalah framing yang tidak berdasarkan fakta. Padahal, berbagai indikator menunjukkan bahwa bangsa ini sedang dalam jalur kebangkitan, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga dalam tata kelola strategis nasional.
Di tengah upaya pemerintah membangun landasan baru yang lebih kokoh, munculnya demonstrasi besar justru menjadi distraksi yang merugikan. Haris Rusly menegaskan bahwa banyak protes yang berkembang di kalangan mahasiswa sesungguhnya lahir dari kesalahpahaman terhadap arah kebijakan pemerintah. Ia meyakini bahwa kebijakan yang diambil memiliki dasar yang kuat dan bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional jangka panjang. Kesalahpahaman ini, menurutnya, bisa saja bukan murni kesalahan intelektual, melainkan hasil dari rekayasa opini yang digulirkan pihak berkepentingan.
Isu-isu yang diangkat oleh sebagian penggerak demonstrasi, seperti efisiensi anggaran dan pengendalian utang luar negeri, bukan hal yang keliru. Namun, ketika isu itu diangkat dalam nuansa agitasi, bukan lagi edukasi, maka ada kekhawatiran besar bahwa tujuan utamanya bukanlah membangun diskursus kebangsaan, melainkan memecah belah dan menghambat langkah transformasi negara. Kita harus jujur mengakui bahwa ada pihak-pihak yang tidak menginginkan Indonesia mandiri secara ekonomi dan berdaulat secara politik.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi pun telah menanggapi narasi-narasi pesimistis yang berkembang dengan tegas. Ia menekankan bahwa kebebasan berekspresi tetap dijamin konstitusi, namun hal itu tidak boleh digunakan untuk menyebarkan informasi menyesatkan. Menurutnya, menggambarkan kondisi Indonesia saat ini sebagai “gelap” adalah bentuk penyimpangan narasi yang bisa menyesatkan masyarakat dan menimbulkan keresahan yang tidak perlu. Indonesia hari ini sedang bergerak maju, bukan mundur. Pemerintahan Prabowo-Gibran baru berjalan beberapa bulan dan tengah bekerja keras mencari solusi atas berbagai tantangan yang diwarisi dari masa lalu.
Dalam dinamika demokrasi, tentu kita tidak menutup ruang kritik. Tetapi kritik harus disampaikan dalam koridor yang membangun, bukan dalam bentuk demonstrasi jalanan yang rentan disusupi provokator dan kelompok berkepentingan. Apalagi, momentum 20 Mei ini sangat simbolik dan sensitif. Jika digerakkan tanpa nalar yang jernih, aksi tersebut berpotensi menciptakan eskalasi konflik horizontal di tengah masyarakat yang sedang belajar bersatu kembali pasca Pemilu 2024.
Kita harus belajar dari sejarah. Banyak demonstrasi yang pada awalnya dimulai dengan semangat idealisme mahasiswa, namun pada akhirnya dibajak oleh kekuatan luar yang memiliki agenda lain. Ketika gerakan sosial kehilangan kendali, maka yang muncul bukan lagi suara rakyat, melainkan kepentingan tersembunyi yang berusaha merusak konsensus nasional. Ini adalah risiko besar yang harus dihindari. Tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh para mahasiswa dan pemuda yang seharusnya menjadi penjaga moral bangsa, bukan alat politik kekuatan asing.
Momentum 20 Mei seharusnya menjadi ajang untuk merekatkan kembali semangat kebangsaan. Bukannya menyeret mahasiswa ke jalanan untuk memperkeruh suasana, lebih baik kita dorong ruang dialog dan forum ilmiah untuk membedah kebijakan pemerintah secara objektif. Pemerintahan Prabowo-Gibran butuh waktu dan dukungan untuk membuktikan efektivitas langkah-langkah strategisnya. Jangan buru-buru menghakimi sebelum melihat hasil kerja nyata yang tengah dipersiapkan.
Masyarakat Indonesia kini dihadapkan pada pilihan penting: mengikuti arus agitasi yang tak jelas arahnya, atau berdiri tegak mendukung proses pembangunan yang tengah berlangsung. Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian, stabilitas nasional adalah aset yang tak ternilai. Oleh karena itu, menjaga harmoni sosial jauh lebih penting daripada menuruti ajakan demonstrasi yang belum tentu murni demi kepentingan rakyat.
Saatnya kita gunakan akal sehat dan nurani kebangsaan. Jangan biarkan narasi gelap mengaburkan kenyataan bahwa Indonesia sedang bangkit. Mari tolak aksi demonstrasi 20 Mei dan jaga persatuan sebagai fondasi utama untuk membangun Indonesia yang lebih kuat, berdaulat, dan bermartabat di mata dunia.
)* Penulis adalah pengamat politik dalam negeri