Pemerintah Sudah Jawab Aspirasi Buruh, Aksi Demo 28 Agustus Tidak Relevan
Oleh : Ilham Perdana
Menjelang rencana aksi buruh pada 28 Agustus 2025, ruang publik kembali diwarnai perdebatan mengenai relevansi demonstrasi di tengah berbagai kebijakan pemerintah yang telah menjawab aspirasi pekerja. Demokrasi menjamin kebebasan berpendapat, namun kebebasan tersebut sepatutnya dijalankan dengan cara yang tertib, damai, dan rasional agar tidak menimbulkan kerugian bagi buruh maupun masyarakat luas. Dalam konteks ini, aksi unjuk rasa berpotensi kehilangan relevansinya ketika aspirasi yang disuarakan sesungguhnya telah direspons secara nyata melalui program-program pemerintah.
Ketua Umum KSPSI, Jumhur Hidayat menegaskan bahwa anggotanya tidak akan terlibat dalam aksi tersebut. Ia menilai dialog dan perundingan jauh lebih bermanfaat dibanding turun ke jalan yang rawan disusupi pihak tidak bertanggung jawab. Menurutnya, serikat buruh justru sedang mempersiapkan draf kebijakan yang akan diajukan dalam forum resmi bersama pemerintah, DPR, dan pengusaha. Pilihan jalur dialog ini menunjukkan kesadaran bahwa perjuangan buruh akan lebih efektif jika diarahkan pada pembahasan substantif, bukan melalui mobilisasi massa yang berisiko menimbulkan kericuhan.
Sikap serupa datang dari parlemen. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad menekankan bahwa penyampaian aspirasi merupakan hak yang dijamin undang-undang. Namun, hak tersebut harus dijalankan sesuai aturan hukum. Ia mengingatkan bahwa substansi perjuangan buruh akan lebih kuat apabila disampaikan secara tertib dan damai. Demonstrasi yang berujung anarkis justru dapat menodai tujuan mulia buruh sendiri dan mengurangi simpati publik yang dibutuhkan untuk memperkuat posisi tawar.
Dari sisi keamanan, aparat juga mengedepankan pendekatan persuasif. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi menegaskan bahwa kepolisian siap memfasilitasi penyampaian aspirasi dengan pola pengamanan berbasis pelayanan. Namun, ia mengingatkan adanya potensi pihak tertentu yang berupaya memanfaatkan momentum untuk menimbulkan kerusuhan. Pengalaman sebelumnya menunjukkan fasilitas umum kerap menjadi korban aksi anarkis. Oleh karena itu, kewaspadaan masyarakat menjadi sangat penting agar tidak terjebak dalam provokasi yang dapat merugikan pekerja itu sendiri.
Di luar aspek keamanan, substansi utama yang perlu digarisbawahi adalah komitmen pemerintah dalam menjawab tuntutan buruh. Berbagai kebijakan telah diluncurkan, mulai dari program pembangunan tiga juta rumah bagi pekerja, pemberian Bantuan Subsidi Upah (BSU), hingga pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional. Langkah lain seperti pembentukan Satgas PHK, dorongan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), serta penyediaan layanan kesehatan gratis menegaskan keberpihakan negara terhadap kesejahteraan buruh.
Kebijakan tersebut tidak hanya sebatas janji, melainkan telah terealisasi dan dirasakan manfaatnya. Misalnya, BSU membantu menjaga daya beli buruh di tengah tekanan ekonomi global, sementara program pembangunan rumah memberi kesempatan pekerja untuk memiliki hunian layak dengan harga terjangkau. Kehadiran Satgas PHK juga memberi kepastian perlindungan ketika terjadi gejolak ekonomi yang berpotensi mengancam keberlangsungan lapangan kerja. Semua langkah ini membuktikan bahwa aspirasi buruh sesungguhnya tidak diabaikan, melainkan menjadi bagian penting dari kebijakan nasional.
Jika dilihat dari perspektif pragmatis, demonstrasi justru dapat menjadi kontraproduktif. Aksi yang berujung anarkis tidak hanya merugikan masyarakat umum, tetapi juga melemahkan perjuangan buruh sendiri. Alih-alih memperkuat posisi tawar, aksi anarkis bisa menimbulkan stigma negatif yang membuat isu kesejahteraan buruh kehilangan dukungan luas. Di era keterbukaan informasi saat ini, publik lebih mudah bersimpati kepada aspirasi yang disampaikan dengan tertib, santun, dan berbasis data, dibanding dengan aksi yang identik dengan kerusakan fasilitas umum.
Di sisi lain, pemerintah juga telah membuka ruang komunikasi yang luas dengan serikat buruh. Forum tripartit yang melibatkan pemerintah, pengusaha, dan buruh menjadi wadah untuk merumuskan kebijakan bersama. Mekanisme ini menegaskan bahwa negara tidak menutup telinga, melainkan berupaya mengakomodasi suara pekerja melalui dialog konstruktif. Oleh karena itu, langkah yang lebih bijak bagi serikat buruh adalah memaksimalkan forum resmi tersebut daripada menggelar aksi jalanan.
Momentum ini seharusnya digunakan untuk memperkuat kolaborasi antara buruh, pengusaha, dan pemerintah. Kolaborasi menjadi kunci agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya berpihak pada salah satu pihak, tetapi menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang adil, berdaya saing, dan berkelanjutan. Dengan demikian, kesejahteraan buruh dapat meningkat tanpa harus mengorbankan stabilitas ekonomi maupun ketertiban sosial.
Dalam perspektif makro, aksi unjuk rasa 28 Agustus kehilangan relevansinya karena pemerintah sudah memberikan jawaban konkret terhadap tuntutan buruh. Menegakkan demokrasi bukan berarti membiarkan potensi kericuhan, tetapi memastikan aspirasi tersampaikan dalam kerangka yang produktif. Oleh karena itu, menjaga ketertiban publik sekaligus memperkuat jalur dialog menjadi pilihan rasional yang sejalan dengan kepentingan buruh dan bangsa secara keseluruhan.
)* Penulis merupakan Pengamat Kebijakan Publik