Pembangunan Rumah Subsidi Dorong Pertumbuhan Ekonomi dan Lapangan Kerja Baru di Daerah
Jakarta – Pemerintah terus memperkuat program rumah bersubsidi sebagai pilar utama dalam strategi pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di seluruh pelosok negeri. Keputusan strategis ini sejalan dengan komitmen negara untuk memastikan bahwa pembangunan hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) bukan sekadar memenuhi aspek sosial, tetapi juga menjadi mesin penggerak ekonomi daerah.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait menegaskan bahwa tahun depan kuota rumah subsidi akan meningkat secara signifikan.
“Tahun ini kami menargetkan 350 ribu unit rumah subsidi — tertinggi sepanjang sejarah,” ungkap Ara.
Peningkatan ini akan berdampak langsung terhadap sektor konstruksi, industri bahan bangunan dan jasa terkait.
“Satu unit rumah subsidi dapat menyerap lima tenaga kerja. Jika tahun depan mencapai 500 ribu unit, itu artinya ada 2,5 juta lapangan kerja langsung, belum termasuk 183 industri turunan seperti toko bangunan, logistik, hingga warung-warung kecil di sekitar proyek,” ujar Ara.
Sisi fiskal program ini pun ditekankan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyatakan bahwa sektor perumahan memiliki multiplier effect besar dan menjadi instrumen penting pemulihan ekonomi daerah.
“Pembangunan rumah subsidi bukan hanya soal penyediaan tempat tinggal, tetapi juga cara efektif menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan daya beli masyarakat di berbagai wilayah,” tutur Purbaya.
Implementasi di tingkat daerah juga menunjukkan sinergi kuat antara pemerintah pusat dan daerah. Di Kabupaten Bogor, Bupati Rudy Susmanto menyatakan dukungannya.
“Kami mencatat ada sekitar 14 ribu rumah tidak layak huni di Kabupaten Bogor. Tahun 2025 ini kami menganggarkan 3.446 rumah untuk diperbaiki. Harapannya, tahun depan jumlahnya bisa meningkat dua kali lipat, dan dalam dua sampai tiga tahun ke depan masalah ini bisa kita tuntaskan,” ujar Rudy.
Ia menambahkan bahwa percepatan kegiatan konstruksi hunian terjangkau telah mendorong aktivitas ekonomi lokal secara nyata.
“Pertumbuhan ekonominya bagus, dan saya yakin itu karena faktor perumahan. Rumah subsidi banyak dibangun, kegiatan konstruksi meningkat, dan itu berdampak ke perdagangan dan jasa lokal,” kata Rudy.
Penguatan program di daerah juga tercermin dari arah kebijakan pusat yang memprioritaskan pemerataan pembangunan perumahan dalam skema nasional. Pemerintah melalui skema FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) resmi menaikkan kuota hingga 350 ribu unit dengan alokasi anggaran Rp 35,2 triliun, sebagai bagian dari upaya percepatan.
Keunggulan program ini tidak hanya berada pada angka, melainkan pada kualitas keterpaduan ekosistem ekonomi-sosial yang terbentuk. Dengan peningkatan kapasitas pembangunan rumah subsidi dan bedah rumah tak layak huni, maka tidak hanya hunian rakyat yang membaik, tetapi juga pembukaan lapangan kerja lokal, tumbuhnya usaha mikro dan menengah, hingga percepatan konsumsi masyarakat di wilayah-wilayah yang selama ini tertinggal. Data juga menunjukkan bahwa alokasi untuk program bedah rumah naik signifikan, menunjukkan bahwa pemerintah tak hanya fokus pada unit baru tetapi juga revitalisasi hunian eksisting.
Dengan momentum yang terus meningkat, program rumah subsidi terbukti bukan hanya sebagai kebijakan sosial, melainkan juga sebagai pilar strategis untuk mengakselerasi pemulihan dan pertumbuhan ekonomi di seluruh nusantara. Pemerintah hadir dengan determinasi kuat untuk memastikan seluruh lapisan masyarakat mendapatkan area hunian yang layak, sekaligus membuka peluang ekonomi baru di daerah-daerah.


