Proses Hukum Tom Lembong Tak Bisa Diintervensi Oleh Pihak Manapun

-

Proses Hukum Tom Lembong Tak Bisa Diintervensi Oleh Pihak Manapun

Oleh: Yusuf Ananta

Putusan majelis hakim terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong menjadi sorotan tajam berbagai kalangan. Namun demikian, penting untuk dipahami bahwa proses hukum yang melibatkan Lembong telah berjalan secara sah, terbuka, dan tidak bisa ditekan oleh siapa pun. Vonis 4,5 tahun penjara yang dijatuhkan kepada Lembong merupakan hasil dari proses panjang. Tidak ada satu tahapan pun yang dilalui secara tergesa. Penyidik, jaksa, hingga hakim bekerja dalam kerangka hukum yang jelas dan dapat diuji secara terbuka.

 

 

 

Kejaksaan Agung menyatakan tetap menghormati putusan yang dijatuhkan majelis hakim, meskipun vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan awal selama tujuh tahun penjara. Pihak kejaksaan pun menyatakan tengah mempertimbangkan langkah hukum berikutnya sesuai mekanisme yang berlaku. Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak melakukan intervensi. Juru Bicara PN Jakarta Pusat, Andi Saputra menyebutkan bahwa keputusan majelis hakim murni berdasar fakta hukum di persidangan, tidak ada tekanan kepada penegak dan tidak dipengaruhi faktor politik atau tekanan luar.

 

 

 

Andi juga mengingatkan masyarakat agar tidak membangun opini prematur. Menurutnya, putusan perlu dibaca secara utuh agar masyarakat dapat memahami alasan yuridis majelis hakim dalam mengambil keputusan. Ia juga menilai bahwa kritik terhadap pengadilan merupakan hal wajar dalam negara demokrasi, namun tetap harus disertai pemahaman yang adil terhadap isi putusan. Dalam perkara ini, Lembong dijatuhi hukuman pidana karena terbukti menerbitkan surat persetujuan impor gula kristal mentah kepada sepuluh perusahaan tanpa rekomendasi teknis dari kementerian terkait. Lembong juga dinilai melanggar prosedur koordinasi lintas kementerian dan menyebabkan kerugian negara hingga Rp194,72 miliar.

 

 

 

Lembong juga dijatuhi denda Rp750 juta dengan subsider enam bulan kurungan jika denda tersebut tidak dibayarkan. Ia dinyatakan melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, meskipun dalam amar putusan disebutkan tidak ditemukan mens rea secara eksplisit. Sorotan terkait ketiadaan niat jahat dalam kasus ini menjadi bahan perdebatan. Namun mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun menegaskan bahwa tanggung jawab hukum tidak harus bergantung pada niat jahat semata. Ia menyampaikan bahwa dalam hukum, kelalaian yang menimbulkan kerugian juga bisa dikenai pidana.

 

 

 

Gayus mencontohkan situasi kecelakaan lalu lintas sebagai analogi. Ketika seseorang menyebabkan kematian karena kelalaian, hukum tetap berlaku meski tidak ada niat untuk membunuh. Menurutnya, aspek tanggung jawab tidak hanya ditentukan dari kesengajaan, tetapi juga akibat dari tindakan yang dilakukan.

 

 

 

Dari perspektif akademis, Direktur Eksekutif LEMKAPI, Edi Saputra Hasibuan, menyatakan bahwa vonis ini adalah hasil dari mekanisme hukum yang panjang. Ia menjelaskan bahwa perkara ini telah melalui proses penyelidikan, penyidikan, dan persidangan terbuka dengan pembuktian yang lengkap. Edi membantah anggapan bahwa kasus ini sarat muatan politik atau kriminalisasi. Ia menilai tuduhan semacam itu justru melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.

 

 

 

Sebagai pengamat hukum, Edi mengingatkan bahwa independensi lembaga peradilan adalah pilar utama demokrasi. Ia menyerukan masyarakat untuk tidak terbawa narasi yang keliru dan tetap menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Menurutnya, putusan majelis hakim berdiri di atas fakta hukum, bukan opini atau tekanan eksternal.

 

 

 

Penting untuk ditegaskan bahwa pemerintah melalui aparat hukumnya bertindak sesuai jalur konstitusional. Tidak ada ruang bagi intervensi pribadi maupun tekanan politik dalam setiap tahapannya. Baik kejaksaan, pengadilan, maupun aparat lainnya telah menunjukkan sikap profesional dalam menangani perkara ini.

 

 

 

Kasus Lembong bukan semata soal sosok pejabat, tetapi tentang penegakan hukum yang tidak pandang bulu. Meskipun menjabat pada posisi tinggi di masa lalu, hal tersebut tidak menghapus tanggung jawab hukum yang harus dihadapi ketika terjadi pelanggaran. Penanganan kasus ini membuktikan bahwa sistem hukum di Indonesia masih bekerja sesuai koridor. Semua pihak diberikan ruang untuk membela diri, mengajukan bukti, dan menyampaikan argumentasi dalam forum terbuka. Langkah banding pun tetap tersedia sebagai bagian dari hak terdakwa. Hal ini menunjukkan bahwa sistem peradilan Indonesia tidak tertutup bagi evaluasi. Justru terbuka terhadap koreksi hukum melalui mekanisme yang sah.

 

 

 

Pemerintah terus menjaga agar proses hukum berjalan tanpa intervensi. Dukungan terhadap institusi hukum menjadi bentuk komitmen terhadap prinsip keadilan yang independen. Dalam konteks ini, masyarakat diimbau untuk ikut menjaga marwah peradilan dan tidak mengganggu jalannya proses dengan asumsi-asumsi sepihak. Proses hukum Lembong adalah pengingat bahwa siapa pun, tanpa kecuali, dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. Ini adalah bukti nyata bahwa supremasi hukum ditegakkan, bukan semata slogan.

 

 

 

Proses hukum terhadap Lembong juga memperlihatkan pentingnya literasi hukum di tengah masyarakat. Pemahaman publik terhadap alur penegakan hukum perlu terus ditingkatkan agar tidak mudah termakan oleh narasi spekulatif yang berpotensi memecah kepercayaan terhadap institusi yudikatif. Semua pihak, baik individu maupun kelompok politik, sebaiknya tidak menjadikan perkara ini sebagai komoditas politik atau alat menyerang pribadi. Penegakan hukum yang adil harus dipisahkan dari kepentingan politik, karena integritas lembaga hukum adalah fondasi dari negara yang demokratis. Oleh karena itu, menjaga kredibilitas proses hukum menjadi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa.

 

 

 

)* Pengamat kebijakan publik

Related Stories