JAKARTA – Calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, secara resmi mendaftarkan gugatan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (21/3).
Gugatan tersebut telah diterima MK dengan nomor 01-01/AP3-PRES/Pan.MK/03/2024 tertanggal 21 Maret 2024 pukul 09.02 WIB. Pokok perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024. Dengan pemohon H. Anies Rasyid Baswedan, Ph.D dan H. Muhaimin Iskandar, Dr. (H.C).
Akankah gugatan tersebut akan mengubah sesuatu? Terkait hal tersebut Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah mengatakan kalau itu bisa dibuktikan terjadinya pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dan kemudian bisa dibuktikan misalkan tersebar merata di setiap provinsi atau dapil, itu bisa saja.
“Tetapi pembuktian TSM inikan artinya tidak hanya satu persatu provinsi. Dan pelanggaran itu harus merata dan bukti-buktinya harus cukup dan akan sangat banyak. Itu catatan pertama,” ujar Ramdansyah saat dialog interaktif di Radio Elshinta, Kamis siang (21/3/2024).
Catatan yang kedua jelas Ramdansyah, terkait dengan dukungan partai pengusung. Dalam hal ini Nasdem, PKS dan PKB yang sudah diketahui publik bahwa Surya Paloh sudah menyampaikan statemen ucapan selamat kepada pasangan Prabowo Gibran.
“Dari sini akan timbul pertanyaan, apakah ada bantuan dari mesin partai pendukung, seperti Nasdem, PKS dan PKB untuk mengumpulkan bukti-bukti yang. Karena kecukupan bukti itu akan dimunculkan di MK,” ujar Ramdansyah yang pernah menjabat sebagai Ketua Panwaslu DKI Jakarta Jakarta.
“Ketika partai yang memiliki konstituen sampai ke desa-desa, satu saja partai itu keluar dari koalisi pasangan calon seperti ditunjukkan dengan ucapan selamat oleh Surya Paloh Ketua Umum Partai Nasdem, maka pasangan 01 berpotensi tidak optimal dalam mengumpulkan bukti-bukti dan saksi. Kecenderungannya Partai Nasdem dan PKS kurang bersemangat untuk beracara di MK. Yang tersisa adalah para relawan yang belum tentu memiliki basis real seperti mesin partai,” imbuh Ramdansyah.
Lebih lanjut Ramdansyah mengatakan, asumsi awal bahwa kekuatan masing-masing kubu berasal dari mesin partai. Karena, relawan belum tentu lebih militant dari mesin partai. Keberadaan relawan dan koalisi partai dalam tim pemenangan adalah koalisi taktis yang mudah tercerai berai, terlebih masing-masing partai akan bersengketa di MK, termasuk Caleg-Caleg dari kubu yang sama dalam koalisi.
“Tim Kampanye itukan terdiri dari orang orang-partai yang kemudian mereka bisa bergerak organik. Sampai tingkat kecamatan kelurahan kan organ. Kalau kemudian organ relawan misalkan, itu kan dia mesin relawannya baru dibangun dan juga koalisi nya kan strategis dan taktis. Tapi Kalau mesin partai itu asumsi saya misalkan PKS atau di 03 PDIP itu mesinnya organik, berjalan otomatis. Ketika partai membutuhkan untuk bersidang di MK, maka mobilisasi saksi-saksi dan menghadirkan bukti-bukti sangat bergantung pada keberadaan mesin partai,” imbuh Ramdansyah.
Pihaknya jelas Ramdansyah saat ini tengah mencermati bagaimana sikap PKS dan Partai Nasdem. Kalau cuman PKB sendirian dan juga PKB diganggu dengan pemanggilan ketua umum partai di KPK, maka dapat merongrong kinerja partai yang tengah mempersiapkan bukti-bukti dan saksi.
“Artinya yah PHPU bisa hanya untuk menggugurkan kewajiban saja. Waktu 3 hari dan kemudian diperpanjang lagi untuk perbaikan berkas gugatan PHPU. Kalau hanya berapa TPS dan kemudian hanya ditemukan selisih hasil di beberapa provinsi, misalkan Jakarta atau Jawa Tengah, kan tidak mewakili proporsi yang disebut terstruktur sistematis dan masif,” ujar Ramdansyah.
“Kalau itu tidak TSM, maka peluangnya sangat kecil untuk dimenangkan,” jelas Ramdansyah.
Sehingga kemudian kalau soal katakanlah soal kualitatif Sirekap maka tuduhannya kan itu lebih kepada penyelenggara. Padahal perhitungan yang digunakan adalah penghitungan yang berjenjang dari tingkat TPS hingga kemarin pada tanggal 20 Maret di KPU RI.
“Artinya, penghitungan berjenang yang dilakukan KPU itu belum tentu sama dengan Sirekap yang selama ini dianggap sebagai sebuah sistem atau server yang kemudian bermasalah. Ketika pola yang sama sangat konvensional dilakukan dari Pemilu ke Pemilu maka kemudian yang harus kita gugat itu adalah keputusan KPU terkait dengan betul atau tidak yang namanya perolehan suara itu didapatkan berjenjang dan valid. Artinya secara salinan C1 hasil itu harus dibuktikan di persidangan MK. dan terkait dengan C1 yang disampaikan ke MK itu harus benar-benar bukti yang sudah ditandatangani petugas KPPS, tidak hanya kemudian oleh saksi. Karena kemudian kita dapati beberapa C1 hasil yang di copy itu tidak ditangani petugas. Artinya, nilai keabsahan dari C1 nya menjadi rendah,” beber Ramdansyah.
C1 hasil jelas Ramdansyah, itu bisa didapatkan dari y tim kampanye. Misalkan dia punya tim dan juga mesin partai, sekali. Yang memerintahkan pengumpulan C1 hasil adalah pimpinan partai politik dari masing-masing jenjang. Salinan C1 hasil yang diperoleh resmi itu dapat disandingkan dengan perolehan C1 hasil atau foto C1 dalam bentuk plano yang diambil dari foto para saksi para tim relawan pemenangan.
“Maksudnya, ketika pembuktian dilakukan secara paralel, suara partai pendukung dengan suara Calegnya itu akan mudah kita akan membuat oh ini benar datanya. Tapi kemudian itu terjadi jomplang misalkan suara Capres dan Cawapres sangat tinggi sekali, sementara suara partai koalisi sangat rendah maka potensi kecurangan perlu dibuktikan lebih lanjut,” ujar Ramdansyah.
Selain Capres dan Cawapres, Caleg juga boleh mengajukan gugatan PHPU ke MK. Namun jelas Ramdansyah UU pemilu mensyaratkan untuk pergi ke MK melakukan gugatan PHPU itu harus dapat izin Ketua Umum dan sekjen Partai.
“Itu wajib. Kalau kemudian nyelonong saja tidak akan berlanjut ke sidang pembuktian atau pokok materi. Ada beberapa partai politik yang menolak perseteruan di internal partai sendiri muncul ke publik, Akibatnya, Ketum dan Sekjen tidak memberikan izin kepada Caleg partainya untuk bersengketa di MK,” jelas Ramdansyah