Program Strategis PLTS 100 GW Kunci Swasembada Energi dan Perluasan Lapangan Kerja
Oleh: Hafizh Nurfarizi
Transisi energi global tengah menjadi isu strategis yang tak bisa diabaikan. Negara-negara di dunia berpacu mengurangi ketergantungan pada energi fosil demi menciptakan masa depan yang lebih bersih, berkelanjutan, dan mandiri secara energi. Indonesia, dengan potensi energi terbarukan yang sangat besar, tentu tidak boleh tertinggal.
Program pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 100 gigawatt (GW) yang digagas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bukan hanya langkah berani, tetapi juga strategi visioner untuk memastikan kemandirian energi sekaligus membuka peluang lapangan kerja yang luas.
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menyampaikan bahwa pemerintah tengah merancang strategi pemanfaatan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes) sebagai basis pembangunan PLTS. Skema ini tidak hanya memperkuat infrastruktur energi, melainkan juga melibatkan masyarakat desa secara langsung sebagai aktor utama dalam pengelolaan energi bersih. Dengan keterlibatan koperasi desa, program ini menghadirkan pendekatan berbasis komunitas yang berkeadilan, sekaligus meneguhkan prinsip pemerataan pembangunan.
Bahlil juga menekankan pentingnya optimalisasi potensi energi surya Indonesia yang mencapai ribuan gigawatt. Salah satunya yakni dengan menggandeng produsen modul surya global, termasuk melalui kerja sama dengan perusahaan Solar PV asal Tiongkok. Transfer teknologi dan investasi dari mitra internasional menjadi kunci untuk mempercepat pembangunan PLTS nasional.
Kolaborasi internasional tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk membangun instalasi PLTS semata, melainkan juga memperkuat rantai pasok energi surya di dalam negeri. Melalui kerja sama strategis, kapasitas produksi sel dan modul surya dapat ditingkatkan di dalam negeri sehingga mengurangi ketergantungan pada impor. Dengan demikian, ekosistem energi terbarukan nasional bisa tumbuh lebih kokoh. Hal ini sejalan dengan prioritas pemerintah untuk memastikan bahwa program PLTS 100 GW benar-benar mampu menopang swasembada energi nasional.
Chief Executive Officer Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menegaskan bahwa langkah pemerintah ini tepat sasaran untuk menjawab tantangan transisi energi. Indonesia memiliki potensi energi surya yang luar biasa besar, mencapai antara 3.300 GW hingga 20.000 GW dari Sabang sampai Merauke. Dengan biaya teknologi PLTS yang semakin kompetitif, fleksibel, dan mudah dioperasikan, proyek ini bukan sekadar solusi teknis, melainkan juga jawaban strategis atas kebutuhan akses energi yang andal, terjangkau, dan berkelanjutan.
Program ini sekaligus menunjukkan komitmen pemerintah dalam mengurangi emisi, meningkatkan ketahanan energi, serta menjadikan energi surya sebagai motor pembangunan ekonomi hijau. Kelebihan PLTS dibandingkan sumber energi lain adalah fleksibilitasnya. Pembangunannya tidak harus terpusat di satu lokasi besar, tetapi bisa didistribusikan secara modular di berbagai wilayah.
Dengan begitu, akses energi dapat dinikmati secara merata hingga ke daerah terpencil, mendukung pemerataan pembangunan yang menjadi visi besar pemerintahan saat ini. Ini juga menjadi solusi cerdas untuk mempercepat dediselisasi atau penggantian pembangkit berbahan bakar diesel yang selama ini membebani biaya operasional PLN. Selain itu solusi ini sekaligus dapat mengurangi polusi udara.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa saat ini pihaknya sedang menyelaraskan data program dediselisasi PLN dengan rencana pembangunan PLTS di tingkat Kopdes. Menurutnya, setiap daerah memiliki karakteristik dan kebutuhan energi yang berbeda, sehingga tipe pembangunan PLTS yang akan digunakan akan berbasis tapak (ground mounted) atau bentuk lain sehingga harus ditentukan sesuai dengan kondisi wilayah.
Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak sekadar mengejar angka target 100 GW, tetapi juga memastikan agar setiap pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pendekatan yang adaptif dan partisipatif inilah yang akan memastikan keberlanjutan program dalam jangka panjang. Selain aspek teknis, manfaat program PLTS 100 GW juga sangat besar bagi perekonomian nasional.
Pembangunan infrastruktur energi skala raksasa tentu membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar, baik untuk konstruksi, operasi, maupun pemeliharaan. Pemerintah memperkirakan proyek ini akan membuka ratusan ribu lapangan kerja baru, terutama di daerah-daerah yang menjadi lokasi pembangunan PLTS. Tidak hanya itu, keberadaan koperasi desa sebagai pengelola energi akan mendorong tumbuhnya ekonomi lokal melalui pembagian manfaat yang lebih merata.
Namun tentu saja, keberhasilan program ini membutuhkan sinergi yang solid. Pemerintah, dunia usaha, masyarakat, dan mitra internasional harus bergandengan tangan dalam mengawal implementasi PLTS 100 GW. Transparansi, akuntabilitas, serta kepastian regulasi menjadi faktor penentu agar investasi yang masuk benar-benar produktif. Dukungan publik pun tak kalah penting, sebab kesadaran masyarakat untuk menggunakan energi bersih akan mempercepat transformasi menuju swasembada energi.
Di tengah tantangan global, termasuk fluktuasi harga energi fosil, ketidakpastian geopolitik, dan krisis iklim, Indonesia harus mampu berdiri di atas kaki sendiri dalam hal energi. Program strategis PLTS 100 GW adalah jawaban konkret untuk memastikan bahwa Indonesia tidak lagi bergantung pada impor energi, sekaligus membuka jalan menuju kedaulatan energi yang berkeadilan. Dengan langkah berani ini, pemerintah sedang menyiapkan fondasi masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
)* Penulis merupakan Pengamat Kebijakan Pemerintah