Pembahasan RUU Penyiaran Singgung Upaya Penyelamatan Ekosistem Media
Oleh: Bara Winatha
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tengah digodok di Komisi I DPR RI sedang menyentuh isu fundamental tentang keberlanjutan dan penyelamatan ekosistem media di tengah disrupsi digital yang kian masif. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) DPR akhir-akhir ini, berbagai pandangan konstruktif dan strategis disampaikan oleh sejumlah pakar dan akademisi guna memperkaya substansi revisi UU Penyiaran. Mereka menyoroti ketimpangan antara media konvensional dan platform digital, serta pentingnya payung regulasi baru yang adaptif terhadap lanskap penyiaran masa kini.
Pakar Ilmu Komunikasi dari Universitas Indonesia, Ignatius Haryanto, mengatakan bahwa penurunan drastis pendapatan iklan di media penyiaran konvensional menjadi salah satu indikator utama bahwa industri ini sedang menghadapi tantangan transformasi besar. Pergeseran pola konsumsi media masyarakat yang sebelumnya mengandalkan televisi, radio, surat kabar, dan majalah kini telah beralih ke media digital dan media sosial. Perubahan ini telah menggerus daya saing lembaga penyiaran tradisional, terlebih ketika iklan yang merupakan sumber utama pendanaan media, saat ini lebih banyak mengalir ke kreator konten digital ketimbang ke media arus utama.
Lebih lanjut, tantangan utama yang dihadapi industri penyiaran bukan hanya berasal dari perubahan preferensi masyarakat, tetapi juga dari absennya playing field yang setara antara lembaga penyiaran konvensional dan platform digital. Tanpa adanya strategi digitalisasi yang matang dan dukungan regulasi yang memadai, banyak pelaku industri media akan semakin tertinggal dalam menghadapi disrupsi. Oleh karena itu, DPR akan menghadirkan regulasi yang tidak hanya mengatur, tetapi juga memberikan ekosistem yang sehat dan berkeadilan bagi semua pelaku media.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, mengatakan bahwa pihaknya berkomitmen untuk menyelesaikan revisi UU Penyiaran dalam periode legislatif saat ini. Ia menyadari bahwa proses pembahasan yang telah berlangsung lebih dari satu dekade menggambarkan betapa kompleksnya isu penyiaran, terlebih dengan terus berubahnya lanskap teknologi dan hukum di Indonesia. RUU ini telah mengalami tiga kali perubahan substansi, termasuk akibat penyesuaian dengan Undang-Undang Cipta Kerja, sebagai bentuk respons terhadap dinamika regulasi yang terus berkembang.
Pembahasan RUU Penyiaran saat ini menyasar pada penyusunan kerangka hukum yang mampu mengatur penyiaran multiplatform secara menyeluruh. Dengan semakin kaburnya batas antara media penyiaran konvensional dan digital, maka perlu dihadirkan regulasi yang mampu menyelaraskan prinsip-prinsip keadilan bagi seluruh pelaku industri penyiaran. Dave juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab dalam menyajikan konten, baik di media lama maupun media baru.
Komitmen DPR dalam menjaga keberlangsungan ekosistem media juga tercermin dalam keterlibatan berbagai pihak dalam proses penyusunan RUU Penyiaran. Tidak hanya kalangan pelaku industri, akademisi, dan organisasi profesi, tetapi juga kelompok masyarakat dan sektor bisnis digital turut dilibatkan. Ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa penyiaran hari ini telah berkembang melampaui lembaga formal, namun tetap membutuhkan pijakan hukum yang kokoh, melainkan sudah mencakup ruang digital yang sangat luas dan dinamis.
Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Padjajaran, Prof Ahmad M. Ramli, mengatakan bahwa perlu disusun kode etik khusus bagi konten yang beredar di platform digital. Ia menilai bahwa selama ini Indonesia hanya memiliki kode etik jurnalistik yang berlaku untuk lembaga pers, sementara platform digital belum memiliki pedoman etik yang mengikat. Padahal, konten-konten digital juga memiliki potensi yang sama besar dalam membentuk opini publik, menyebarkan informasi, atau bahkan menyesatkan masyarakat jika tidak dikawal secara etis.
Ramli mengingatkan bahwa jika tidak ada kode etik khusus yang diterapkan di ranah digital, maka setiap pelanggaran konten di platform digital akan langsung berhadapan dengan ketentuan hukum yang bersifat tegas, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, hingga KUHP baru. Ia menegaskan bahwa pengaturan kode etik dalam RUU Penyiaran penting untuk menciptakan kerangka pencegahan yang lebih lunak namun tetap efektif dalam mengawal kualitas dan akuntabilitas konten digital.
Lebih lanjut, Regulasi kode etik untuk platform digital tidak dapat disamakan dengan lembaga penyiaran. Hal ini karena karakter, sistem kerja, dan jenis konten yang dihasilkan oleh masing-masing entitas berbeda. Maka dari itu, RUU Penyiaran ini menjadi sangat penting karena akan memberikan ruang bagi pembangunan nilai-nilai etis yang sesuai dengan konteks digital masa kini. Diskursus mengenai perlunya equal playing field antara lembaga penyiaran dan platform digital menjadi benang merah dari seluruh masukan yang disampaikan dalam RDPU Komisi I DPR.
DPR dan para pakar yang terlibat dalam pembahasan RUU Penyiaran sepakat bahwa industri media perlu diselamatkan dari ketimpangan struktural yang semakin melebar. Selain perlunya insentif dan perlindungan bagi media arus utama, kehadiran aturan yang proporsional bagi platform digital juga menjadi kunci untuk menyeimbangkan ekosistem informasi di Indonesia. RUU Penyiaran yang tengah dibahas ini akan menjadi pijakan strategis dalam menjaga keberlanjutan ekosistem media nasional.
Di tengah gelombang disrupsi digital dan tekanan pasar iklan yang semakin menyudutkan media konvensional, kehadiran regulasi yang berkeadilan menjadi langkah penting dalam memastikan bahwa media sebagai pilar demokrasi tetap dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Penyelamatan ekosistem media merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat.
*)Penulis merupakan pengamat sosial dan kemasyarakatan
[edRW]