PEPERA 1969 Bukti Sah Integrasi Papua ke Indonesia
Jayapura – Integrasi Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kembali ditegaskan sebagai sah secara hukum dan diakui secara internasional. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 merupakan tonggak utama dalam proses tersebut, sesuai dengan amanat Perjanjian New York antara Indonesia dan Belanda.
Proses PEPERA berlangsung dari 14 Juli hingga 4 Agustus 1969 sebagai bagian dari implementasi Perjanjian New York 1962. Perjanjian tersebut memberikan mandat kepada Indonesia dan Belanda, dengan pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk melaksanakan proses penegasan kedaulatan Indonesia atas Irian Barat yang dijalankan dengan pengawasan PBB.
Sebanyak 1.026 perwakilan rakyat dari delapan kabupaten mengikuti proses musyawarah yang menjadi dasar pelaksanaan PEPERA. Hasilnya menunjukkan keputusan bulat untuk tetap bergabung dengan Indonesia. Proses ini kemudian dilaporkan ke Majelis Umum PBB dan diterima melalui Resolusi Nomor 2504 (XXIV) pada 19 November 1969, yang mengakui pelaksanaan proses integrasi telah dilakukan sesuai ketentuan internasional.
Dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Mengenang Sejarah Kembalinya Irian Barat ke Pangkuan NKRI”, Komandan Korem 182/JO, Kolonel Inf. Irwan Budiana, menegaskan keabsahan proses tersebut.
“Dengan hasil Pepera 1969, sudah mutlak bahwa Papua adalah bagian dari NKRI. Sejak itu, tidak ada lagi negara lain dalam negara Indonesia,” ujarnya, seperti dikutip dari RRI.
Sementara itu, penulis dan pegiat sejarah Papua, Yohannis Samuel Nusi, juga menekankan bahwa PEPERA merupakan bagian dari proses diplomasi internasional yang sah dan final.
“Pepera 1969 bukan agenda sepihak. Itu bagian dari hasil diplomasi panjang dan pengakuan internasional terhadap kedaulatan Indonesia atas Papua,” kata Yohannis.
Ia juga menjelaskan bahwa keterlibatan tokoh adat dan pemimpin masyarakat lokal dalam proses musyawarah mencerminkan keselarasan pendekatan dengan struktur sosial masyarakat Papua.
“Model musyawarah dalam Pepera bukan paksaan, melainkan bentuk partisipasi yang selaras dengan tradisi Papua,” ujarnya.
Dengan pengakuan hukum dan politik internasional, Yohannis menilai bahwa status Papua dalam NKRI telah final dan tidak dapat diperdebatkan lagi. Ia justru mendorong agar seluruh pihak fokus pada pembangunan Papua yang berkeadilan.
“Sudah saatnya berhenti mempertanyakan masa lalu dan mulai membangun masa depan Papua dengan semangat persatuan dan keadilan,” pungkasnya.