Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah mengingatkan penyelenggara pemilu untuk tidak menggelar pilkada ulang tahun depan jika kotak kosong menang. Hal tersebut jelas dikarenakan kesepakatan antara komisi II dengan penyelenggara pemilu melanggar norma yang sudah ditetapkan dalam UU Pilkada, yakni norma keserentakan.
Hal tersebut ditegaskan Ramdansyah saat dialog interaktif di Radio Elshinta Rabu malam (11/9/2024).
“Pelanggaran normanya apa? Betul bahwa bunyi aturan atau Undang-Undang Pemilu menyatakan bahwa pasal 54D, dapat diulang kembali pada tahun berikutnya. Tetapi pasal ada sebelum ada keserentakan (pilkada serentak) yang final di 2024. Keserentakan itukan perintah Konstitusi perintah MK, bahwa berakhir pada 2024 sekarang in. Sejak tahun ini Pilkada harus serentak,” ujar Ramdansyah.
“Artinya kalau 27 November 2024 merupakan batas waktu dan ini sudah disebutkan di pasal 201 butir (8) dari UU nomor 10 tahun 2016. Diingatkan seperti itu, artinya apa? Artinya setelah 2024, maka norma keserentakan itu harus dijalankan. Kalau ada yang menang calon tunggal, memang harus pilkada ulangnya harus di tahun 2029,” imbuh Mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta.
Seperti diketahui, Selasa, 10/09/2024 diadakan Rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR RI dengan Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum RI, Badan Pengawas Pemilu RI dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI menyepakati bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) ulang pada 2025 bila kotak kosong menang melawan calon tunggal.
Adapun Komisi Pemilihan Umum mencatat ada 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah atau calon tunggal pada Pilkada 2024 berdasarkan data per Rabu (4/9) pukul 23.59 WIB. 41 daerah itu terdiri atas 1 provinsi, 35 kabupaten dan 5 kota.
Lebih lanjut Ramdansyah mengatakan jika kotak kosong menang dan pilkada ulang dilakukan tahun depan, itu bisa saja dilakukan caranya dibuatlah Peraturan Pengganti Undang-Undang atau Perppu.
“Kalau nanti dilantik presiden terpilih, Prabowo-Gibran, yah tinggal dibuat Perpu saja kalau mau dilakukan tahun depan (jika kotak kosong menang). Tentunya dengan alasan adanya kegentingan yang memaksa,” ujarnya.
“Tetapi saya berharap jangan pada masa katakanlah saat ini, tetapi setelah dilantiknya DPR RI terpilih, mereka akan merapihkan kembali Undang-Undang Pilkada, karena banyak ketentuan yang perlu diperbaiki di sana sini. Itu perlu direvisi. Kemudian di Undang-Undang Pilkada baru perlu menyebutkan terkait dengan keredaan keserentakan Pilkada 2029, tetapi khusus 41 daerah yang berdasarkan kotak kosong, jika ada pemenang kotak kosong itu pilkada ulang bisa dilakukan di 2025. Itu sebagai pengecualian” imbuh Ramdansyah.
Atau misalnya kata Ramdansyah ada gugatan uji materi yang ia lakukan di Mahkamah Konstitusi berhasil dimenangkan. Maka daerah suara kosong yang menang di luar 41 daerah, bisa dilakukan Pilkada di 2025.
“Artinya tidak bisa merubah Undang-Undang Pilkada sekarang ini dengan melalui kesimpulan atau kesepakatan antara komisi II dengan penyelenggara pemilu,” ujar Ramdansyah.
Karena jelas Ramdansyah, ada asas hukum yang berbunyi Lex posterior derogat legi priori atau asas penafsiran hukum bahwa hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex prior). Keserentakan sebagai norma baru tentunya mengesampingkan produk hukum yang tidak serentak. Sehingga kesepakatan hasil RDP Komisi II DPR RI dengan penyelenggara Pemilu/Pilkada tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan hukum.
“Nah inikan muncul dalam norma yang kemarin. Bahwa keserentakan dimulai tahun 2024. Itu kan norma yang menjadi perintah undang-undang. Pasal 54 D ayat (1) sd (6) mengatur Pilkada serentak di tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020. Pada akhirnya Pasal 54D ayat (8) mengatur norma keserentakan dalam Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati di tahun 2024. Karena norma hukumnya sesuatu yang baru itu akan mengesampingkan produk hukum yang sebelumnya,” beber Ramdansyah.
