Program Hilirisasi: Agenda Kebijakan Publik yang Mencetak Lapangan Pekerjaan

-

Program Hilirisasi: Agenda Kebijakan Publik yang Mencetak Lapangan Pekerjaan

Oleh: Arifah Winarni

Dari sudut pandang manajemen kebijakan, hilirisasi yang baik bukan sekadar menambah pabrik atau melarang ekspor bahan mentah, melainkan membangun ekosistem nilai tambah yang mengaitkan investasi, pemasok lokal, talenta, dan pasar sehingga tercipta pekerjaan berkualitas. Desain kebijakan diuji pada tiga hal: keberpihakan pada pelaku lokal, kepastian dan kecepatan eksekusi, serta penggandaan manfaat ekonomi sampai ke rumah tangga produsen kecil. Kerangka seperti itu sedang dirajut pemerintah, dari penguatan rantai nilai di daerah, penyelarasan kampus–industri, hingga kemitraan strategis di pangan–petrokimia agar efek serap tenaga kerja terasa merata.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Staf Khusus Menteri Investasi dan Hilirisasi, Sona Maesana, memandang hilirisasi sebagai urusan nilai tambah, kemandirian ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan arah masa depan bangsa. Ia menilai pengalaman di dunia usaha dan kini di kebijakan menunjukkan hilirisasi yang berkelanjutan hanya mungkin bila ekosistem investasi sehat dan ada keberpihakan pada pengusaha lokal. Karena itu, ia menekankan integrasi pelaku lokal–asing, insentif bagi investor yang membina industri lokal, dan regulasi yang transparan agar tumpang-tindih perizinan ditekan. Dalam kerangka yang lebih luas, ia melihat hilirisasi tak berhenti di mineral dan logam, melainkan merambah sektor digital, pertanian, farmasi, dan kreatif, termasuk menghubungkan startup kesehatan dengan BUMN farmasi, mengaitkan petani ke pembeli industri via platform lokal, dan mengkomersialisasikan inovasi kampus melalui skema hilirisasi riset.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kebijakan tidak bekerja di ruang hampa, ia membutuhkan simpul kemitraan. Himpunan Kawasan Industri (HKI) menandatangani nota kesepahaman dengan Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, yang disaksikan Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu. Ketua Umum HKI, Akhmad Ma’ruf Maulana, menilai kerja sama tersebut merupakan bagian dari perwujudan Asta Cita untuk mendorong kemandirian ekonomi, memperkuat keberlanjutan, dan mempercepat inovasi teknologi sebagai pilar pertumbuhan. Ia menegaskan peran HKI sebagai jembatan sektor industri dan institusi pendidikan bersama pemerintah untuk menciptakan daya saing berbasis pengetahuan dan inovasi. Ruang lingkupnya mencakup penyelarasan kurikulum industri, kolaborasi riset untuk mempercepat hilirisasi dan menarik investasi, serta peningkatan daya saing investasi melalui penciptaan SDM unggul.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Di tingkat daerah, contoh yang konkret datang dari Aceh. Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Cut Huzaimah, mendorong penghentian ekspor karet mentah karena pabrik pengolahan di Aceh Barat, PT Potensi Bumi Sakti (PBS), siap menyerap seluruh produksi lokal. Ia memandang langkah ini krusial untuk mendorong hilirisasi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan. Pabrik tersebut berdiri di lahan 25 hektare dengan kemampuan mengolah 2.500 ton karet kering per bulan, dan ia menegaskan pentingnya menjaga keamanan serta stabilitas investasi agar manfaatnya dirasakan rakyat Aceh. Di sisi kebijakan daerah, integrasi rantai pasok menjadi fokus, sementara inisiatif lain seperti penggilingan gabah di Aceh Utara memperlihatkan bahwa hilirisasi bukan monopoli satu komoditas, melainkan pola pikir industrialisasi yang merangkul hasil bumi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pada klaster pangan–petrokimia, kemitraan lintas batas mempertebal pondasi hilirisasi. Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero), Rahmad Pribadi, menjelaskan perluasan kerja sama dengan Petronas Chemicals Group Berhad untuk memperkuat ketahanan pangan nasional–regional dan mendorong hilirisasi pupuk serta petrokimia. Ruang lingkupnya meliputi sinergi pasokan urea dan amonia, transfer pengetahuan teknis–operasional, dan penguatan tata kelola Kesehatan, Keselamatan, dan Lingkungan (HSE). Ia juga menyampaikan kesepakatan studi kelayakan bersama untuk pengembangan teknologi pabrik metanol agar hilirisasi petrokimia mengurangi ketergantungan impor dan mendorong kemandirian energi. Bagi perusahaan, kerja sama ini bukan semata pasokan produk, melainkan penguatan kehandalan operasional, penguasaan teknologi, dan jaringan kemitraan agar daya saing industri nasional semakin solid menghadapi tantangan global.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dari perspektif manajemen kebijakan publik, benang merahnya jelas bahwa pemerintah berperan sebagai arsitek ekosistem. Integrasi lokal–asing dan perizinan yang cepat, agenda HKI yang menyambungkan kampus–industri, langkah Aceh yang mengunci bahan baku tetap diolah di daerah, dan kemitraan Pupuk Indonesia yang memperluas hilirisasi di petrokimia, semuanya mengarah pada “governance of delivery”—bagaimana keputusan berubah menjadi lapangan kerja. Kritik umum terhadap hilirisasi biasanya menyasar risiko enclave—nilai tambah terakumulasi di segelintir titik. Di sinilah desain kebijakan memagari hasil dengan prasyarat kemitraan lokal dan transfer pengetahuan, sebagaimana digarisbawahi Sona Maesana ketika menekankan bahwa investasi yang dikejar bukan sekadar cepat, melainkan yang tumbuh bersama ekosistem lokal. Kasus Aceh memperlihatkan bagaimana kunci kebijakan—menahan bahan baku untuk diolah di tempat—sekaligus membutuhkan pengawalan stabilitas investasi dan integrasi pasok supaya dampaknya langsung ke petani dan pekerja. Sementara itu, kerja sama Pupuk Indonesia menandai bagaimana hilirisasi di sektor strategis memperkuat daya saing tanpa melepaskan standar keselamatan dan lingkungan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pada akhirnya, keberhasilan hilirisasi diukur dari seberapa banyak keluarga yang memperoleh penghidupan lebih baik dan seberapa kuat kompetensi industri yang kita bangun. Dengan membaca sinyal kebijakan—integrasi pelaku lokal–asing, percepatan perizinan, pengikatan bahan baku di daerah, dan kemitraan teknologi di petrokimia—kita melihat agenda yang bergerak dari wacana ke implementasi. Hilirisasi model ini bukan hanya menambah angka di neraca, tetapi mengalirkan nilai tambah ke pekerja, petani, dan pelaku UKM. Itulah esensi kebijakan publik yang berpihak: mencetak pekerjaan, menumbuhkan kapasitas nasional, dan menegakkan kemandirian ekonomi secara berkelanjutan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

*) Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik

Related Stories