Publik Diimbau Tidak Terpancing Narasi Provokatif Soal Gelar Pahlawan Soeharto

-

Publik Diimbau Tidak Terpancing Narasi Provokatif Soal Gelar Pahlawan Soeharto

Oleh: Dhita Karuniawati

Perdebatan mengenai pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, mencuat ke ruang publik dan menimbulkan berbagai reaksi. Perbedaan pandangan baik pro maupun kontra sebenarnya merupakan hal wajar dalam kehidupan demokrasi. Namun, meningkatnya narasi provokatif, misinformasi, serta ajakan-ajakan yang memanfaatkan isu tersebut untuk memecah belah masyarakat menjadi perhatian serius. Karena itu, berbagai kalangan mengimbau masyarakat agar tidak mudah terpancing, tetap kritis, dan mengedepankan dialog berbasis data serta hukum yang berlaku.

 

Isu gelar pahlawan bagi Soeharto telah menjadi topik sensitif sejak lama. Di satu sisi, ada kelompok yang menilai Soeharto berjasa besar terhadap pembangunan ekonomi, stabilitas nasional, dan program strategis yang membawa perubahan signifikan bagi Indonesia selama masa pemerintahannya. Di sisi lain, terdapat pihak yang menolak keras dengan alasan adanya berbagai catatan sejarah seperti pelanggaran HAM, pembungkaman kebebasan pers, serta tragedi-tragedi besar pada masa Orde Baru.

 

Perbedaan posisi tersebut tidak bisa dinafikan. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa perdebatan ini sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, termasuk aktor politik maupun simpatisan yang ingin menciptakan kegaduhan dan polarisasi. Narasi provokatif yang beredar di media sosial dapat memicu kebencian, memperkeruh suasana, dan mengganggu stabilitas sosial. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk menjaga ketenangan, tidak langsung mempercayai narasi yang belum terverifikasi, serta menghindari membagikan konten provokatif yang dapat memperburuk keadaan.

 

Direktur Citra Institute, Yusak Farhan mengatakan, jika masih saja ada pihak yang melakukan penolakan terhadap gelar Pahlawan Nasional terhadap Soeharto, maka justru mereka berlaku secara tidak adil karena mengabaikan kontribusi besar pembangunan Soeharto. Menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional tidak berarti menghilangkan nalar kritis kita terhadap kepemimpinan Soeharto.

 

Menurut Yusak, fondasi ekonomi yang dibangun melalui Repelita menjadi bukti nyata pengabdian panjang Soeharto. Yusak juga menekankan pentingnya kedewasaan bangsa dalam menyikapi sejarah. Kalau kita ribut dan dendam terus atas masa lalu, sampai kapan bangsa kita bisa menjadi dewasa. Kita harus bisa menempatkan sejarah secara adil.

 

Yusak kemudian menegaskan bahwa usulan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto telah melalui proses panjang sejak era Presiden SBY. Dukungan akademisi turut menguatkan anggapan bahwa gelar tersebut pantas diberikan.

 

Sementara Praktisi Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes), M. Azil Masykur SH MH, mengatakan, pemberian gelar pahlawan tahun 2025 terhadap Soeharto telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam UU nomor 20 tahun 2009  tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2010.

 

Menurut Azil, semua pihak harus memandang bahwa pro dan kontra merupakan upaya rekonsiliasi, sehingga ke depan dapat lebih dewasa dalam menghadapi perbedaan pendapat dan perbedaan perspektif antar anak bangsa. Pihak yang berseberangan bisa mengambil langkah hukum judicial review jika tidak sepakat syarat-syarat diatur dalam UU.

 

Di era digital, informasi menyebar dengan sangat cepat. Ketika isu seperti gelar pahlawan untuk Soeharto muncul, ruang publik langsung dibanjiri opini yang sering kali tidak berdasarkan data, bahkan disertai manipulasi fakta. Jika dibiarkan, narasi seperti ini dapat memicu konflik horizontal, memperkuat polarisasi sosial, dan merusak kualitas deliberasi publik mengenai isu sejarah dan kebangsaan.

 

Menanggapi hal tersebut, Ketua PW GP Ansor Jawa Tengah, DR. M. Shidqon Prabowo SH. MH. mengatakan, kader GP Ansor harus ikut menjaga stabilitas sosial terhadap keputusan pemerintah dalam pemberian gelar pahlawan ke sejumlah tokoh.

 

Shidqon mengatakan pihaknya ingin kader GP Ansor harus ikut menjaga stabilitas sosial dan narasi kebangsaan menyikapi keputusan pemerintah dalam pemberian gelar pahlawan nasional ke sejumlah tokoh, termasuk Soeharto. GP Ansor dapat mengambil posisi sebagai penyejuk, mengajak masyarakat menahan diri, tidak terprovokasi, dan tetap menjaga persatuan. Gelar pahlawan tidak boleh menjadi sumber konflik horizontal.

 

Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa isu-isu yang bersentuhan dengan memori kolektif bangsa sangat mudah dieksploitasi. Pada beberapa periode sebelumnya, polarisasi politik dan konflik sosial kerap diperparah oleh informasi yang tidak akurat atau sengaja dipelintir. Karena itu, literasi digital dan kemampuan berpikir kritis menjadi modal penting bagi masyarakat agar tidak terjebak dalam upaya provokasi.

 

Selain itu, sejarah bangsa adalah rangkaian peristiwa yang kompleks. Tidak ada tokoh yang sepenuhnya tanpa cacat, sebagaimana tidak semua kebijakan masa lalu sepenuhnya salah atau benar. Pendekatan hitam-putih justru mempersempit ruang dialog dan menghambat pemahaman utuh tentang perjalanan bangsa.

 

Pemberian gelar pahlawan nasional, apalagi kepada tokoh yang memiliki pengaruh besar seperti Soeharto, adalah isu yang tidak sederhana. Namun, pemerintah memastikan pembahasan tersebut dilakukan dengan hati-hati dan objektif sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk itu, masyarakat jangan sampai terjebak pada narasi provokatif yang justru memperuncing perbedaan.

 

Masyarakat diharapkan tetap tenang, cermat dalam menerima informasi, serta mengedepankan semangat persatuan. Sejarah bangsa adalah milik bersama, dan pengelolaannya membutuhkan kedewasaan publik. Menghormati perbedaan pandangan sambil menjaga akal sehat adalah cara terbaik untuk memastikan demokrasi tetap kuat dan ruang publik tetap produktif.

 

*) Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia

 

Related Stories