Pengamat Pemilu : Kesamaan Hak Diluar 43 Daerah Pasangan Calon Tunggal

-

 

JAKARTA – Fenomena kotak kosong masih berlanjut pada Pilkada serentak 2024. Terdapat 43 daerah (42 ditingkat kabupaten/kota dan 1 provinsi) yang akan menggelar pemilihan calon kepala daerah melawan kotak kosong.

Terkait hal tersebut, Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah mengatakan, seharusnya keberadaan kotak kosong juga ada disetiap wilayah yang menggelar pilkada.

Tidak hanya daerah yang terdapat calon tunggal saja. Hal itu untuk memberikan hak yang sama kepada setiap warga

“Atau apakah kita perlu repro lagi, bahwa yang namanya gubernur itu pembantu presiden misalkan, maka tinggal penunjukan langsung oleh presiden. Atau yang kedua melalui mekanisme DPRD provinsi dan seterusnya,” ujar Ramdansyah saat Diskusi interaktif di Radio Elshinta, Senin malam (2/9/20204), dengan tema ‘Antisipasi jika kotak kosong menang dalam pilkada 2024, Pilkada diulang atau dipimpin oleh Pj.

“Jika ditingkat Kabupaten/kota ada kotak kosong ngapain lagi digelar pemilu. Anggaran kan bisa dihemat. Bisa saja pemilihan melalui DPRD secara tidak langsung, itu jalan keluarnya. Tentu saja ini ada baik dan buruknya,” imbuh Mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta.

Tapi kemudian jelas Ramdansyah, yang harus dilindungi ini adalah bahwa ada kesamaan hak. Apabila 43 daerah diperkenankan menggunakan haknya memilih kotak kosong, konstitusi wajib memberikan perlakuan sama berlaku ditempat lain juga .

“Atau kemudian kalau memang harus diperlakukan yang berbeda maka kemudian penyelamatan APBD. Sehingga kemudian tidak perlu mengulang hingga tiga kali tetapi bisa saja pemilihan dilakukan ditingkat DPRD, apabila yang menang berikutnya adalah kotak kosong” jelas Ramdansyah.

Ramdansyah menjelaskan, yang namanya pemilihan kotak kosong di banyak negara, terutama di Amerika Latin, disana banyak protes terhadap terhadap calon yang diusung oleh partai politik. Tetapi pemilihan kotak kosong atau none of above istilah di sana berlaku juga untuk daerah-daerah lain. Tidak semata-mata pasangan calon tunggal seperti di Indonesia.

“Ketika calon-calon diusung partai politik, tanpa mendengarkan aspirasi publik, hasil survei atau penyaringan secara cara terbuka seperti konvensi partai, maka akan muncul atau juga kartel politik. Ini juga terjadi di Amerika latin dengan fenomena none of above atau fenomena kotak kosong. Tetapi di Indonesia yang diakomodir dengan payung hukum untuk kotak kosong bagi calon tunggal di satu provinsi atau kabupaten/kota,” jelas Ramdansyah.

Padahal dibanyak negara di Amerika Latin keberadaan kotak kosong tidak hanya pada calon tunggal.

“Pertanyaanya adalah apakah misalkan Jakarta, pemilih tidak memilih calon yang bukan dari tiga pasangan tersebut, Ridwan Kamil – Suswono, Pramono Anung – Rano Karno dan Darma, lalu surat suaranya menjadi tidak sah?,” jelas Ramdansyah.

“Jawabannya dibanyak negara Amerika Latin dimungkinkan. Karena ketika orang pergi ke TPS dan kemudian dia memilih bukan tiga pasangan calon dari surat suara apakah kemudian ini dianggap suara yang tidak sah. Atau kemudian dia menulis bukan tiga pasangan calon, dianggap tidak sah. Jawabannya di banyak negara, di Amerika latin itu menyatakan sah dan kemudian difasilitasi dengan adanya payung hukum, lalu secara teknis ada namanya kolom yang kemudian penyelenggara di sana. Memungkinkan orang untuk tidak memilih tiga pasangan calon tersebut dalam surat suara,” imbuh Ramdansyah

Berlanjutnya fenomena kotak kosong pada pilkada serentak 2024, Ramdansyah menduga ada yang namanya politik kartel.

