Rehabilitasi Jadi Pendekatan Efektif Pemerintah Dalam Upaya Pemberantasan Narkoba
Oleh: Linda Kusumawardhani
Isu penyalahgunaan dan peredaran narkoba di Indonesia telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data Pusat Penelitian, Data, dan Informasi BNN tahun 2024, terdapat 3.337.911 pengguna narkoba di kalangan penduduk usia 15-64 tahun.
Angka ini menunjukkan bahwa persoalan narkoba tidak hanya mengancam generasi muda, tetapi juga memiliki dampak luas terhadap kestabilan sosial dan ekonomi negara. Oleh karena itu, langkah pemerintah dalam mengatasi masalah ini, khususnya melalui pendekatan rehabilitasi, menjadi sangat relevan.
Untuk melakukan pemberantasan narkoba, pemerintah mewacanakan pemberian amnesti kepada 44.000 narapidana yang saat ini menghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) di seluruh Indonesia. Sebagian besar dari mereka adalah narapidana kasus narkoba.
Rencana ini dilatarbelakangi oleh overkapasitas yang mencapai 95,34 persen, di mana total penghuni lapas pada tahun 2023 tercatat sebanyak 267.672 orang, sementara kapasitas hanya 137.031 orang.
Selain itu, beban anggaran negara untuk mengelola lapas menjadi sangat besar, termasuk untuk biaya makan, sarana prasarana, dan gaji petugas.
Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra mengatakan dalam KUHP yang baru, pengguna narkoba tidak lagi dipidana, tetapi direhabilitasi. Pengguna narkotika dikategorikan sebagai korban yang memerlukan pembinaan oleh negara. Kebijakan ini merupakan langkah progresif yang tidak hanya bertujuan mengurangi kepadatan lapas, tetapi juga memusatkan perhatian pada pemulihan individu yang terdampak.
Pendekatan rehabilitasi terhadap pengguna narkoba berlandaskan pada Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menyebutkan bahwa pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.
Rehabilitasi menawarkan solusi yang lebih humanis dan efektif dibandingkan penahanan. Penangkapan dan penahanan pengguna narkoba sering kali tidak menyelesaikan akar masalah. Sebaliknya, rehabilitasi memungkinkan pengguna untuk pulih secara medis dan sosial, sehingga dapat kembali produktif di masyarakat.
Kepala BNN Komjen Pol. Marthinus Hukom menegaskan bahwa pengguna narkoba yang secara sukarela melaporkan diri tidak boleh dihukum. Negara memiliki kewajiban untuk memberikan perawatan melalui rehabilitasi yang diatur dalam kerangka hukum yang berlaku. Menurut Marthinus Hukom, pengguna narkotika adalah korban yang membutuhkan pendekatan berbasis asesmen terpadu untuk menentukan langkah perawatan yang tepat.
Namun, efektivitas kebijakan ini bergantung pada ketersediaan fasilitas rehabilitasi yang memadai. Saat ini, Indonesia memiliki keterbatasan pusat rehabilitasi. Sebagai contoh, Balai Besar Rehabilitasi BNN di Lido, Kabupaten Bogor, hanya mampu menampung 500 orang, jauh dari cukup untuk menampung puluhan ribu pengguna yang memerlukan layanan tersebut. Oleh karena itu, percepatan pembangunan fasilitas rehabilitasi menjadi prioritas yang mendesak.
Meski rehabilitasi memiliki potensi besar untuk mengurangi dampak buruk narkoba, kebijakan ini juga menghadapi tantangan. Pengampunan terhadap 44.000 warga binaan lapas kasus narkoba, misalnya, dapat membawa dampak negatif jika tidak disertai langkah preventif yang kuat. Tanpa pengawasan dan pembinaan yang memadai, ada risiko bahwa sebagian dari mereka kembali terlibat dalam jaringan peredaran narkoba. Hal ini menjadi peluang bagi pelaku bisnis narkoba untuk memperluas operasinya.
Ketua DPRD NTB, Baiq Isvie Rupaeda mendorong percepatan pengadaan fasilitas rehabilitasi di daerah, seperti di RSJ Mutiara Sukma dan RSUP NTB. Menurutnya, kebijakan rehabilitasi harus menjadi prioritas Pemerintah Provinsi pada tahun 2025. Kebijakan ini dinilai sangat penting karena bertujuan untuk memberikan pembinaan kepada pengguna narkoba, bukan untuk menghukum mereka. Langkah ini diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang yang lebih berkelanjutan.
Selain itu, pemerintah harus memastikan bahwa proses seleksi narapidana yang menerima amnesti dilakukan secara ketat. Jika tidak, pengedar narkoba yang memiliki pengalaman menjalankan bisnis gelap dapat kembali ke masyarakat dengan strategi yang lebih canggih. Aparat penegak hukum harus meningkatkan kemampuan dalam mengantisipasi masuknya narkoba dari luar negeri, yang merupakan sumber utama masalah ini.
Pemerintahan Prabowo-Gibran, dengan visi “Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045,” menjadikan pencegahan dan pemberantasan narkoba sebagai salah satu dari 17 program prioritas. Program ini merupakan penjabaran dari misi Astacita Nomor 7, yaitu memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba. Komitmen ini menunjukkan bahwa isu narkoba bukan hanya persoalan penegakan hukum, tetapi juga bagian integral dari pembangunan nasional.
Pencegahan peredaran gelap narkoba harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari tingkat lokal hingga internasional. Maka penting bagi semua pihak, termasuk masyarakat, untuk membangun kesadaran akan bahaya narkoba. Pendidikan dan kampanye anti-narkoba di sekolah dan komunitas pun menjadi bagian penting dari strategi pencegahan.
Dalam menghadapi permasalahan narkoba yang kompleks pemerintah telah melakukan langkah strategis, yakni melalui pendekatan rehabilitasi. Dengan mengubah paradigma dari penghukuman menjadi pemulihan, Indonesia dapat menciptakan sistem yang lebih adil dan efektif dalam menangani dampak penyalahgunaan narkoba. Namun, keberhasilan kebijakan ini memerlukan dukungan infrastruktur, koordinasi lintas sektor, dan komitmen bersama.
Sebagai bagian dari visi besar Indonesia Emas 2045, pemberantasan narkoba melalui rehabilitasi bukan hanya upaya untuk mengatasi masalah hukum dan sosial, tetapi juga investasi dalam masa depan bangsa. Dengan membangun generasi yang bebas dari narkoba, Indonesia dapat melangkah lebih jauh menuju cita-cita menjadi negara maju yang sejahtera dan berkeadilan.
)* penulis merupakan pengamat kebijakan sosial