JAKARTA – Banyaknya persyaratan untuk maju menjadi calon kepala daerah pada Pilkada serentak 2024, dari jalur independen mendapat sorotan berbagai pihak. Misalnya persyaratan dukungan, ditambah harus ada materai itu dianggap memberatkan. Sehingga pendaftaran calon kepala daerah dari jalur independen, disebut-sebut menjadi sepi peminat.
Lalu benarkah hal? Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah mengatakan adanya persyaratan untuk calon independen dimaksudkan supaya fair.
“Ketika Pilkada DKI pada 2012, saya penyelenggara saat itu, kita mencoret dua orang yang tidak memenuhi syarat. Tidak diloloskan, kemudian tidak memenuhi syarat, karena tidak serius. Ini menunjukkan keadilan menurut saya.
Parpol punya dukungan ril, ada anggota dengan Kartu Tanda Anggota (KTA) nya. Calon independen juga dengan bukti syarat dukungan. Kalau syarat dukungan tidak ada, ini juga tidak fair menurut saya,” ujar Ramdansyah, saat dialog interaktif di Radio Elshinta, Senin malam (13/5/2204).
Lebih lanjut Ramdansyah menjelaskan kenapa harus ada persyaratan dukungan. asumsinya didasarkan pada partai politik selalu punya yang namanya konstituen. atau punya yang namanya anggota dengan KTA-nya
“Nah ini terbangun dalam pemilu legislatif harus punya dukungan. Kalau calon independen dia juga harus punya dukungan,” jelasnya.
Seperti diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memutuskan bahwa akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 27 November 2024. Pilkada Serentak tahun 2024 akan diikuti sebanyak 37 provinsi, dan 508 kabupaten/kota.
Untuk mereka yang maju dari jalur independen, harus punya dukungan. Jumlah dukungan minimal itu berbeda antar provinsi, tergantung jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih pada pilgub sebelumnya.
Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai 2 juta jiwa harus didukung paling sedikit 10%. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap 2-6 juta jiwa harus didukung paling sedikit 8,5%. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap 6-12 juta jiwa harus didukung paling sedikit 7,5%.
Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa harus didukung paling sedikit 6,5%. Jumlah dukungan harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud.
Selain itu juga harus ditambah materai setiap dukungan. Yang jumlah nominalnya untuk beli materai saja bisa milyaran rupiah.
Lalu benarkah hal itu memberatkan mereka yang ingin maju dari jalur independen? Menurut Ramdansyah
ketika calon itu menyatakan bahwa semua dokumen yang ia isi ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maka otomatis semua dokumen pendukung termasuk KTP dukungan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
“Kalau calon tersebut merasa persyaratan dalam Peraturan KPU itu memberatkan, seperti jumlah persyaratan dukungan dan ada materai, itu bisa mengajukan ke MA. Kedua, terkait syarat dukungan ini sebenarnya tidak perlu membuat meterai di setiap daftar kumpulan KTP yang dikumpulkan. Ketiga, boleh juga dengan membubukan pernyataan di atas meterai bahwa semua KTP yang dikumpulkan benar adanya. ” imbuh Ramdansyah yang pernah menjabat sebagai sebagai Ketua Panwaslu Provinsi DKI Jakarta.
Ramdansyah mengatakan, jalur independen perlu dijaga. “Hal itu untuk mencegah beberapa orang dari parpol berusaha memborong semua parpol. Jadi yang dilawan kotak kosong. Kalau ada jalur independen tidak bisa dibeli juga partai, paling dia beli calonnya,” ujarnya.
“Karena pernyataan di awal sudah menunjukkan itu tetapi harus kemudian ditempel satu persatu misalkan KTP-nya sebagai tanda bukti sebagai pembenar, maka akan jadi merepotkan,” jelas Ramdansyah.
“Kemudian sebenarnya dari calon perseorangan ada yang buangan dari partai politik. Ketika kemudian mereka tidak mendapatkan dukungan dari partai politik atau kemudian tidak mendapatkan mandat maka pilihan menjadi calon perseorangan menjadi sebuah kesempatan,” imbuhnya.
