Pemerintah Pusat Pastikan Tidak Terlibat dalam Kebijakan Kenaikan Pajak Daerah
Jakarta – Pemerintah pusat menegaskan tidak terlibat dalam kebijakan kenaikan pajak di daerah, termasuk polemik Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Penegasan ini disampaikan untuk merespons anggapan bahwa kenaikan pajak terjadi akibat minimnya anggaran dari pusat.
Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian, mengimbau para kepala daerah untuk memastikan kebijakan pajak dan retribusi berpihak pada masyarakat.
“Saya mohon kepala daerah lainnya, setiap mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan pajak dan retribusi, jangan sampai memberatkan masyarakat. Lakukan bertahap saja,” ujarnya.
Tito menyoroti perlunya kehati-hatian dalam menetapkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) agar tidak menambah beban rakyat. Ia menyarankan proses sosialisasi dilakukan lebih lama.
“Misalnya, dibuat tahun ini, tetapi berlakunya mulai 1 Januari tahun berikutnya,” katanya. Ia juga meminta kebijakan disusun dengan mempertimbangkan dinamika masyarakat dan mengedepankan dialog.
Menanggapi demonstrasi besar di Pati yang menuntut Bupati Sudewo mundur akibat kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen, Tito mengingatkan warga untuk menyampaikan aspirasi sesuai mekanisme.
“Kalau ada tuntutan, lakukan dengan mekanisme yang ada. Jangan melanggar,” tegasnya. Kenaikan PBB-P2 di Pati akhirnya dibatalkan, dan tarif kembali mengacu pada 2024.
Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi juga memastikan kebijakan PBB-P2 di Pati merupakan murni kewenangan daerah.
“Untuk kejadian yang di Pati, kami berharap ini bisa diselesaikan dengan baik. Semua pihak bisa berdialog, bertemu dengan kepala dingin,” ujarnya di Jakarta.
Ia membantah kenaikan pajak tersebut terkait efisiensi anggaran pemerintah pusat.
Menurut Hasan, efisiensi awal 2025 berlaku untuk seluruh kabupaten/kota, kementerian, dan lembaga, sehingga tidak tepat mengaitkan satu kasus dengan kebijakan nasional. Ia menjelaskan, tarif PBB-P2 ditetapkan pemerintah daerah bersama DPRD, bahkan sebagian perda sudah dibuat sejak 2023 atau 2024. Porsi efisiensi anggaran pusat terhadap dana daerah, kata Hasan, hanya sekitar 4–5 persen.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan hal serupa. “Kenaikan-kenaikan PBB itu kan kebijakan di tingkat kabupaten/kota. Tidak benar bahwa seolah-olah akibat dari proses di pusat. Tidak,” ujarnya.
Ia mengingatkan para kepala daerah untuk selalu mempertimbangkan dampak kebijakan pada rakyat.
“Menjadi pemimpin itu harus terus berhati-hati, usahakan jangan menyusahkan rakyat,” tegasnya.
[edRW]