Program Apotek Desa Pastikan Seluruh Rakyat Indonesia Dapat Layanan Kesehatan Adil
Oleh : Gavin Asadit
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2025 meluncurkan sebuah program besar yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dalam bidang kesehatan, yaitu program Apotek Desa. Kebijakan ini merupakan implementasi dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang percepatan pemerataan pelayanan dasar melalui penguatan Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih.
Dengan menyasar hampir 80.000 desa dan kelurahan di seluruh Indonesia, program ini diharapkan mampu menutup kesenjangan akses layanan kesehatan antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Menurut data dari Kementerian Kesehatan, hingga awal Juni 2025 terdapat sekitar 54.000 sarana kesehatan desa seperti Puskesmas Pembantu (Pustu), Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), dan Posyandu yang berpotensi dikembangkan menjadi Apotek Desa atau Klinik Desa. Pemerintah menargetkan untuk memanfaatkan fasilitas-fasilitas tersebut sebagai cikal bakal unit layanan kesehatan yang lebih terstruktur dan profesional, di bawah pengelolaan Koperasi Merah Putih. Hal ini diyakini sebagai bentuk penguatan pelayanan dasar yang berbasis kemandirian masyarakat dan ekonomi lokal.
Untuk mendukung program ini, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp700 miliar pada tahun 2025. Dana tersebut akan digunakan untuk membangun setidaknya 700 unit apotek dan klinik desa dengan estimasi biaya sekitar Rp1 miliar per unit. Biaya tersebut mencakup pembangunan fisik, penyediaan alat kesehatan, serta fasilitas logistik seperti gudang dan truk pengangkut obat-obatan.
Konsep layanan Apotek Desa tidak hanya berfokus pada penyediaan obat generik berkualitas dengan harga terjangkau, namun juga mencakup penyediaan layanan kesehatan dasar seperti pengobatan penyakit umum, pengelolaan program HIV, tuberkulosis, dan malaria, serta penyediaan produk kesehatan ringan seperti vitamin, suplemen, dan alat kesehatan sederhana. Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Apotek Desa juga akan menjadi pusat edukasi kesehatan bagi masyarakat desa, di mana warga dapat berkonsultasi langsung mengenai penggunaan obat yang benar dan pencegahan penyakit.
Salah satu keunggulan utama dari Apotek Desa adalah kemampuan untuk menyediakan obat generik dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan apotek di kota-kota besar. Dalam beberapa kasus, harga obat di Apotek Desa hanya berkisar 10% hingga 33% dari harga pasar di perkotaan. Hal ini dimungkinkan karena skema pengadaan dilakukan secara kolektif melalui koperasi desa yang bekerjasama langsung dengan produsen obat, serta mendapat dukungan distribusi dari pemerintah pusat.
Namun demikian, pelaksanaan program ini menghadapi sejumlah tantangan, terutama terkait dengan ketersediaan tenaga kefarmasian yang profesional. Saat ini, baru sekitar 68% Puskesmas di Indonesia yang memiliki apoteker tetap. Sisanya masih mengandalkan tenaga vokasi farmasi atau tenaga non-kefarmasian yang tidak memiliki kualifikasi memadai dalam pengelolaan apotek. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) mendorong perekrutan tenaga farmasi baru, termasuk membuka formasi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) khusus untuk apoteker di desa-desa.
Ketua Umum IAI, Noffendri Roestam, menyampaikan bahwa pihaknya mendukung penuh program ini dengan syarat adanya kepastian penempatan apoteker di setiap apotek desa. IAI juga menyarankan agar koperasi desa membuat sistem pengawasan mutu, pelatihan rutin, dan memastikan bahwa pengelolaan apotek dilakukan sesuai kode etik profesi farmasi. Noffendri juga mengingatkan agar koperasi desa tidak mencampuradukkan fungsi pelayanan publik dan orientasi bisnis secara sembarangan, karena dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.
Sebelumnya, Ketua Himpunan Seminat Farmasi Kesehatan Masyarakat PP-IAI Maria Ulfah mengatakan program apotek desa menjadi momentum luar biasa untuk pemenuhan apoteker di puskesmas. Sebab berdasarkan penelitian yang dilakukan tahun 2023 lalu, baru 68 persen dari 10.300 puskesmas yang memiliki apoteker. Sisanya masih diisi dengan Tenaga Vokasi Farmasi (TVF) atau tenaga kesehatan lain.
Untuk menjamin kelancaran distribusi obat ke seluruh pelosok negeri, pemerintah menyiapkan sistem logistik yang terintegrasi. Setiap koperasi desa akan memiliki dua unit kendaraan operasional serta gudang penyimpanan dengan fasilitas pendingin. Hal ini bertujuan menjaga ketersediaan dan kualitas obat, khususnya di wilayah terpencil dengan akses transportasi terbatas. Pemerintah juga tengah menjajaki kerja sama dengan BUMN farmasi seperti Bio Farma untuk penyediaan obat generik dengan harga subsidi.
Meski menghadapi tantangan, program Apotek Desa dinilai sebagai lompatan besar dalam sejarah pelayanan kesehatan nasional. Apabila dijalankan secara konsisten dan terkoordinasi, Apotek Desa akan berdampak besar pada pemerataan akses layanan kesehatan, pengurangan beban biaya kesehatan rumah tangga, pemberdayaan tenaga lokal, serta mendorong pertumbuhan ekonomi desa. Selain itu, inisiatif ini juga merupakan bentuk respons berkelanjutan pasca pandemi COVID-19 yang menekankan pentingnya penguatan layanan kesehatan primer dan kemandirian sistem kesehatan nasional.
Pemerintah meyakini bahwa kesehatan adalah hak dasar setiap warga negara, dan desa adalah titik awal dari pelayanan publik yang inklusif. Oleh karena itu, kehadiran Apotek Desa diharapkan tidak hanya menjadi solusi atas keterbatasan akses obat, tetapi juga menjadi simbol dari komitmen negara dalam memastikan keadilan sosial yang menyeluruh. Dengan dukungan semua pihak pemerintah pusat dan daerah, koperasi, apoteker, serta masyarakat program ini berpotensi mentransformasi wajah layanan kesehatan Indonesia secara fundamental.
Apotek Desa bukan sekadar program pembangunan infrastruktur kesehatan, melainkan sebuah gerakan sosial yang bertujuan memanusiakan kembali pelayanan dasar di akar rumput.
)* Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan