Ramdansyah: Pilgub Jakarta Satu atau Dua Putaran, Semua Harus Bersabar Tunggu Hasil Resmi KPU

-

Saling klaim terjadi usai pencoblosan Pilgub Jakarta 2024. Apakah satu atau dua putaran. Kondisi ini membuat warga Jakarta menjadi bingung. Setelah sebelumnya juga disuguhi hasil quick count yang berbeda antara lembaga survei, meskipun dengan selisih prosentase yang tipis.

Terkait kondisi tersebut, Kabid Kepemiluan Majelis Nasional KAHMI Ramdansyah mengatakan apa yang terjadi di Jakarta, usai pencoblosan harus menjadi perhatian semua pihak. Menurutnya, pendidikan politik itu tidak semata-mata pendidikan untuk membuat orang pergi ke TPS, tetapi juga melihat data-data hasil perolehan suara di TPS.

Hal tersebut disampaikan Ramdansyah, saat dialog interaktif di Radio Elshinta bertajuk, ‘Saling Klaim Hasil Sementara Pilkada Jakarta Berlangsung Satu dan dua Putaran, Apa yang Harus Dilakukan untuk Menengahinya, Jumat dini hari (29/11/2024).

“Masyarakat juga harus diberikan literasi terkait bagaimana kalau Pemilu dihitung dengan sistem quick count lembaga survei hari ini. Tidak ada kata lain, maka kita semua harus bersabar. Menunggu hasil keputusan resmi dari KPU yang berjenjang. Jadi sekali lagi pendidikan politik tidak hanya kemudian pergi ke TPS, mendapatkan informasi cukup. Tetapi juga pasca penghitungan itu juga harus diberikan pendidikan politik. Kita harus menunggu semua hasil yang berdasarkan lembaga yang punya otoritas dalam hal ini KPU,” tegas Ramdansyah.

Seperti diketahui, Tim Paslon Paslon nomor urut 3, Pramono Anung-Rano Karno, sudah mendeklarasikan kemenangannya di Pilkada Jakarta 2024.

Sebaliknya, Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad meyakini Pilkada Jakarta 2024 berlangsung dua putaran. Dasco mengatakan, perkiraan itu berdasarkan hasil penghitungan yang dilakukan oleh internal Koalisi Indonesia Maju (KIM Plus). Diketahui, Gerindra tergabung dalam KIM Plus mengusung Ridwan-Suswono.

Perbedaan hasil quick count Pilgub Jakarta, juga terjadi diantara lembaga survei.

“Dari lembaga survei yang melakukan quick count hanya satu yang menurut saya bahwa lembaga survei Indikator yang agak berbeda sedikit yang lainnya seperti Charta Politika atau LSI, SMRC. Tapi itu masih dalam ambang batas atau margin error. Lembaga-lembaga survei Itu sudah mempublikasi bahwa hasil prosentase perolehan nomor urut tiga. Mayoritas diatas 50 persen lebih sedikit. Nah itu ada 50,08 persen, 50,1 atau 50,15. Hanya Indikator Politik yang agak berbeda sedikit,” ujar Ramdansyah yang pernah menjabat sebagai Ketua Panwaslu DKI Jakarta.

“Tentu saja ini memunculkan pertanyaannya berapa sih yang namanya margin error atau ambang batas ideal?. Nah, dari sini bisa kita lihat disclaimer ambang batas yang sudah ditentukan diatas 1 dan dibawah 2 persen. Ini artinya tingkat kesalahan penghitungan dianggap antara 1 sd 2 persen sesuai pengakuan tingkat kesalahan survei yang dilakukan. Artinya kalau hasilnya 50,1 maka dengan tingkat kesalahan yang diakui katakanlah 2 yah kita cari yang mudahnya 2 persen maka sebenarnya dia memperoleh suara dengan ambang bawah 48,1 dan batas atasnya bisa 52,1%. Disini tentu saja semua atau beberapa lembaga survei ini tidak berani klaim untuk menentukan pemenang, karena Jakarta berbeda dengan daerah lain. Pemenang selain berdasarkan nomor urut suara terbanyak, tetapi juga harus dilengkapi dengan jumlah hasil suara di atas 50% plus 1,” imbuh Ramdansyah yang juga menjabat sebagai Pjs Ketua Umum PB HMI menggantikan Anas Urbaningrum di masa mudanya.

Ramdansyah kemudian menjelaskan, kenapa tidak ada lembaga survei yang mengklaim Pilgub Jakarta sudah selesai. Karena kata dia, margin errornya ini kan mendekati diangka 50 persen tadi. Jadi bisa kebawah bisa juga keatas.

“Yang kedua, inikan metodenya bukan real count seperti yang dilakukan KPU. Nah kalau KPU kan jelas dari data C hasil yang kemudian direkap berjenjang. Jadi kita harus tunggu hasil final KPU nanti tapi menunggu pada 15 Desember 2024. Penghitungan manual berjenjang dari tingkat TPS kemudian kecamatan kabupaten kota lalu baru provinsi. Tentu saja pemilik otoritas untuk menyatakan 100 persen dari C hasil itu adalah KPU,” beber Ramdansyah.

“Ketiga, saya mau menyatakan bahwa kalau dari internal partai itu ada beberapa yang menegasikan prosentase lawan di bawah 50 persen. Ya, kalau internal tim pasangan calon sah-sah saja untuk menyatakan kepada publik belum sampai 50 persen untuk lawan. Tetapi tentu saja klaim seperti ini lebih kepada psywar atau tanda kutip propaganda. Ini peringatan agar yang menang menang versi quick count jangan euforia dulu. Karena ini internal partai kan bisa saja salim klaim, bahwa bisa saja putaran kedua nantinya atau sebaliknya. Jadi, kita tunggu saja hasil perhitungan dari KPU,” imbuh Ramdansyah.

Kecuali, jelas Ramdansyah, Bawaslu yang memiliki keseluruhan data C hasil yang diperoleh dari para pengawas TPS yang diwajibkan mendapatkan data C hasil di TPS dari petugas KPPS. Data itu pada tanggal 27 November itu dibawa ke kantor Bawaslu di input dijadikan data pembanding. Sebenarnya dengan data itu yang kemudian diolah oleh Bawaslu sudah dipastikan siapa pemenangnya, tetapi Bawaslu tidak boleh untuk menyampaikan kepada publik.

“Tetapi hanya untuk pembanding penghitungan di tingkat kecamatan kemudian kabupaten kota dan provinsi,” ujarnya.

Terkait margin error yang banyak menjadi pertanyaan, Ramdansyah mengatakan, survei untuk margin error yang tidak boleh kurang dari satu persen itu hanya di dunia kesehatan. Jadi hanya 0,01 tingkat errornya.

“Tetapi kalau lembaga sosial kayak lembaga survei maka itu harus kemudian biasanya kalau yang sampai satu persen itu jarang yah dibawah 1 persen. Bahkan margin error 5 persen itu diperkenankan. Tentu saja dengan hasil sekarang ini mereka tidak berani lembaga-lembaga survei mengumumkan siapa pemenang. Kecuali, internal dari pasangan calon yah bisa kemudian deklair kemenangan atau menegasikannya,” ujarnya.

Saat ditanya presenter bagaimana untuk mengetahui lembaga survei yang transparans dan terpercaya? Ramdansyah mengatakan ini isu yang terus menerus muncul bahwa lembaga survei sebaiknya tidak perlu dipercaya publik.

“Kalau lembaga survei ini deklair bahwa apakah dia bagian dari timses dari awalkan sudah dibooking itu ada diretain tahunan. Itukan dia harus dinyatakan oleh lembaga survei. Kalau dari awal sudah menyatakan bagian dari timses ini atau saya disewa oleh pasangan calon ini, maka publik sah-sah saja menilai pengumuman hasil perolehan suara di tahap awal quick count memenangkan pasangan calon yang menyewa mereka.” ujarnya.

