Dugaan pencatutan Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada KTP warga warga untuk mendukung calon perseorangan, kembali mencuat jelang Pilkada 2024. Misalnya seperti yang terjadi di Jakarta. Beberapa hari terakhir ini dugaan pencatutan NIK warga untuk mendukung calon perseorangan pada Pilkada DKI Jakarta, 2024-2029, ramai menghiasi berbagai media.
Terkait hal tersebut, Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi, Ramdansyah mengatakan, dugaan pencatutan NIK untuk mendukung calon perseorangan merupakan persoalan klasik. Serta pernah terjadi pada pilkada di Jakarta tahun 2011/2012 lalu.
Ramdansyah mengatakan hal tersebut saat ia menjadi narasumber di acara Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) di Bandung- Jawa Barat, yang dihadiri Bawaslu, Kasatserse dan Kasie Pidum Kejaksaan se Jawa Barat, Kamis 15/08/2024.
“Sekarang tahapan verifikasi faktual yang kemudian sudah diputuskan yang lolos, salah satu pasangan calon lolos di Jakarta dan beberapa daerah juga lolos. Ini ada persoalan. Pertama tadi ketika kita menyampaikan ini adalah pidana umum yang tadi disampaikan humas Polda misalkan. Saya melihat ini tahapan sudah masuk pada tahapan pendaftaran calon yang independen. Karena untuk pendaftaran Paslon dari partai politik pada 24 -26 Agustus. Kemudian penetapan pada 29 Agustus. Ketika tahapan berlangsung apakah ini menjadi pidana umum atau pidana Pemilu. Karena Ini bisa terkait dengan pihak-pihak atau KTP seseorang yang pribadi kemudian dipalsukan (untuk mendukung) ini persoalan klasik,” ujar Ramdansyah saat dialog interaktif di Radio Elshinta Jumat malam (16/8/2024).
“Karena waktu misalkan 2011-2012 ketika saya menjabat Panwaslu Provinsi DKI Jakarta, 10 tahun lalu inipun terjadi. Bahkan nama saya sebagai ketua panwaslu provinsi itu dicatut oleh salah satu pasangan calon independen. Ini kemudian menjadi pertanyaan besar. Persoalan klasik ini kok muncul terus dan kemudian apakah ini menjadi pidana umum atau pidana pemilu? Jawaban saya pidana pemilu karena terkait dengan tahapan pendaftaran calon independen,” beber Ramdansyah.
Mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta tersebut mengatakan, jadi kalau ingin pergi ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK), kemudian harus melapor dulu ke Bawaslu, karena ini ranah Gakkumdu.
“Tadi saya dengar, bahwa Bawaslu sudah membuka diri silahkan melapor bagi yang dicatut. Sebaiknya jangan paralel lapor ke Kepolisian dan Bawaslu RI. Karena ada satu kesatuan utuh yang namanya Gakkumdu yang terdiri dari Bawaslu, Kepolisian dan kejaksaan,” ujar Ramdansyah
Bahkan jelas Ramdansyah, ketika ia barusan memberikan paparan terkait dengan potensi pelanggaran Pilkada di Jawa Barat di Bandung, hal itu juga ditegaskannya kembali.
“Artinya apa, jangan kemudian jalannya masing-masing. Inikan Gakkumdu sudah ada, jadi kalau ke Bawaslu, kemudian diberkaskan, nanti Bawaslu ketika melakukan putusan bersama atau putusan kolektif kolegial terkait laporan masyarakat ini bisa kemudian membawa ke ranah pidana pemilu. Sehingga kemudian, Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) laporan polisinya itu mendapatkan rekomendasi dari Bawaslu itu sendiri. Kalau nggak maka menjadi pidana umum,” ujar Ramdansyah.
Tapi jelas dia, kalau pidana umum akan mudah dibantah ketika di pengadilan. Karena ini bukan pidana umum tapi pidana pemilu.
“Catatan yang kedua sebenarnya ini kan dari KPU memasang data yang dicatut dalam status laman KPU yang lama
dimana pasangan calon independen tersebut tidak memenuhi syarat sebelumnya kan. Sekarang sudah memasuki verifikasi faktual..Tahapan verifikasi administratif itu sudah selesai dan kemudian ada perbaikan ketika diperbaiki misalkan nama data Si A..Pada tahapan verifikasi administrasi pertama itu masih muncul katakanlah di websitenya KPU dan kemudian itu ada perbaikan. Ini Sudah diperbaiki, sehingga kemudian yang tidak memenuhi syarat karena mencatut tadi. Data itu diperbaiki , sudah digantikan oleh yang bersangkutan. Sehingga menjadi MS, Memenuhi Syarat. Sehingga memenuhi kuota 600 ribu an lebih sesuai persyarartan,” jelasnya.
Kalau tidak kata Ramdansyah, maka ini akan menjadi persoalan yang tidak akan selesai. Karena pemenuhan calon tadi kan sudah dipenuhi. Tidak lolos.
“Kalau memang kita mau menyatakan tidak memenuhi syarat yah kita ke PTUN. Pengadilan Tata usaha negara..Balik lagi untuk menggugat keputusan pejabat TUN dalam hal ini KPU,” ujarnya.
Kemudian jelas Ramdansyah, dalam konteks non formal hukum, kita harus punya pendekatan non hukumnya. Ini ada apa sih, dengan calon perseorang bisa yang awalnya sangat berat untuk lolos, kemudian jadi lolos
“Nah inikan harus dilihat dari konteks politiknya. Hari ini kan orang berasumsi ini nanti calon perseorangan atau calon dari parpol yang didaftarkan ke KPU nanti satu pasangan calon. Sehingga akan muncul yang namanya pasangan kotak kosong ini harus kita baca seperti itu. Karena untuk menghindari pasangan kotak kosong itu dicarilah kemudian dari calon perseorangan. Tapi ini kan masih asumsi karena harus dibuktikan poin pertama dan kedua yang tadi saya sampaikan,” jelas Ramdansyah.
“Tapi sekali kalau kita mau menggugat putusan pejabat TUN dalam hal ini pejabat KPU maka yah harus ke Pengadilan Tata Usaha Negara,” pungkasnya.