Pasca 17 Agustus, Kesetiaan pada Merah Putih Harus Lebih Diteguhkan dari Tren Bajak Laut
Oleh: Larissa Melani
Momentum Kemerdekaan di bulan Agustus selalu menjadi momentum penting untuk meneguhkan kembali rasa cinta tanah air, utamanya saat HUT RI ke-80 17 Agustus 2025. Merah Putih, yang dikibarkan dengan penuh khidmat di seluruh penjuru negeri, bukan sekadar selembar kain, melainkan simbol persatuan, pengorbanan, dan kedaulatan bangsa.
Namun, sejak menjelang perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia lalu, muncul tren sebagian masyarakat yang turut mengibarkan bendera bergambar bajak laut bersanding dengan Merah Putih. Fenomena ini menimbulkan kegelisahan, sebab dikhawatirkan dapat mengurangi kesakralan Sang Saka yang seharusnya berdiri sendiri sebagai lambang negara.
Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno mengingatkan bahwa ada aturan tegas mengenai posisi bendera nasional yang tidak boleh dilanggar. Ia menekankan, kebebasan berekspresi memang dijamin, namun harus tetap berada dalam koridor yang tidak menyinggung kehormatan negara.
Bagi Eddy, menjadikan tren bendera bajak laut sebagai simbol yang disejajarkan dengan Merah Putih sama saja dengan mengaburkan makna kebersamaan yang telah dibangun selama delapan dekade kemerdekaan. Ia mengingatkan agar jangan sampai muncul ajakan-ajakan negatif yang mengalihkan perhatian generasi muda dari simbol negara yang seharusnya dijunjung tinggi.
Pandangan serupa disampaikan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin. Ia menilai bahwa menempatkan bendera bajak laut di dekat atau di bawah Merah Putih jelas tidak pantas. Sang Merah Putih, kata Sjafrie, lahir dari darah dan air mata para pahlawan yang berjuang demi kemerdekaan, bahkan dijahit langsung oleh Fatmawati untuk dikibarkan pada 17 Agustus 1945. Menurutnya, membiarkan simbol bergambar tengkorak berdiri sejajar dengan bendera nasional sama saja mengikis nilai historis yang melekat pada Sang Saka.
Meski demikian, Sjafrie menegaskan bahwa pemerintah tidak menilai fenomena ini sebagai ancaman terhadap stabilitas negara. Ia lebih melihatnya sebagai bentuk kurang bijak dalam berekspresi. Bagi Sjafrie, masyarakat sebaiknya belajar menempatkan budaya populer pada tempat yang wajar, sebagai hiburan semata, tanpa melibatkan atau menyinggung simbol kenegaraan. Jika tren tersebut sempat terlihat sebelum perayaan kemerdekaan, maka pasca 17 Agustus, sepatutnya sudah dihentikan agar tidak menodai makna yang baru saja diperingati dengan penuh khidmat.
Dari perspektif hukum, pengingat juga datang dari kalangan akademisi. Pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Dr. Taufik Rahman, menilai bahwa pengibaran simbol asing, meskipun fiksi, apabila sejajar atau lebih tinggi dari Merah Putih, bisa dikategorikan sebagai bentuk penghinaan terhadap lambang negara. Ia menegaskan bahwa aturan yang berlaku menempatkan Merah Putih di posisi tertinggi, dan setiap tindakan yang mengabaikannya berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum.
Peringatan ini penting disuarakan karena Merah Putih bukan sekadar tanda identitas, melainkan penjelmaan dari martabat dan harga diri bangsa. Setiap warga negara memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bendera nasional tetap dihormati. Jika kesetiaan pada Sang Saka tergantikan oleh tren budaya populer, seperti bendera bajak laut, dikhawatirkan semangat nasionalisme akan terkikis secara perlahan.
Pasca perayaan 17 Agustus, semangat meneguhkan kesucian Merah Putih justru harus semakin kuat. Menghormati bendera bukan hanya tugas seremonial saat upacara kemerdekaan, melainkan wujud penghargaan sehari-hari atas pengorbanan para pahlawan. Pemerintah telah menegaskan posisi Merah Putih dalam kehidupan berbangsa, tetapi tanggung jawab utama tetap berada di pundak masyarakat untuk menindaklanjutinya dengan kesadaran dan sikap nyata.
Budaya populer memang memiliki daya tarik yang kuat, terutama di kalangan generasi muda. Namun, hal ini tidak boleh menjadi alasan untuk mengaburkan batas antara hiburan dan penghormatan terhadap simbol negara. Pemerintah menekankan bahwa kreativitas dan kebebasan berekspresi tetap bisa berkembang tanpa harus mengganggu martabat Merah Putih. Justru kedewasaan sebuah bangsa tercermin dari kemampuan menempatkan budaya global secara proporsional, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap identitas nasional.
Indonesia adalah bangsa yang berdiri kokoh karena kesediaan setiap elemen masyarakat untuk menjaga persatuan. Merah Putih menjadi titik temu dari berbagai keragaman yang dimiliki. Menyandingkan simbol kebangsaan dengan bendera fiksi seperti bajak laut hanya akan melemahkan ikatan persaudaraan yang telah terjalin. Karena itu, setiap generasi dituntut untuk memahami bahwa menjaga kehormatan Merah Putih sama artinya dengan menjaga keutuhan bangsa.
Pasca 17 Agustus, bangsa ini tidak boleh lagi membiarkan tren pengibaran bendera bajak laut terus berlanjut. Semangat kemerdekaan harus diwujudkan dengan mempertebal kesetiaan pada Sang Saka. Merah Putih wajib berdiri di tempat tertinggi, tidak disejajarkan dengan simbol apa pun. Dengan meneguhkan komitmen ini, Indonesia akan tetap kokoh menghadapi derasnya arus globalisasi budaya, sekaligus menjaga martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Generasi muda, sebagai penerus cita-cita bangsa, perlu menjadi garda terdepan dalam menjaga kesucian Merah Putih. Dengan sikap bijak dalam menyikapi tren budaya, serta keteguhan untuk selalu menempatkan Sang Saka pada posisi yang mulia, mereka akan memastikan bahwa semangat nasionalisme tidak luntur di tengah derasnya arus globalisasi. Kesetiaan pada Merah Putih harus tetap hidup, tidak hanya saat peringatan kemerdekaan, tetapi setiap hari dalam denyut kehidupan berbangsa.
[edRW]