“Tetapi tentu saja saya lihat perbedaan-perbedaan antara lembaga survei itukan juga ditingkat margin error yang hampir mirip 50,1 kemudian 50,15 misalkan itu juga antara lembaga survei nilainya diantara batas yang sama. Jadi ditingkat rata-rata 50 persenan. Artinya ketika di 50 persen karena Undang Undang DKJ itu kemudian menyatakan bahwa 50 persen plus satu itu baru dinyatakan pemenang nah ini tidak ada (lembaga survei yang menyatakan). Seingat saya nomor 3 katakanlah menang, nah ini menurut saya pada etiknya yang kemudian dijaga karena kemarin kan ada beberapa lembaga survei yang mendapatkan sanksi karena mempublish sebelum waktunya. Bahkan, berpotensi menimbulkan keresahan,” beber Ramdansyah.

Namun Ramdansyah menegaskan sebenarnya harus deklair, lembaga survei ini mewajibkan mandatori kalau dilakukan survei seperti ini harus dinyatakan bahwa dukungan dananya dari mana. Karena memang kalau mereka sama sekali tidak mendapatkan bantuan atau dukungan finansial dari pasangan calon dari partai politik yah sah-sah saja.

“Tetapi mendapat bantuan dari partai politik atau pasangan calon diperbolehkan tetapi selama dia disclaimer kami dari partai A atau pasangan calon B tentu saja publik akan percaya. Yang kedua tadi saya menyebutkan misalkan indikator, lembaga survei yang agak berbeda beda sedikit. Kalau di indikator politik katakanlah ini di 49,87 persen itu pagi hari Dan 01 itu di 39,53 misalkan, ini tentu saja berbeda dengan yang lainnya tetapi saya pikir ini kan mungkin ada kesalahan atau dia membuat margin errornya yang lebih besar tetapi sekali lagi ini tidak jauh dibandingkan dengan yang lain. Misalkan 50 dan 50,1. Kalau kita hitung itukan 49,87 itu masih di angka margin error 2 persen. 51 ke bawah, 2 misalkan 49. Artinya masih dalam tingkat kesalahan yang sudah dinyatakan,” jelas Ramdansyah.

Lamanya publik menunggu hasil pemilu, menurut Ramdansyah pemanfaatan sistem informasi manajemen perlu dilakukan. Di era sekarang teknologi melekat pada manusia. Sebenarnya quick count ini tidak perlu lama lama artinya berjenjang juga bisa dilakukan cepat. Berjenjang iyah, karena legitimated. Tetapi teknologi informasi di era modern 4.0 maka kemudian tidak harus menunggu sampai tanggal 15 Desember 2024.

“Tidak boleh dinafikan penggunaan sistem informasi yang sudah terdaftar di Kominfo dapat mendorong percepatan e-counting. Selama kementeriannya transparan dan akuntabel atau mendapatkan kepercayaan publik, maka sistem informasi penyelenggara akan dipercaya. Kedua, kepada pemerintah yang dianggap netral tidak berpihak kepada siapapun. Maka penggunaan sistem informasi manajemen yang dibuat oleh KPU diawasi oleh Bawaslu dengan sistem pengawasan pemilih tidak perlu menunggu sampai 2 – 3 minggu untuk mendapatkan hasil karena semua penyelenggaran di TPS disaksikan masyarakat disamping saksi dan pengawas. Data C hasil di scan saat itu juga sebenarnya bisa memangkas perhitungan berjenjang ditingkat kecamatan, kabupaten kota dan provinsi,” jelas Ramdansyah.

Menurutnya, apa yang dilakukan teknologi informasi dengan hasil e-counting sudah terjadi di sejumlah negara, termasuk di Amerika. Jadi menggunakan sistem informasi e-counting menjadi dasar sistem Pemilu berbasis digital atau E-Voting.

“Walaupun E-Voting juga dapat menyebabkan kesalahan dari mesin, tapi margin error dari mesin juga bisa didisclaimer dari awal. Mesinnya tidak bisa membaca atau delay merupakan kesalahan mesin yang perlu diakui dari awal. Nantinya e-voting dengan menggunakan teknologi informasi yang sudah merata bisa dilakukan di daerah urban dan desa-desa yang mendapatkan akses internet, kecuali di daerah-daerah yang belum terpapar internet. Di semua daerah urban harus dimulai bisa dilakukan e-counting yang kemudian berlanjut kepada e-counting,” pungkasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Related Stories