Jadi jelas Ramdansyah, kalau dia bisa mendapatkan dukungan dari partai politik tanda tangan ketum dan sekjen untuk kemudian mengajukan pencalonan, maka orang akan memilih jalur partai politik. Karena basis partainya.
“Tapi kalau itu kemudian harus independen maka dia harus berusaha, membuat tim sendiri, membangun jaringan sendiri dan seterusnya bahkan berhadapan dengan partai politik,” ujar Ramdansyah.
Namun kenapa harus ada jalur independen? Pertama jelas Ramdansyah, adanya aspirasi masyarakat melalui undang-undang pemilu bahwa partai politik saat itu tidak banyak menangkap aspirasi masyarakat. Kepala daerah yang diusung oleh partai atau koalisi partai politik hanya condong kepada konstituen mereka sendiri.
Jadi tidak bisa mencerminkan keinginan masyarakat maka kemudian dipilihlah wakil dari independen, mudah-mudahan mereka bisa menangkap menganalisasi keinginan dari masyarakat sebagai eksekutif.
Yang diperhatikan untuk rapat dengan DPR kan konstituennya dari partai itu sendiri. Masyarakat lain seperti kurang dianggap, ini yang mendorong munculnya independen..
“Karena apa kontribusi anda terhadap partai kami misalkan seperti itu. Jadi menurut saya alternatif calon perseorangan menjadi penting,” ujar Ramdansyah.
Munculnya calon independen jelas Ramdansyah, terjadi setelah reformasi pada paruh kedua. Itu karena ketidakpercayaan kepada partai politik mendorong pemilihan kepala daerah memungkinkan dilakukan oleh calon perorangan.
“Nah ternyata ini juga tidak antusias juga untuk menjadi calon perseorangan di Pilkada 2024. Lalu buat apa ada calon perseorangan? Menurut saya sejauh ini selama partai politik ini ada lawannya dalam pilkada saya pikir ini akan terus tetap kita jaga,” tegas Ramdansyah yang juga Ketua Bidang Kepemiluan Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI).
Ketika menjadi calon independen asumsi yang dibangun orang berpikir bahwa calon independen lebih bersih. Ketimbang dari parpol.
“Menurut saya asumsi publik seperti itu terbangun. Tetapi hasilnya ternyata kecenderungan warga masyarakat dalam pilkada itu lebih memilih calon dari partai politik. Justru sedikit sedikit sekali dari calon independen yang terpilih,” ujar Ramdansyah.
Lalu apakah yang didukung oleh parpol adalah benar-benar kader? Sebab banyak juga yang ujug-ujug dicalonkan.
“Apakah itu fair, menurut saya tidak, politisi itu adalah profesi atau “politics als beruf”, kata Max Weber Seorang Sosiolog. Jadi sebenarnya saya condong ketika kemarin diajukan sistem pencalonan anggota legislatif secara tertutup oleh partai politik, itu menurut saya lebih menguntungkan mereka yang sudah bekerja untuk partai. Sehingga dapat mencegah petualang yang punya modal uang atau mencegah Pemilu atau Pilkada sebagai pasar bebas yang memasukkan mereka pada menit-menit terakhir Daftar Calon dari Partai Politik. Dalam sistem tertutup dengan persyaratan yang ketat, maka petualang politik dan pemilik uang saja tidak bisa lolos. Karena akan muncul persyaratan misalkan sudah 10 tahun menjabat sebagai sekretaris DPC atau DPW atau DPP. Itu menyebabkan dia mendapatkan nomor-nomor topi bukan nomor sepatu jadi nomor 1, 2 dan 3 untuk pengurus partai,” ujar Ramdansyah.
“Tapi saat ini yang terjadi dalam pemilu yang super bebas hari ini mereka yang punya uang. Yang kedua mereka yang punya kekerabatan dari kerabat dia orang partai tapi dia kerabat dari pimpinan parpol, ini yang kemudian bisa menjadi kemudian yang punya uang bisa mempunyai suara mengalahkan calon dari partai politik. Ini menyebabkan juga dari parpol sulit untuk menjadi calon kepala daerah,” imbuhnya.
Menjadi calon kepala daerah harus punya modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial.
“Tapi tidak semuanya harus punya uang, kalau dia terkenal, dianggap pahlawan maka partai bisa memilih dia,” ujar Ramdansyah.