“Potensinya adalah ini kartel politik yang cukup bahaya bagi demokrasi menurut saya. Karena apa? Tidak memungkinkan peluang rivalitas politik yang sehat. Padahal demokrasi itukan partisipasi politik, partisipasi publik diharapkan tinggi. Kalau kemudian kemarin putusan MK 60 tidak membuat ambang batas nya jadi rendah ke dari 6,5% hingga 10%, saya yakin dugaan akan ada 100 kabupaten/kota dan provinsi melawan kotak kosong,” ujar Ramdansyah.

Lebih lanjut Ramdansyah mengatakan, ia melihat sudah ada pasangan calon di pilkada Jakarta ketika pidato si calon tersebut disuruh turun. Warga menyerukan pasangan itu untuk turun dari mimbar. Apalagi rekam jejaknya pernah menghina daerah yang sekarang akan dia pimpin.

“Nah itu, kerugian pertama yang dapat menyebabkan potensi chaos, ketika tidak diakomodir suara pemilih non pasangan dalam surat suara. Kedua, partisipasi publik itu akan turun. Ketiga, potensi coblos semuanya akan menjadi suara tidak sah bisa saja menjadi gejolak di TPS. Kalau tidak ada payung hukum, maka coblos pasangan di luar pasangan dalam surat suara menggunakan UU pilkada sekarang, jawabannya itu tidak sah..” jelas Ramdansyah.

Lebih lanjut ia mengkritik, keberadaan kotak kosong hanya untuk melawan calon tunggal. Ramdansyah melihat bahwa ini bertentangan dengan hak konstitusi warga negara.

“Hak konstitusi itu hilang. Karena dalam pasal 28 d UUD 1945, setiap orang punya pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dihadapan hukum. Artinya ketika treatment terhadap pasangan calon yang satu diberikan ruang untuk kotak kosong maka kemudian di daerah-daerah lain apakah kemudian tidak diberikan peluang ini, maka kemudian ini ada diskriminasi? Jawaban saya iya. Ini ada peluang untuk kemudian bertentangan dengan konstitusi memberikan perbedaan terkait dengan kotak kosong hanya dipasangan calon yang tunggal,” beber Ramdansyah.

“Maka yang perlu dilindungi hak konstitusinya pemilih dan juga mungkin mereka tidak ada dalam tanda gambar. Itu kemudian kita perlu ke MK meminta kepada MK untuk meminta agar pemilih yang memilih bukan pasangan calon yang ada dalam surat suara bisa jadi sah. Layaknya Pilkada dengan pasangan calon tunggal,” ujarnya.

Saat ditanya bagaimana jika yang menang kotak kosong? Ramdansyah mengatakan itu sudah ada ketentuan ketika calon tunggal misalkan yang menang Kotak Kosong. Maka kemudian ditunjuk Pj. Untuk Pj tingkat gubernur, adalah eselon I.
untuk Pj tingkat Kabupaten dan Walikota adalah eselon II. Itu jelas Ramdansyah sudah ada nomenklaturnya. Tetapi penetapan sebagai PJ nya kan sangat rawan tidak masuk ke ranah publik

“Dan kemudian Pj ini selama satu tahun tugasnya itu adalah membentuk juga pemilihan kepala daerah yang berikutnya.
Tidak boleh membuat keputusan politik yang strategis, kebijakan yang strategis. Padahal pembangunan itukan dengan APBD yang sudah dianggarkan di 2024-2025. Itu semua akan terserap dalam bentuk APBD untuk kepentingan politik. Itu menurut saya rawan akan muncul yang namanya pembangunan tidak berjalan,” ujarnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Related Stories