Radikalisme Berpotensi Memicu Konflik Sosial dan Disintegrasi Bangsa
Oleh : Abdul Razak
Radikalisme adalah paham terlarang di Indonesia karena bisa meretakkan fondasi bangsa dan negara sekaligus berpotensi memunculkan konflik sosial. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya memberantas radikalisme agar tidak makin menyebar dan memicu disintegrasi bangsa.
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, para pendiri bangsa sudah sepakat untuk menggunakan Pancasila sebagai dasar negara. Inti dari Pancasila adalah toleransi, karena Indonesia terdiri dari keberagaman.
Jika radikalisme masih bercokol maka akan merusak fondasi bangsa karena ia akan menggusur posisi Pancasila. Paham radikal bisa berpotensi memunculkan konflik sosial di negeri ini.
Oleh karena itu radikalisme ditolak keras di seluruh Indonesia. Paham ini terlarang karena bisa merusak fondasi bangsa dan negara. Jika radikalisme masih bercokol maka akan merusak fondasi bangsa karena ia akan menggusur posisi Pancasila.
Anggota Komisi VIII DPR Maman Imanulhaq menyatakan bahwa pencegahan penyebaran paham yang berpotensi menimbulkan konflik sosial dan bertentangan nilai kebudayaan dan keragaman bangsa harus dilakukan. Kelompok radikal memiliki karakteristik penting yaitu klaim kebenaran tunggal dan mudah menyalahkan orang lain. Mereka jadi duri dan bencana bagi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
Dalam artian, paham radikal berbahaya karena merasa dirinya yang paling benar dan tidak bisa menerima perbedaan di masyarakat. Padahal Indonesia adalah negara yang terdiri dari suku dan keyakinan yang berbeda-beda, dan berprinsip Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi satu jua.
Jika ada kelompok yang menyalahkan perbedaan maka tak bisa diterima di Indonesia. Negeri ini adalah negara pluralis dan menerima 6 keyakinan yang berbeda-beda. Indonesia bukanlah negara yang hanya menerima 1 keyakinan saja seperti di tempat lain.
Namun anehnya kelompok radikal marah karena Indonesia dinilai tak pantas menjadi negara pluralis. Mereka tak punya andil apa-apa di era pra kemerdekaan. Namun seenaknya sendiri ingin mengubah negeri ini menjadi khilafah yang menurutnya paling benar, padahal tak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang multi-kultural.
Untuk mempengaruhi rakyat Indonesia maka kelompok radikal sengaja memunculkan konflik sosial, dengan tujuan memecah-belah masyarakat. Jika mereka sudah terpengaruh maka akan mudah direkrut untuk menjadi kader baru, minimal menjadi simpatisan. Hal ini sangat berbahaya karena bisa menyuburkan radikalisme di Indonesia.
Masyarakat diminta untuk makin waspada akan kelompok radikal yang mengadu domba dan dengan sengaja memantik konflik sosial. Tetaplah tenang dan tidak terpengaruh oleh provokasi mereka. Jangan mudah untuk percaya suatu berita, apalagi yang hanya di-share di media sosial, karena bisa jadi hoaks atau trik click-bait semata.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI Taufiq R Abdullah menyatakan bahwa wajib ada peningkatan kewaspadaan terhadap penyebaran paham radikal di media sosial. Para penyeru radikalisme saat ini seolah paham jika media sosial menjadi media paling efektif untuk mempengaruhi generasi muda.
Taufiq menambahkan, penyebaran radikalisme dilakukan sangat masif di media sosial dan pengaruhnya luar biasa, terutama bagi anak-anak muda. Mereka (anak SMP dan SMA) sangat rentan karena sedang masa pencarian jati diri.
Dalam artian, radikalisme harus makin diwaspadai karena anak muda saat ini banyak yang memiliki HP sendiri dan aktif di media sosial. Jangan sampai mereka salah arah dan terpengaruh oleh radikalisme karena terpapar oleh beragam konten radikal yang sengaja disebarkan di media sosial.
Konten-konten radikal sangat banyak di media sosial, terutama di Instagram. Bahkan ada tanda pagar (hashtag) khusus yang dibuat oleh mereka, tujuannya untuk memudahkan pencarian. Hal ini harus diwaspadai karena bisa meracuni pikiran anak-anak muda yang masih agak labil.
Konten radikal menjamur karena saat ini terjadi kebebasan yang kebablasan, sehingga takut Indonesia bergeser dari demokrasi ke liberal. Ketika gerbang reformasi dibuka tahun 1998, masyarakat euforia dan bebas berpendapat, karena selama 32 tahun dibungkam oleh Orde Baru. Namun kebebasan ini berubah jadi mengerikan karena terlalu bebas dalam mengungkapkan ujaran kebencian dan radikalisme di media sosial.
Jangan sampai internet berubah fungsi, dari yang awalnya untuk menambah ilmu pengetahuan dan networking bisnis, malah menjadi ajang penyebaran hoaks dan konten radikalisme. Ketika anak-anak muda nyaris kecanduan internet dan membuka media sosial tiap hari, maka mereka harus dibekali dengan literasi digital. Tujuannya agar selamat dari bujukan kelompok radikal.
Masyarakat wajib menolak paham radikal karena berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan sampai Indonesia hancur gara-gara ulah kelompok radikal dan teroris. Oleh karena itu semua WNI harus menolak paham radikal yang berpotensi memunculkan konflik sosial dan membuat kekacauan di tengah masyarakat.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Insitute