RUU KUHAP Responsif Terhadap Prinsip Keadilan Restoratif

-

RUU KUHAP Responsif Terhadap Prinsip Keadilan Restoratif

Oleh: Farhan Naratama

Pemerintah terus menunjukkan komitmen serius dalam pembaruan sistem hukum nasional melalui penyusunan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Salah satu aspek penting yang menjadi perhatian dalam penyusunan regulasi ini adalah penguatan prinsip keadilan restoratif atau restorative justice sebagai pendekatan hukum yang lebih berorientasi pada pemulihan dan keseimbangan hak antara korban, pelaku, dan masyarakat. Dalam KUHAP yang baru, pendekatan ini tidak lagi bersifat administratif atau sekadar kebijakan institusional, melainkan diberi tempat secara normatif dalam bentuk ketentuan hukum yang mengikat.

 

Pentingnya mengakomodasi keadilan restoratif dalam sistem hukum acara pidana telah disadari sebagai kebutuhan mendesak. Selama ini, praktik penerapan keadilan restoratif kerap bergantung pada berbagai peraturan sektoral seperti Peraturan Jaksa Agung, Peraturan Kapolri, atau regulasi di bawah UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Ketiadaan dasar hukum yang kuat dalam KUHAP lama membuat pendekatan ini rentan terhadap interpretasi sepihak serta inkonsistensi dalam pelaksanaannya.

 

RUU KUHAP kemudian hadir untuk menambal kekosongan tersebut, dengan menjadikan mekanisme keadilan restoratif sebagai bagian integral dari proses hukum yang dimulai sejak tahap penyelidikan hingga ke persidangan. Bahkan, pendekatan ini juga diharapkan mampu menjadi solusi dalam mengurangi kepadatan lembaga pemasyarakatan yang selama ini menjadi persoalan klasik sistem pemidanaan nasional.

 

Komitmen tersebut mendapat apresiasi dari berbagai pemangku kepentingan. Komisi Kejaksaan Republik Indonesia melalui Ketua Komjak RI, Pujiyono Suwandi, menilai bahwa dimasukkannya prinsip keadilan restoratif secara eksplisit dalam RUU KUHAP menunjukkan keberpihakan negara terhadap pencari keadilan. Langkah ini dinilai sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat terhadap sistem hukum yang tidak hanya berfokus pada penghukuman, tetapi juga pemulihan relasi sosial yang rusak akibat kejahatan. Selama ini, keterbatasan regulasi utama membuat pendekatan restoratif lebih bersifat insidental dan tidak menjangkau seluruh spektrum kasus pidana, terutama dalam perkara ringan yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan pendekatan yang lebih humanis.

 

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menjelaskan bahwa dalam draf RUU KUHAP, mekanisme penyelesaian perkara dengan pendekatan restoratif ditempatkan dalam satu bab khusus. Ini mencerminkan arah kebijakan hukum yang tidak lagi semata-mata mengutamakan pemidanaan, tetapi juga memberikan ruang bagi rekonsiliasi, rehabilitasi, dan pemulihan kerugian yang dialami oleh korban. Hal ini juga menjawab kritik terhadap sistem peradilan pidana konvensional yang cenderung represif dan tidak memberi ruang bagi dialog serta penyelesaian damai antar pihak yang terlibat.

 

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, memandang bahwa pengaturan keadilan restoratif secara eksplisit dalam RUU KUHAP akan mengubah paradigma hukum pidana Indonesia. Ia melihat bahwa hukum acara pidana ke depan tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat negara untuk menjatuhkan hukuman, melainkan sebagai sarana rekonsiliasi sosial yang lebih adil dan manusiawi. Terlebih lagi, dengan pengaturan yang jelas, aparat penegak hukum memiliki panduan hukum yang lebih tegas dalam menerapkan prinsip ini, sehingga mengurangi disparitas dan subjektivitas dalam penanganan perkara.

 

Dalam konteks pelaksanaan teknis, pengakuan terhadap restorative justice dalam KUHAP baru memberikan kepastian hukum yang selama ini tidak ditemukan dalam KUHAP lama. Tanpa pengakuan dalam undang-undang, berbagai upaya penyelesaian perkara di luar pengadilan sering kali dipertanyakan legalitasnya, meskipun substansinya membawa manfaat sosial yang signifikan.

 

Oleh karena itu, langkah legislatif ini merupakan kemajuan penting yang akan memperkuat efektivitas pelaksanaan hukum secara menyeluruh. Untuk menjamin pelaksanaan yang optimal, dibutuhkan sinergi lintas lembaga penegak hukum serta pelatihan berkelanjutan agar aparat memahami filosofi dan tata cara pelaksanaannya secara benar dan proporsional.

 

Kehadiran prinsip keadilan restoratif dalam RUU KUHAP juga mencerminkan karakter hukum yang modern. Di berbagai negara maju, pendekatan ini telah lama digunakan untuk menyelesaikan berbagai bentuk pelanggaran hukum secara lebih efisien dan berkeadilan. Pendekatan yang lebih dialogis ini memungkinkan pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya secara langsung di hadapan korban, sementara korban memperoleh pengakuan atas penderitaan yang dialaminya. Konsep ini mengurangi beban pengadilan, mempercepat proses hukum, serta mengurangi risiko kriminalisasi berlebihan terhadap pelanggaran ringan.

 

Pemerintah melalui penyusunan RUU KUHAP tidak hanya memperkuat sistem hukum nasional secara substansial, tetapi juga membuka ruang lebih luas bagi penerapan keadilan yang berpihak kepada nilai-nilai kemanusiaan. Keputusan ini mencerminkan kemajuan pola pikir legislatif yang selaras dengan kebutuhan masyarakat modern, sekaligus menjadi bukti bahwa pemerintah hadir dalam membangun sistem hukum yang adaptif, solutif, dan berorientasi pada pemulihan. Dengan peran aktif seluruh pihak, RUU KUHAP berpotensi menjadi tonggak penting pembaruan hukum acara pidana yang lebih inklusif dan responsif terhadap keadilan substantif.

 

Langkah ini sekaligus menunjukkan keseriusan pemerintah dalam membangun sistem hukum yang tidak hanya kuat secara normatif, tetapi juga relevan dengan dinamika sosial yang terus berkembang di tengah masyarakat.

 

)* Pengamat Masalah Hukum

Related Stories