Pengalihan Lahan Terlantar Solusi Cegah Konflik Agraria
Jakarta – Pemerintah saat ini sedang mematangkan kebijakan strategis dalam pemanfaatan tanah-tanah terlantar dengan mengalihkannya kepada organisasi kemasyarakatan (ormas). Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya mendorong pemanfaatan lahan secara produktif, mempersempit celah konflik agraria, serta memastikan keadilan dalam pengelolaan sumber daya tanah di Indonesia.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan _(Presidential Communication Office/PCO),_ Hasan Nasbi, menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan cerminan semangat pemerintah untuk memberdayakan tanah secara lebih adil dan berkelanjutan.
“Jadi semangat pemerintah yang pertama, semangat pemerintah adalah supaya tidak ada lahan-lahan yang terlantar. Lahan-lahan terlantar ini juga bisa juga menimbulkan konflik agraria karena dibiarkan sekian lama, ada orang yang menduduki, kemudian terjadi konflik agraria,” kata Hasan.
Ia menambahkan bahwa sebelum dilakukan pengambilalihan, akan diterapkan masa tenggang dan tiga kali peringatan resmi kepada pemilik lahan. Ini memberikan kesempatan kepada pemilik untuk kembali mengelola aset mereka secara aktif.
Kebijakan ini merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Berdasarkan regulasi tersebut, tanah yang dalam waktu dua tahun tidak dimanfaatkan, tidak dipelihara, atau tidak digunakan secara produktif dapat diambil alih oleh negara.
“Jadi kalau ada kapital-kapital besar yang memiliki lahan atau mengelola lahan di luar kewenangannya. Misalnya dia dapat hak untuk mengelola 100 ribu hektare tapi dia mengelola 150 ribu hektare, dan sisanya itu tentu akan harus dikembalikan kepada negara. Ini untuk keadilan,” jelas Hasan.
Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menyebut bahwa dari total 55,9 juta hektare lahan bersertifikat, sekitar 1,4 juta hektare belum dimanfaatkan secara optimal. Menurutnya, tanah-tanah ini sangat potensial untuk dimanfaatkan oleh ormas, khususnya untuk kegiatan sosial dan keagamaan.
“Kalau untuk bangun pesantren, cari lahan yang zonasinya pemukiman atau industri. Kalau zonasinya pertanian atau perkebunan, bisa dimanfaatkan secara ekonomi lewat koperasi pesantren,” ujarnya.
Namun, ia menegaskan bahwa penyaluran tanah harus tetap mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Misalnya, jika tanah berada di zona permukiman atau industri, maka bisa digunakan untuk membangun pesantren. Sedangkan jika berada di zona pertanian, bisa dimanfaatkan secara ekonomi oleh koperasi pesantren atau ormas.
Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Jonahar, menambahkan bahwa fokus utama dari penertiban ini adalah tanah-tanah yang berada di bawah hak badan hukum, bukan perseorangan.
“Penertiban saat ini difokuskan pada HGU dan HGB milik badan hukum. Jadi hak milik perorangan tidak termasuk dalam skema ini. Evaluasi dilakukan secara selektif, berbasis data dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” tegasnya.
Langkah pemerintah ini menunjukkan komitmen kuat untuk menciptakan pemerataan dan keadilan dalam penguasaan tanah. Dengan melibatkan ormas sebagai mitra pemanfaat lahan, kebijakan ini diharapkan dapat mendukung agenda pembangunan sosial berbasis komunitas, menghidupkan kembali lahan tidak produktif, serta mengurangi potensi konflik agraria di masa depan.