Swasembada Pangan Bentuk Strategi Ketahanan Nasional

-

Swasembada Pangan Bentuk Strategi Ketahanan Nasional

 

Oleh: Farhan Farisan

 

Swasembada pangan telah menjadi bentuk strategis nasional yang terus dihidupkan dalam setiap pemerintahan. Namun, saat ini, wacana tersebut tidak lagi sekadar menjadi impian, melainkan mulai mewujud dalam bentuk kebijakan nyata, aksi di lapangan, dan hasil konkret. Dalam konteks ketahanan nasional, ketersediaan pangan, khususnya beras, bukan hanya soal logistik, tapi soal kedaulatan dan pertahanan negara.

 

Ketika dunia menghadapi ancaman krisis pangan akibat perubahan iklim, perang, dan ketegangan geopolitik, Indonesia justru menunjukkan sinyal positif dengan capaian stok beras tertinggi dalam 57 tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per awal Mei 2025, stok beras nasional telah mencapai 3,5 juta ton, dan diprediksi akan menembus 4 juta ton dalam dua pekan ke depan.

 

Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, mengatakan bahwa angka tersebut sangat realistis. Ini bukan sekadar optimisme, melainkan refleksi dari keberhasilan program reformasi pertanian nasional yang menekankan pada produktivitas, efisiensi, dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Langkah-langkah seperti pompanisasi dan peningkatan indeks pertanaman telah memberikan hasil yang signifikan.

 

Penerapan teknologi irigasi berbasis pompa telah membuka jalan bagi peningkatan luas tanam serta percepatan siklus tanam. Hal ini memungkinkan lahan yang sebelumnya hanya bisa panen sekali, kini bisa menghasilkan panen dua hingga tiga kali dalam setahun. Dalam skala nasional, efisiensi ini menjadi penentu dalam mencapai swasembada beras yang berkelanjutan.

 

Serapan beras nasional yang kini menyentuh angka 50 ribu ton per hari menjadi indikator lain dari keberhasilan distribusi hasil panen. Dengan panen raya masih berlangsung di daerah-daerah produktif seperti Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan, pencapaian target stok 4 juta ton tampaknya hanya tinggal menunggu waktu.

 

Tidak hanya di Pulau Jawa dan Sulawesi, dorongan swasembada juga muncul kuat dari wilayah perbatasan. Gubernur Kalimantan Utara, Zainal A Paliwang, mengatakan bahwa komitmen dalam mendukung langkah percepatan swasembada pangan. Dalam rapat koordinasi bersama Menteri Pertanian, pihaknya menyampaikan kesiapan provinsinya dalam mencetak sawah baru dan mengoptimalkan lahan tidur.

 

Dengan dukungan anggaran sekitar Rp500 miliar dari Kementerian Pertanian, Kalimantan Utara siap mentransformasi diri dari provinsi yang mengimpor 60 ribu ton beras menjadi wilayah penyuplai beras. Target ambisius pun ditetapkan: dari ketergantungan dalam distribusi pangan menjadi motor swasembada dalam waktu kurang dari setengah tahun.

 

Semangat ini selaras dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto untuk mempercepat kemandirian pangan dalam empat tahun ke depan. Namun dengan semangat kolaboratif dan akselerasi yang ditunjukkan daerah seperti Kaltara, harapan menyelesaikannya dalam waktu enam bulan terasa semakin realistis.

 

Kondisi ini menandakan bahwa swasembada pangan bukan hanya agenda pusat, melainkan telah menjadi gerakan nasional yang menyentuh hingga ke akar pemerintahan daerah. Sinergi antara pusat dan daerah menjadi elemen penting dalam menyatukan langkah untuk menjamin keberlanjutan pangan nasional.

 

Di tengah krisis pangan global, banyak negara menutup keran ekspor demi menyelamatkan pasokan dalam negeri. India dan Vietnam, dua produsen besar beras dunia, sudah mengurangi ekspor mereka. Dalam konteks ini, Indonesia tampil percaya diri dengan kelebihan stok yang memungkinkan kita bersikap mandiri bahkan mempertimbangkan ekspor terbatas sebagai bagian dari diplomasi pangan.

 

Swasembada pangan tak hanya menyangkut ketersediaan, tetapi juga stabilitas harga. Ketika stok cukup dan distribusi lancar, harga dapat ditekan pada level wajar, menjaga daya beli masyarakat. Ini menjadi pondasi penting dalam merawat stabilitas sosial dan politik dalam negeri.

 

Ketahanan pangan harus dilihat sebagai instrumen strategis dalam pertahanan nonmiliter. Ketika negara mampu mencukupi kebutuhan dasar rakyatnya tanpa tergantung pada pihak luar, maka daya tahannya terhadap tekanan global baik berupa embargo, fluktuasi harga internasional, maupun perubahan iklim semakin kuat.

 

Kondisi Indonesia hari ini menunjukkan bahwa kebijakan yang tepat, didukung infrastruktur memadai dan partisipasi aktif petani, dapat membawa hasil besar. Kebijakan pertanian tidak perlu spektakuler, cukup konsisten dan menyentuh kebutuhan dasar para petani.

 

Mekanisasi, digitalisasi, dan insentif yang diarahkan secara tepat sudah mulai memperlihatkan dampak nyata di lapangan. Ini menunjukkan bahwa pertanian Indonesia tengah bergerak dari era tradisional menuju sistem agribisnis modern yang berdaya saing tinggi.

 

Lebih jauh, stok pangan yang kuat memberikan nilai strategis dalam konteks diplomasi internasional. Indonesia dapat menawarkan bantuan pangan, menjalin kerja sama regional dalam barter komoditas, atau membangun pengaruh baru di kawasan. Di sinilah swasembada pangan menjelma menjadi kekuatan geopolitik yang diperhitungkan.

 

Langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam memperkuat ketahanan pangan tidak hanya berdampak ekonomi, tetapi juga memperkuat identitas nasional. Negara yang kuat adalah negara yang mampu memberi makan rakyatnya dari tanahnya sendiri. Inilah simbol sejati dari kedaulatan.

 

Saat kita merayakan pencapaian ini, penting untuk memastikan bahwa keberlanjutan tetap menjadi prioritas. Swasembada pangan bukanlah titik akhir, melainkan fondasi untuk mengembangkan sistem pertanian yang lebih resilient, inklusif, dan adaptif terhadap tantangan masa depan.

 

Dengan semangat gotong royong dan kepemimpinan yang visioner, Indonesia kini berada di jalur yang benar untuk tidak hanya mencapai, tetapi juga mempertahankan swasembada pangan. Dan pada akhirnya, inilah bentuk nyata dari strategi pertahanan nasional yang kokoh dan bermartabat.

 

)* Penulis adalah mahasiswa Bandung tinggal di Jakarta

 

 

 

 

 

 

Related Stories