“Jadi menurut saya kesimpulan rapat di DPR hari selasa 10/09/2024 harus diingatkan adanya pelanggaran terhadap norma. Keserentakan yang menjadi norma dalam UU Pilkada akan bubar, karena kesepakatan antara komisi II dengan penyelenggara pemilu. Itu harus hati-hati karena sebelum menjadi sebuah produk perundangan. Ini letaknya dimana yang kesepakatan antara komisi II dengan penyelenggara. Itu kan dibawah undang-undang dan tidak bisa dijalankan kalau melanggar undang-undang,” imbuhnya.
Lebih lanjut Ramdansyah mengatakan, dinamika pilkada serentak sangat seru disimak.
“Dari sisi partai politik yang menampilkan ‘wajah’ oligarki kemudian lebih menyerahkan kepada ketua umum, elit partai. Kedua masyarakat merasa menolak yang namanya demokrasi seolah-olah milik partai, ketua umum partai. Sehingga kemudian ketika calon yang diusung oleh partai politik tidak menyerap aspirasi publik akhirnya banyak orang melakukan protes. Yang kemudian sekarang mulai bunyi coblos semuanya, coblos tiga pasangan, empat pasangan dan seterusnya,” jelas Ramdansyah.
Munculnya fenomena kotak kosong jelas dia, tidak mencerminkan demokrasi.
Ini jelas Ramdansyah menjadi pelajaran buat DPR juga buat partai politik. Kalau tidak mau kotak kosong yang muncul sampai 41 daerah.
Partai politik, harusnya sebagai lembaga politik formal yang terdiri dari tingkat ranting, cabang, kota kabupaten, provinsi dan sampai ketingkat nasional, punya banyak kader yang diusung.
“Tetapi kemudian hari ini yang saya lihat usulan dari wilayah, terkait bupati atau walikota, sampai kemudian dibawa ke tingkat pusat, yang akhirnya memutuskan adalah ketua umum. Padahal partai politik inikan milik bersama. Ini aspirasi publik, aspirasi masyarakat. Jadi kalau partai politik tidak serius mengakomodir keinginan masyarakat, berdasarkan hasil survei, berdasarkan keinginan DPC atau unit dibawahnya, yang kemudian hasilnya akan seperti ini. Muncul kotak kosong yang menjadi bentuk protes. Bahkan masyarakat berkampanye untuk kosong kosong, bahkan kotak kosong menjadi pemenang,” beber Ramdansyah.
Hal Ini kata dia adalah protes bahwa masyarakat tidak setuju dengan keinginan partai politik dan kemudian kartel politik, atau kemudian ketua umum yang kemudian menjadi kekuatan sendiri, dinasti sendiri. Padahal partai politik itu menjadi saluran aspirasi masyarakat.
“Tetapi kalau ujung-ujungnya ketua umum, yah sulit juga aspirasi masyarakat dibawa.
Yang pada akhirnya orang yang diusung yang punya kedekatan dengan ketua umum atau dengan elit tertinggi partai” jelas Ramdansyah.
Penyebab kotak kosong, menurutnya karena ada ketidakinginan atau oposisi.
“Katakanlah bahwa cara berpikir bahwa demokrasi itu harus kemudian tunggal atau mono. Itu salah menurut saya. Jadi elit politik yang kemudian katakanlah pemenang Pemilu itu tidak berharap adanya oposisi mereka ingin merangkul semuanya, masuk dalam satu gerbong yang sama. Demokrasi itu adalah pluraliitas. Ketika demokrasi dianggap harus seragam, maka itu bukan demokrasi. Tidak harus satu arah, harus dua arah dan plural. Karenanya mau mendengarkan pihak-pihak lain yang berbeda pandangan, maka itulah demokrasi,” ujar Ramdansyah.
“Demokrasi itu harus ada check and balance. Maka kemudian ada ekskutif, legislatif dan yudikatif. Dan legislatif dari partai yang berbeda-beda, kepala daerah juga bisa diusung oleh partai politik yang berbeda. Ini tentu saja memberikan warna demokrasi. Ada perbedaan pandangan cara untuk mencapai tujuan yang sama. Tools atau alatnya boleh jadi berbeda. Selama tujuan yang diinginkan berlandaskan Pancasila itu tidak menjadi persoalan. Artinya tujuan nya sama mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Tetapi toolsnya berbeda-beda. Maka itu sah,” imbuh Ramdansyah.
Tetapi kemudian untuk berbeda pandangan atau melakukan kritik itu sudah ditangkap atau disingkirkan atau dikucilkan menurut Ramdansyah, justru dalam demokrasi atau pilkada itu tidak boleh.
“Ini menjadi racun demokrasi, bukan sesuatu yang kemudian memuliakan demokrasi atau kita akan menuju masyarakat demokrasi. Kita tidak akan sampai. Kita akan tetap pada masa transisi demokrasi,” tuntas Ramdansyah.