Provokasi Mengintai Aksi ‘Indonesia Cemas’, Publik Diminta Waspada
Oleh: Andi Ramli
Rencana aksi demonstrasi bertajuk “Indonesia Cemas” mendapat perhatian serius dari pemerintah maupun pengamat. Aksi ini dinilai rawan disusupi kelompok-kelompok berkepentingan yang bisa mengubah jalannya demonstrasi menjadi ajang provokasi dan anarkisme. Peringatan keras pun disampaikan kepada masyarakat agar tidak terjebak dalam skenario pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan dari kericuhan.
Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo, menegaskan bahwa demonstrasi adalah hak setiap warga negara yang dijamin undang-undang. Namun, ia mengingatkan bahwa kebebasan itu tidak berarti bebas melakukan apa saja, terlebih sampai menimbulkan kekerasan. Menurutnya, masyarakat, khususnya generasi muda, harus sadar bahwa aksi yang dilakukan secara anarkis hanya akan merusak citra perjuangan dan menimbulkan kerugian yang lebih besar. Ia menekankan bahwa aspirasi akan lebih didengar jika disampaikan dengan cara damai dan santun.
Dito juga menegaskan bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sama sekali tidak pernah melarang masyarakat untuk menyampaikan pendapat. Pemerintah, kata dia, sangat menghormati kebebasan berekspresi. Namun, ia mengingatkan bahwa provokasi kerap dijadikan alat oleh kelompok tertentu untuk menciptakan kerusuhan, sehingga masyarakat harus waspada.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Beberapa aksi sebelumnya sudah menunjukkan bagaimana demonstrasi bisa berubah menjadi ajang kekacauan. Pengamat politik dari Mimbar Peradaban Indonesia, Andi Muslimin, menyoroti keterlibatan pelajar STM yang justru tidak memahami substansi isu yang diangkat. Ia menilai para pelajar itu lebih terjebak pada aksi-aksi anarkis ketimbang fokus pada tuntutan. Kondisi inilah, menurutnya, yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan untuk mencari keuntungan politik di tengah kekacauan.
Pernyataan itu diperkuat oleh Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie, yang menekankan bahwa demonstrasi rawan menjadi alat provokasi. Menurutnya, dialog adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah. Jika aspirasi disampaikan melalui ruang diskusi yang sehat, substansi tuntutan bisa diterima tanpa perlu ada korban atau kerugian publik. Sebaliknya, jika aksi massa berubah ricuh, maka yang tersisa hanya kerusakan dan kekecewaan masyarakat.
Sejauh ini, demonstrasi dengan nuansa provokatif terbukti lebih banyak menimbulkan kerugian ketimbang manfaat. Aksi ricuh bukan hanya mengganggu ketertiban umum, tetapi juga merusak fasilitas publik dan mencoreng wajah demokrasi. Karena itu, peringatan tegas disampaikan kepada masyarakat agar tidak mudah terbawa arus. Ajakan turun ke jalan harus dicermati, sebab di baliknya bisa saja ada agenda terselubung yang merugikan kepentingan rakyat.
Pemerintah sendiri sudah menunjukkan bahwa aspirasi masyarakat mendapat respons nyata. Salah satu isu besar yang kerap disuarakan dalam demonstrasi adalah pemberantasan korupsi. Untuk menjawab hal tersebut, pemerintah telah merampungkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Anggota DPR, Supratman, mengungkapkan bahwa naskah RUU tersebut sudah selesai dan kini tinggal menunggu konsolidasi antarfraksi di parlemen. Presiden Prabowo bahkan sudah menggelar pertemuan dengan para ketua umum partai politik untuk mempercepat pembahasan rancangan tersebut.
Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, juga menegaskan bahwa mekanisme di DPR memungkinkan RUU Perampasan Aset segera dimasukkan dalam daftar prioritas tahunan. Menurutnya, jika ada persetujuan dari fraksi-fraksi, rancangan itu bisa langsung diputuskan sebagai prioritas. Ia melihat urgensi RUU ini sangat tinggi karena dapat memperkuat agenda pemberantasan korupsi.
Langkah pemerintah tersebut memperlihatkan bahwa aspirasi publik tidak diabaikan. Artinya, masyarakat tidak perlu menempuh jalur anarkis untuk didengar. Justru dengan menjaga aksi tetap damai, ruang komunikasi dengan pemerintah akan tetap terbuka. Sebaliknya, jika demonstrasi dipenuhi provokasi, substansi tuntutan akan tenggelam dan yang tersisa hanyalah kerusuhan.
Pesan penting ini sangat relevan untuk masyarakat, terutama kalangan muda. Generasi muda diingatkan agar tidak terjebak dalam pola provokasi yang sering dimainkan oleh kelompok berkepentingan. Tindakan anarkis bukan hanya merusak masa depan bangsa, tetapi juga bisa merugikan diri sendiri. Aspirasi yang disampaikan secara santun dan damai akan lebih dihargai dan berpotensi membawa perubahan nyata.
Dalam konteks demokrasi, menyampaikan pendapat adalah bagian dari hak rakyat. Namun, hak itu harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Masyarakat harus sadar bahwa selalu ada pihak yang ingin menunggangi aksi untuk kepentingan politik jangka pendek. Karena itu, kewaspadaan harus diutamakan. Jangan sampai demo dengan niat baik justru berubah menjadi kerusuhan yang menodai demokrasi.
Pada akhirnya, semua pihak sepakat bahwa jalan terbaik adalah dialog. Pemerintah telah membuka pintu komunikasi, sebagaimana terlihat dari keseriusan dalam merespons isu-isu publik, termasuk pemberantasan korupsi melalui RUU Perampasan Aset. Masyarakat pun diajak untuk menyalurkan aspirasinya dengan cara damai dan bermartabat.
Oleh karena itu, menghadapi rencana demonstrasi “Indonesia Cemas”, masyarakat perlu lebih waspada. Jangan terprovokasi, jangan biarkan aksi disusupi, dan jangan biarkan demokrasi dirusak oleh kepentingan yang tidak bertanggung jawab. Aspirasi rakyat akan lebih kuat jika disampaikan dengan damai, bukan dengan kerusuhan.
Analis Politik Nasional –