Sinergi Kebijakan Fiskal dan Perdagangan untuk Menghadapi Tarif Trump
Oleh: Sidya Wiratma
Pemerintah Indonesia menunjukkan kesiapan menghadapi kebijakan proteksionis Amerika Serikat melalui pendekatan yang mengintegrasikan kebijakan fiskal dan diplomasi perdagangan secara strategis. Dalam menghadapi tantangan tarif tinggi yang diberlakukan terhadap sejumlah produk ekspor Indonesia, respons pemerintah diarahkan pada penguatan koordinasi lintas sektor serta penyesuaian struktural yang berorientasi jangka panjang.
Langkah konkret telah ditunjukkan melalui inisiatif diplomatik yang dijalankan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Dalam kunjungan kerja ke Amerika Serikat, pemerintah Indonesia menyampaikan tawaran komprehensif yang mencakup isu tarif, hambatan non-tarif, serta rencana penyeimbangan neraca perdagangan. Pemerintah menilai bahwa pendekatan saling menguntungkan lebih efektif dalam meredam dampak kebijakan sepihak. Hal ini terlihat dari upaya Indonesia mendorong kesetaraan tarif ekspor dengan negara pesaing seperti Vietnam dan Bangladesh, guna menciptakan kondisi persaingan yang adil.
Selain pendekatan negosiasi, Indonesia juga mendorong kerja sama investasi sebagai bagian dari diplomasi ekonomi. Salah satu perusahaan nasional bahkan direncanakan akan menanamkan investasi bernilai miliaran dolar di sektor energi biru di Amerika Serikat, menunjukkan komitmen Indonesia dalam membangun hubungan bilateral yang saling menguntungkan. Di sisi lain, isu mineral strategis menjadi perhatian penting, mengingat potensi besar Indonesia dalam mendukung rantai pasok industri global.
Pemerintah Amerika Serikat pun telah merespons positif inisiatif ini dengan menunjuk perwakilan perdagangan untuk melanjutkan perundingan teknis. Sebagai bentuk keseriusan kedua belah pihak, telah disepakati dokumen kerahasiaan yang menjaga eksklusivitas proses negosiasi. Dalam menindaklanjuti hal ini, Indonesia membentuk satuan tugas khusus yang mencakup bidang perdagangan, investasi, ketenagakerjaan, dan iklim usaha. Tujuannya jelas, yakni mempercepat proses diplomatik dan memperkuat kesiapan nasional menghadapi dampak kebijakan eksternal.
Efek dari tarif tinggi tidak hanya berdampak pada arus perdagangan, tetapi juga mempengaruhi sektor produksi dan lapangan kerja. Hal ini menjadi perhatian Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eisha Maghfiruha Rachbini, yang menilai bahwa tarif sebesar 32 persen dari AS dapat memicu penurunan ekspor Indonesia secara signifikan. Menurutnya, sektor-sektor seperti tekstil, elektronik, furnitur, serta produk pertanian dan perkebunan akan terdampak langsung, menyebabkan perlambatan produksi dan ancaman pengurangan tenaga kerja.
Dalam konteks ini, pemerintah dinilai perlu mengambil langkah taktis melalui penyesuaian fiskal berupa insentif pajak, subsidi, dan kemudahan pembiayaan guna mempertahankan keberlangsungan usaha serta daya saing industri nasional. Optimalisasi perjanjian perdagangan bilateral dan multilateral juga terus digencarkan. Kerja sama seperti RCEP, EU-CEPA, dan TIFA digunakan sebagai instrumen untuk memperluas akses pasar dan memperkuat posisi Indonesia di tengah dinamika perdagangan global yang semakin kompleks. Pemerintah juga membuka peluang kerja sama dagang dengan negara non-tradisional, sebagai bentuk diversifikasi untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS dan Tiongkok.
Sinergi antara fiskal dan perdagangan tidak berhenti pada tataran kebijakan. Kolaborasi aktif antara pemerintah, pelaku usaha, dan akademisi juga menjadi bagian dari strategi responsif yang dijalankan. Hal ini ditekankan oleh Wakil Ketua Umum Bidang Analisis Kebijakan Makro dan Mikro Ekonomi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Aviliani, yang menilai bahwa pelaku usaha nasional semakin siap menghadapi tantangan global. Dia menekankan pentingnya menjadikan krisis sebagai momentum untuk memperkuat daya saing serta pentingnya kerja sama lintas sektor dalam menyusun strategi jangka panjang.
Pemerintah sendiri telah membentuk komite gabungan yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi, dan dunia usaha. Langkah ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan perdagangan serta mendorong deregulasi guna memperkuat investasi dan ekspor nasional. Insentif fiskal dan non-fiskal, seperti subsidi bunga dan pengurangan pajak, disebut sebagai instrumen penting untuk membantu pelaku usaha bertahan bahkan berkembang di tengah tekanan global.
Selain itu, upaya pemerintah memperkuat sektor produksi melalui inovasi teknologi, peningkatan kualitas tenaga kerja, dan investasi dalam riset menjadi prioritas jangka panjang yang terus ditingkatkan. Transformasi digital, hilirisasi industri, serta pengembangan sektor unggulan menjadi elemen penting dalam menciptakan struktur ekonomi yang tangguh dan adaptif. Langkah-langkah ini tidak hanya bertujuan mengatasi tekanan eksternal, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi nasional agar mampu bersaing dalam ekosistem global yang dinamis.
Respons pemerintah terhadap kebijakan tarif Amerika Serikat juga mencerminkan ketegasan posisi Indonesia sebagai mitra strategis yang mengedepankan prinsip saling menghormati dalam hubungan internasional. Pendekatan yang dibangun tidak bersifat reaktif semata, melainkan proaktif dalam menciptakan solusi yang adil dan berkelanjutan. Hal ini memperlihatkan kematangan diplomasi ekonomi Indonesia dalam mengelola tekanan dari luar negeri tanpa mengorbankan kepentingan dalam negeri.
Keseluruhan upaya ini memperlihatkan bahwa pemerintah, melalui sinergi antara langkah fiskal, kebijakan perdagangan, dan strategi diplomatik, mampu menjawab tantangan global dengan visi jangka panjang yang solid. Dengan memadukan instrumen diplomatik dan kebijakan fiskal secara terarah, Indonesia menunjukkan kemampuannya mengelola risiko global sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berdaya saing tinggi. Pendekatan strategis dan terintegrasi ini diyakini akan menjadi fondasi penting dalam menjaga stabilitas nasional di tengah ketidakpastian global.
)* Konsultan Kebijakan Ekonomi – Forum Ekonomi Rakyat