MUI dan Pakar UI: Demokrasi Sehat, Kritik dan Aspirasi Harus Santun, Damai, dan Junjung Hukum
Jakarta — Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Marsudi Syuhud, bersama Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia, Aditya Perdana, sepakat bahwa kritik dan aspirasi masyarakat adalah bagian dari demokrasi, namun harus disampaikan dengan cara yang santun, damai, dan tetap menjunjung hukum.
KH. Marsudi Syuhud menegaskan bahwa ajaran agama memerintahkan umat untuk menyampaikan kebenaran dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab.
Ia menjelaskan tiga bentuk kesabaran yang harus dijaga dalam menyampaikan kritik kepada pemerintah, antara lain sabar dalam ketaatan kepada hukum, sabar menahan diri dari tindakan yang dilarang, serta menjaga keselamatan jiwa dan harta milik umum.
KH. Marsudi juga memberikan apresiasi terhadap langkah cepat Presiden Prabowo Subianto yang mengumpulkan 16 organisasi serta tokoh lintas agama untuk meredam konflik dan mengajak seluruh elemen bangsa bersatu membangun Indonesia dengan damai.
“Bangsa ini butuh ketenangan dan kenyamanan. Segala aspirasi harus disampaikan dengan taat hukum agar tidak merusak stabilitas negara,” ujar KH. Marsudi dalam diskusi di salah satu stasiun TV nasional, Selasa (2/9/2025).
Ia menambahkan bahwa MUI siap menjadi fasilitator dialog antara pemerintah, mahasiswa, dan berbagai elemen masyarakat demi terciptanya komunikasi yang konstruktif.
Pada kesempatan yang sama, Aditya Perdana, Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia, menyoroti bahwa demonstrasi adalah hak yang dilindungi konstitusi dalam negara demokrasi. Namun, ia mengingatkan bahwa cara menyampaikan aspirasi harus sopan dan tidak merusak fasilitas umum agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat luas.
“Anarkisme dan kerusakan tidak boleh terjadi. Presiden sudah melakukan langkah cepat yang tepat untuk mengatasi situasi ini,” kata Aditya.
Ia juga menekankan pentingnya keterbukaan pemerintah dalam menanggapi tuntutan masyarakat, serta perlunya dialog yang melibatkan berbagai elemen termasuk ormas, tokoh agama, dan organisasi sosial sampai ke tingkat desa.
Aditya menyebut bahwa media sosial berperan besar dalam memperkuat suasana kritis masyarakat, namun sekaligus berisiko menyebarkan hoaks dan informasi yang salah.
“Kita harus hati-hati dalam menyampaikan pendapat, terutama bagi pejabat publik, agar tidak menimbulkan salah paham dan ketegangan,” ujar Aditya.
Ia juga menegaskan pentingnya penegakan hukum yang transparan dan adil, khususnya terkait insiden yang menimbulkan korban dalam demonstrasi.
Kedua tokoh sepakat bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi bangsa modern dan beradab apabila setiap pihak mampu berkomunikasi secara terbuka, mendengarkan, dan saling menghormati hukum serta norma sosial.