Oleh : Andi Mahesa
Pemberantasan korupsi telah menjadi agenda nasional yang terus digalakkan oleh berbagai pihak. Namun, keberhasilan upaya ini tidak hanya bergantung pada keberanian aparat penegak hukum atau keberadaan regulasi semata. Di balik semua itu, terdapat peran strategis dari pemerintah daerah (Pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang menjadi ujung tombak pengambilan kebijakan di level lokal. Sinergi antara dua institusi ini menjadi kunci penting dalam membangun tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, menekankan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa dilepaskan dari peran sentral Pemda dan DPRD. Menurutnya, aktor-aktor inilah yang menentukan arah pembangunan dan pengelolaan anggaran di daerah. Korupsi bukan sekadar soal besar kecilnya gaji pejabat, tetapi soal integritas hati dan pikiran. Gaji besar tidak menjamin seseorang bebas dari korupsi jika hatinya masih rakus
Pernyataan ini sangat relevan dalam konteks otonomi daerah saat ini, di mana Pemda memiliki kewenangan luas dalam mengelola sumber daya dan merancang kebijakan pembangunan. Sayangnya, kewenangan ini kerap disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Korupsi dalam bentuk pengadaan barang dan jasa, penyalahgunaan anggaran, hingga suap dalam pengesahan APBD masih menjadi isu serius di berbagai daerah.
Tanak mengingatkan bahwa korupsi sejatinya adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Dana publik yang digunakan dalam pembangunan berasal dari pajak dan kontribusi masyarakat. Maka dari itu, setiap rupiah yang dikorupsi berarti mengurangi hak rakyat atas pelayanan publik yang seharusnya mereka terima. Oleh karena itu, membangun pemerintahan daerah yang bersih tidak memerlukan formula rumit—cukup dengan tidak menyalahgunakan kewenangan dan menjaga hati tetap bersih.
Senada dengan itu, Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah I KPK, Agung Yudha Wibowo, menyatakan bahwa Pemda dan DPRD adalah dua aktor kunci dalam menentukan hitam-putihnya tata kelola daerah. Keduanya bisa menjadi benteng integritas, atau sebaliknya, menjadi celah besar bagi praktik koruptif. KPK akan terus mendukung langkah-langkah strategis di daerah, namun kami tidak bisa bekerja sendiri. Kolaborasi erat antara KPK, eksekutif, dan legislatif di daerah sangat diperlukan agar pemberantasan korupsi berjalan efektif.
Agung juga menyoroti pentingnya penguatan sistem pengawasan dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah. Ia mendorong agar Pemda dan DPRD bersama-sama mengidentifikasi potensi korupsi di setiap lini tata kelola, mulai dari perencanaan, penganggaran, hingga pelaksanaan program. Inventarisasi potensi korupsi dan penutupan celah kebocoran anggaran merupakan langkah preventif yang sangat penting.
Dalam praktiknya, kerja sama antara Pemda dan DPRD tidak selalu harmonis. Terkadang, dinamika politik dan kepentingan kelompok dapat mengganggu jalannya pemerintahan yang bersih. Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, menyarankan agar pembenahan sistem politik dan tata kelola pemerintahan juga menjadi prioritas dalam upaya pemberantasan korupsi. Tidak cukup hanya kepala daerah yang punya integritas, sistem politik dan pemerintahan yang sehat juga harus dibangun. KPK harus hadir lebih kuat di daerah, tidak hanya sebagai pencegah tetapi juga sebagai penengah dalam membangun kolaborasi yang sehat antara eksekutif dan legislatif.
Apa yang disampaikan Bobby Nasution menegaskan bahwa integritas individual perlu didukung oleh sistem yang mencegah terjadinya korupsi. Dengan sistem yang transparan, akuntabel, dan partisipatif, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan dapat ditekan secara signifikan. Selain itu, keberadaan KPK sebagai fasilitator kolaborasi antara eksekutif dan legislatif di daerah juga menjadi terobosan penting dalam membangun sinergi antarlembaga.
Di sisi lain, upaya pemberantasan korupsi juga membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat. Pengawasan publik yang kuat akan memberikan tekanan moral dan politik bagi para pejabat daerah untuk bertindak secara etis dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, literasi antikorupsi perlu terus ditingkatkan di kalangan masyarakat, khususnya dalam hal pengawasan anggaran dan pelaksanaan program pemerintah daerah.
Tak dapat dipungkiri bahwa sejumlah daerah di Indonesia telah menunjukkan kemajuan dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Penerapan sistem e-budgeting, e-planning, serta pelibatan masyarakat dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) merupakan contoh nyata dari ikhtiar membangun tata kelola yang lebih baik. Namun demikian, praktik-praktik baik ini masih perlu diperluas dan direplikasi di daerah lain yang belum memiliki sistem serupa.
Dengan pendekatan yang lebih kolaboratif dan partisipatif, diharapkan agenda pemberantasan korupsi tidak hanya menjadi tugas KPK, tetapi menjadi gerakan bersama antara pemerintah daerah, DPRD, dan seluruh elemen masyarakat.
Pemberantasan korupsi bukanlah tugas satu atau dua lembaga semata, melainkan tanggung jawab bersama. Sinergi yang sehat antara Pemda dan DPRD menjadi pondasi utama dalam membangun tata kelola daerah yang bersih. Masyarakat sebagai bagian dari bangsa ini, memiliki peran untuk mendukung dan mengawal proses ini. Sudah saatnya seluruh pihak membangun negeri tanpa korupsi, dimulai dari daerah yang bebas dari penyalahgunaan kekuasaan hingga menciptakan Indonesia yang lebih bersih dan berkeadilan.
)* Penulis merupakan pengamat kebijakan publik