Pemerintah Serius Jawab 17+8 Tuntutan, RUU Perampasan Aset Jadi Agenda Utama
Oleh : Aditya Akbar
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah akhirnya menunjukkan keseriusan penuh dalam menjawab aspirasi rakyat yang tergabung dalam 17+8 tuntutan publik. Salah satu buktinya tercermin jelas dalam langkah konkret menjadikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sebagai agenda utama pembahasan di Program Legislasi Nasional (Prolegnas), bahkan kini diambil alih sebagai inisiatif DPR.
Langkah tersebut bukan hanya sebatas formalitas, melainkan representasi nyata bahwa aspirasi masyarakat benar-benar mendapat perhatian. Rakyat selama ini mendesak adanya regulasi yang mampu memperkuat pemberantasan korupsi dan pencucian uang.
Dengan RUU Perampasan Aset yang kini sudah secara resmi masuk ke dalam prioritas pembahasan, publik akhirnya bisa melihat dengan jelas bahwa sejatinya pemerintah dan parlemen sama sekali tidak menutup telinga mereka, melainkan justru langsung bergerak dengan sangat cepat dalam menindaklanjuti apapun kebutuhan yang krusial bagi masyarakat.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa pergeseran inisiatif dari pemerintah ke parlemen menandakan dinamika sehat dalam politik hukum nasional.
Presiden Prabowo Subianto bahkan sudah berulang kali meminta kepada DPR untuk terus dan semakin mempercepat pembahasan, yang mana hal tersebut menekankan bagaimana urgensi RUU tersebut sebagai salah satu pilar utama dalam memperkuat instrumen pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Yusril juga menjelaskan bahwa pemerintah telah menempatkan RUU ini dalam daftar prioritas Prolegnas 2025–2026 melalui koordinasi dengan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. Pemerintah, menurut Yusril, siap setiap saat begitu DPR menyerahkan draf untuk dibahas bersama.
Posisi DPR sebagai pengambil inisiatif pun memperlihatkan peran legislatif yang tidak pasif. Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Ahmad Doli Kurnia, menguraikan bahwa revisi Prolegnas sangat mungkin dilakukan guna memasukkan RUU Perampasan Aset.
Ia menekankan bahwa Baleg siap menjalankan proses legislasi dari penyusunan naskah akademik hingga draf undang-undang, sepanjang ada kesepakatan bersama pemerintah. Menurutnya, proses pembentukan undang-undang dapat berjalan lebih cepat jika berasal dari usulan DPR karena hanya ada satu Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), yakni dari pemerintah.
Doli juga menambahkan bahwa mekanisme formal DPR memungkinkan penyelesaian RUU tersebut lebih efisien, sekaligus menegaskan kesiapan parlemen menindaklanjuti aspirasi publik yang menuntut regulasi kuat terkait pengembalian aset hasil tindak pidana. Pernyataan itu memperlihatkan sinyal jelas bahwa DPR tidak hanya mengakomodasi tuntutan rakyat, tetapi juga memiliki roadmap teknis untuk merealisasikannya.
Sejalan dengan itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan kembali bahwa pemerintah menempatkan perampasan aset sebagai prioritas utama. Ia menjelaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto berulang kali menyampaikan pentingnya RUU tersebut agar segera masuk dalam Prolegnas.
Supratman menekankan bahwa pemerintah tengah berupaya memastikan pengesahan Prolegnas tahun 2025–2026 benar-benar mencakup RUU Perampasan Aset, sehingga agenda itu tidak lagi tertunda sebagaimana periode sebelumnya.
Jika ditarik ke belakang, RUU Perampasan Aset sendiri sejatinya telah diajukan bahkan sejak masa pemerintahan di era Presiden ke-7, Joko Widodo, pada 2023 lalu. Namun, rancangan tersebut tidak kunjung dibahas.
Ketidakpastian itu sempat menimbulkan keraguan publik mengenai keseriusan negara dalam memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Kini, dengan masuknya RUU itu ke dalam prioritas utama dan diambil alih oleh DPR, keraguan tersebut perlahan terjawab.
Gerakan nyata pemerintah dan DPR membuktikan adanya perubahan sikap: aspirasi rakyat benar-benar ditempatkan sebagai dasar arah kebijakan. Dalam konteks 17+8 tuntutan publik, langkah ini memiliki nilai simbolis sekaligus substantif.
Simbolis karena menunjukkan bahwa suara rakyat tidak dibiarkan menggantung, substantif karena menyangkut instrumen hukum penting dalam mengembalikan aset hasil tindak pidana untuk kepentingan negara dan rakyat.
RUU Perampasan Aset juga merefleksikan kesadaran baru di kalangan elit politik tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas. Dalam situasi ekonomi yang penuh tantangan, keberadaan regulasi perampasan aset akan memperkuat legitimasi negara dalam melindungi kekayaan nasional sekaligus mengurangi potensi kerugian negara akibat praktik korupsi.
Penting pula digarisbawahi bahwa sinergi pemerintah dan DPR dalam kasus RUU ini bisa menjadi preseden baik bagi pembahasan regulasi strategis lainnya. Publik berhak menaruh harapan bahwa mekanisme serupa dapat dipraktikkan untuk isu-isu krusial lain, sehingga aspirasi rakyat tidak berhenti pada ranah demonstrasi, tetapi benar-benar bertransformasi menjadi kebijakan nyata.
Keseriusan DPR dan pemerintah menjawab 17+8 tuntutan rakyat melalui pengambilan alih inisiatif RUU Perampasan Aset menjadi penanda penting perjalanan demokrasi Indonesia. Aspirasi masyarakat tidak lagi dipandang sebagai tekanan belaka, melainkan sebagai energi yang mendorong lahirnya kebijakan progresif.
Jika proses legislasi dapat berjalan sesuai dengan komitmen yang sudah dinyatakan, publik bukan hanya akan melihat regulasi baru, tetapi juga kepercayaan yang semakin menguat antara rakyat dengan negara.
Dengan demikian, pengambilan alih RUU Perampasan Aset oleh DPR, yang mendapat dukungan penuh dari Presiden Prabowo Subianto serta jajaran pemerintah, bukan sekadar agenda hukum.
Lebih dari itu, langkah tersebut adalah jawaban nyata atas aspirasi rakyat, cerminan dari komitmen negara terhadap transparansi, dan fondasi penting bagi penguatan demokrasi serta pemberantasan korupsi di Indonesia. (*)
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi institute